Bandarlampung (ANTARA) -

Pada 2 Oktober 2019, genap satu dasawarsa bangsa Indonesia memperingati sebagai Hari Batik Nasional  

Akhirnya batik diakui dunia, sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi, atau  Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu dan Kebudayaan (UNESCO), pada 2 Oktober 2009.

Demi merayakannya, berikut redaksi sajikan pendapat sejumlah tokoh Lampung dan satu maestro batik asal Pekalongan, Jawa Tengah terkait Hari Batik Nasional yang berhasil dihimpun sepanjang, Rabu (2/9)

Komentar perdana datang dari akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unila (Universitas Lampung) yang dikenal sebagai ekonom yang pertama kali mempopulerkan diksi 'kejahatan anggaran' dalam kosakata politik anggaran Tanah Air pascareformasi, Marselina Djayasinga.

Penulis buku laris, Membedah APBD terbitan Graha Ilmu ini berpendapat, batik merupakan warisan yang harus dilestarikan, dan kita bersama-sama harus mendukung itu dengan cara memakai batik pada hari tertentu.

Kata Marsel --sapaannya, batik itu membuat anggun pemakainya dan penuh kharismatik. "Ciri bangsa Indonesia, ya batik," ujarnya via WhatsApp di Bandarlampung, Rabu petang.

Komentar kedua dihadirkan politisi, mantan Ketua DPRD Kota Metro 2014-2019 Anna Morinda, yang menggelorakan pentingnya pelestarian batik sebagai warisan budaya bangsa. Melalui pesan audio, ia menyatakan,  Trisakti Bung Karno salah satunya adalah berkepribadian dalam berkebudayaan. 

Indonesia, ujar Anna, adalah negara yang besar, terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki akar adat-istiadat budaya sangat tinggi, yang menunjukkan bahwa Indonesia sejak zaman kerajaan pun, kerajaan-kerajaan Nusantara, sudah memiliki budaya tinggi.

 "Salah satunya adalah batik Jawa, batik Indonesia," imbuh Ketua DPC PDIP Metro itu.

Namun, sambung dia, kebudayaan ini kalau tidak dikembangkan pada era sekarang, lama kelamaan akan menjadi hilang. Bahkan, Anna yang kini Wakil Ketua DPRD Kota Metro 2019-2024 menekankan, kebudayaan yang mencirikan tingginya ilmu pengetahuan kita pada zaman dahulu itu bisa diakui bangsa-bangsa lain.

"Hari Batik Nasional saya kira adalah sangat tepat untuk kita semua menunjukkan bahwa batik Indonesia adalah milik kita, yang berasal dari akar budaya bangsa Indonesia,  bangsa-bangsa, suku-suku bangsa dari kerajaan di Nusantara," pungkas dia.

Penekanan bahwa selain citra merek, batik bisa jadi basis industri kreatif, disuarakan Dekan FEB Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya, Faurani I Santi Singagerda. 

"Batik merupakan warisan budaya yang bisa menjadi brand image bagi Indonesia, dan menjadi basis bagi pengembangan industri kreatif," kata penulis aktif jurnal ilmiah yang pernah mengajar di Politeknik STMI (Sekolah Tinggi Manajemen Industri) Kementerian Perindustrian, Jakarta ini.

Sementara pesohor pebatik asal Pekalongan, Jawa Tengah, Dudung Alisjahbana yang karyanya dikenal progresif nan unik, antara lain inventori desain baru motif modifikasi Batik Parang yang dianugerahi penghargaan Seal of Excellence dari UNESCO pada 2007 dan Inacraft Best of The Best 2014 itu, berpesan singkat namun kaya agregat. "Etika-kan estetika batik," ujarnya khidmat.

Pendapat pamungkas, ditaja desainer asal Lampung Aan Ibrahim. Usai mengupas sejarah dan perkembangan batik yang meskipun kini telah mewaris jadi aset nasional namun secara faktual terkendala regenerasi sumber daya pembatik, Aan pun berharap agar program penatalaksanaan batik juga menjadi prioritas pemerintah.

"Batik karya seni anak bangsa Indonesia. Belakangan, seluruh Indonesia membuat batik karena dianggap unik, menarik, dan berdaya ekonomi tinggi. Selayaknya batik ini harus jadi prioritas penting bagi kita bangsa Indonesia. Bukan hanya indah, unik, paling penting batik bisa menyerap tenaga kerja nonformal, lebih banyak. Itulah kenapa saya katakan harus jadi prioritas pemerintah," kata Aan Ibrahim, desainer yang mempopulerkan Tapis Lampung secara gigih sejak 1985 ini. 

Pewarta : Agus Wira Sukarta
Editor : Agus Wira Sukarta
Copyright © ANTARA 2024