Denpasar (ANTARA) - Lomba "standup comedy" hadir untuk pertama kalinya dalam Festival Seni Bali Jani 2019 di Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar, guna mewadahi para komika yang tersebar di Pulau Dewata.
"Jadi, 'standup comedy' ini bukan terpaku pada lomba saja, tetapi bagaimana juga menghadirkan edukasi pada masyarakat. Karena ada nama Bali-nya, saya rasa nilai-nilai dan norma-norma di Bali perlu diangkat," kata I Ketut Suanda, salah satu juri usai menjadi juri perlombaan tersebut, di Kalangan (panggung) Angsoka, Taman Budaya, Denpasar, Jumat.
Festival Seni Bali Jani 2019 memang untuk pertama kalinya mengadakan lomba standup comedy, karena seperti diketahui, lomba tersebut saat ini sedang naik daun.
Tak dinyana, lomba yang digelar pertama kali itu diikuti oleh lebih dari 20 orang komika. Peserta tidak hanya berasal dari Bali, namun juga ada komika yang berasal dari Jawa, Lombok, NTB, dan NTT.
Mereka unjuk gigi membawakan materi-materi dengan guyonan segar tanpa menyinggung SARA. Beberapa menggunakan bahasa Bali, ada juga yang menggunakan logat Timur (NTT) yang membuat penonton tertawa. Selain itu ada juga komika yang standup comedy sambil bermain sulap. Lomba tersebut dinilai oleh tiga juri yakni Made Taro, Abdul Hadi, dan I Ketut Suanda.
"Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peserta dalam lomba standup comedy Bali ini, diantaranya etika, gaya bicara, kelucuan dan ekspresi. Peserta juga kami imbau tidak menggunakan bahasa-bahasa yang kasar dan diharapkan bisa memberi edukasi kepada masyarakat," ujarnya.
Di Bali sendiri, kata pelawak yang beken dengan nama panggung Cedil ini, standup comedy serupa dengan "pengelembar" dalam seni pertunjukan tradisional Bali. Panglembar yang dimaksud adalah tokoh yang pertama membuka sebuah pertunjukan dan tampil monolog atau bercerita sendiri.
"Contohnya penasar, dalam seni pertunjukan Bali ada yang keluar pertama namanya penasar, dia monolog sebelum melanjutkan ke cerita inti. Biasanya penasar ini akan monolog dengan mengangkat kehidupan sosial dan keresahan yang dialaminya. Sama sebenarnya, cuma yang tradisional ini identik dengan riasan, sedangkan standup tampil apa adanya dan butuh wawasan, pengalaman, dan edukasi," ucapnya.
Dia berharap, "standup comedy" Bali nantinya bisa dijadikan acuan dan barometer pada generasi milenial untuk memahami betapa pentingnya wawasan. Dalam wawasan itulah diselipkan "joke-joke" lucu sehingga materi standup comedy jadi berisi dan tentunya menarik untuk didengar.
"Antara materi dan joke atau humor yang diharapkan itu lucu yang segar dan ringan, tetapi mengandung esensi edukasi yang tinggi," ujarnya.
Sementara peraih juara I lomba standup comedy Bali, I Wayan Hendra Purnawan asal Marga, Tabanan mengaku baru pertama kali ikut lomba tersebut. Sebelumnya, dia lebih dikenal sebagai seniman bondres dengan nama panggung "Gabeng".
Hendra termotivasi untuk mengikuti perkembangan seni modern. Menurutnya, orang Bali pasti mampu menyesuaikan diri dengan seni modern, sebab orang Bali sendiri sudah memiliki dasar seni.
"Tinggal pengembangan saja. Kebetulan saya senang baca buku, jadi saya kombinasikan dengan lawakan. Saya ingin lawakan yang saya bawakan itu jadi tontonan sekaligus tuntunan," ucapnya.
Meskipun terbiasa bermain bondres, namun diakui "standup comedy" memiliki beberapa tantangan tersendiri. Dia mengumpakan, "standup comedy" itu seperti membuat umpan sendiri dan men-smash sendiri.
"Kalau bondres itu, kadang temannya yang ngumpan, jadi lucu. Nah kalau standup kita buat umpan sendiri kita juga yang smash sendiri. Selain itu, kalau bondres kan pakai riasan. Dari riasan saja kalau bondresnya senyum sudah langsung bisa buat penonton tertawa. Tetapi kalau tidak berhias seperti standup comedy ini, terus kita senyum, belum tentu orang ketawa. Di sini tantangannya," ujarnya.
Selanjutnya yang terpilih sebagai juara II yakni Simson Yermia Libing, juara III Andrean Sergius Ratu, harapan I Ida Bagus Dwi Anggara Putra, harapan II Yuliriyadi Kusuma, dan harapan III diraih I Made Ngurah Satria Wibawa. ***3***
"Jadi, 'standup comedy' ini bukan terpaku pada lomba saja, tetapi bagaimana juga menghadirkan edukasi pada masyarakat. Karena ada nama Bali-nya, saya rasa nilai-nilai dan norma-norma di Bali perlu diangkat," kata I Ketut Suanda, salah satu juri usai menjadi juri perlombaan tersebut, di Kalangan (panggung) Angsoka, Taman Budaya, Denpasar, Jumat.
Festival Seni Bali Jani 2019 memang untuk pertama kalinya mengadakan lomba standup comedy, karena seperti diketahui, lomba tersebut saat ini sedang naik daun.
Tak dinyana, lomba yang digelar pertama kali itu diikuti oleh lebih dari 20 orang komika. Peserta tidak hanya berasal dari Bali, namun juga ada komika yang berasal dari Jawa, Lombok, NTB, dan NTT.
Mereka unjuk gigi membawakan materi-materi dengan guyonan segar tanpa menyinggung SARA. Beberapa menggunakan bahasa Bali, ada juga yang menggunakan logat Timur (NTT) yang membuat penonton tertawa. Selain itu ada juga komika yang standup comedy sambil bermain sulap. Lomba tersebut dinilai oleh tiga juri yakni Made Taro, Abdul Hadi, dan I Ketut Suanda.
"Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peserta dalam lomba standup comedy Bali ini, diantaranya etika, gaya bicara, kelucuan dan ekspresi. Peserta juga kami imbau tidak menggunakan bahasa-bahasa yang kasar dan diharapkan bisa memberi edukasi kepada masyarakat," ujarnya.
Di Bali sendiri, kata pelawak yang beken dengan nama panggung Cedil ini, standup comedy serupa dengan "pengelembar" dalam seni pertunjukan tradisional Bali. Panglembar yang dimaksud adalah tokoh yang pertama membuka sebuah pertunjukan dan tampil monolog atau bercerita sendiri.
"Contohnya penasar, dalam seni pertunjukan Bali ada yang keluar pertama namanya penasar, dia monolog sebelum melanjutkan ke cerita inti. Biasanya penasar ini akan monolog dengan mengangkat kehidupan sosial dan keresahan yang dialaminya. Sama sebenarnya, cuma yang tradisional ini identik dengan riasan, sedangkan standup tampil apa adanya dan butuh wawasan, pengalaman, dan edukasi," ucapnya.
Dia berharap, "standup comedy" Bali nantinya bisa dijadikan acuan dan barometer pada generasi milenial untuk memahami betapa pentingnya wawasan. Dalam wawasan itulah diselipkan "joke-joke" lucu sehingga materi standup comedy jadi berisi dan tentunya menarik untuk didengar.
"Antara materi dan joke atau humor yang diharapkan itu lucu yang segar dan ringan, tetapi mengandung esensi edukasi yang tinggi," ujarnya.
Sementara peraih juara I lomba standup comedy Bali, I Wayan Hendra Purnawan asal Marga, Tabanan mengaku baru pertama kali ikut lomba tersebut. Sebelumnya, dia lebih dikenal sebagai seniman bondres dengan nama panggung "Gabeng".
Hendra termotivasi untuk mengikuti perkembangan seni modern. Menurutnya, orang Bali pasti mampu menyesuaikan diri dengan seni modern, sebab orang Bali sendiri sudah memiliki dasar seni.
"Tinggal pengembangan saja. Kebetulan saya senang baca buku, jadi saya kombinasikan dengan lawakan. Saya ingin lawakan yang saya bawakan itu jadi tontonan sekaligus tuntunan," ucapnya.
Meskipun terbiasa bermain bondres, namun diakui "standup comedy" memiliki beberapa tantangan tersendiri. Dia mengumpakan, "standup comedy" itu seperti membuat umpan sendiri dan men-smash sendiri.
"Kalau bondres itu, kadang temannya yang ngumpan, jadi lucu. Nah kalau standup kita buat umpan sendiri kita juga yang smash sendiri. Selain itu, kalau bondres kan pakai riasan. Dari riasan saja kalau bondresnya senyum sudah langsung bisa buat penonton tertawa. Tetapi kalau tidak berhias seperti standup comedy ini, terus kita senyum, belum tentu orang ketawa. Di sini tantangannya," ujarnya.
Selanjutnya yang terpilih sebagai juara II yakni Simson Yermia Libing, juara III Andrean Sergius Ratu, harapan I Ida Bagus Dwi Anggara Putra, harapan II Yuliriyadi Kusuma, dan harapan III diraih I Made Ngurah Satria Wibawa. ***3***