Shanghai (ANTARA) - Bank Indonesia Perwakilan Beijing meyakinkan para pengusaha di China agar tidak ragu lagi menginvestasikan dananya ke sejumlah wilayah di Indonesia.
"Sekarang adalah saat yang tepat untuk berinvestasi di Indonesia," kata Wakil Kepala BI Perwakilan Beijing Muchamad Agung Hastowo dalam Forum Bisnis, Infrastruktur, dan Investasi Indonesia (IBIIF) di Shanghai, Senin.
Sebagai otoritas moneter di Indonesia, jelas dia, BI mendapatkan mandat untuk menjaga kestabilan perekonomian yang tercermin dari kondisi nilai tukar dan inflasi.
"Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi pergerakan nilai tukar, di antaranya adalah faktor fundamental dan sentimen pasar. Contohnya adalah adanya ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dapat memberikan tekanan terhadap nilai tukar negara-negara berkembang termasuk Indonesia karena pelaku pasar memiliki ekspektasi adanya aliran modal keluar kembali ke AS," ujarnya dalam forum yang dihadiri ratusan pengusaha China dan Indonesia itu.
Pergerakan nilai tukar rupiah, sebut dia, juga dapat ditentukan oleh jumlah permintaan dan penawaran valuta asing di pasar uang.
"Apabila penawaran atas valuta asing meningkat lebih tinggi dan melampaui permintaan yang ada, maka hal tersebut dapat menyebabkan penguatan nilai tukar rupiah. Permintaan atas nilai tukar dapat berasal dari impor barang dan jasa serta pembayaran utang luar negeri. Sementara penawaran atas nilai tukar berasal dari ekspor barang dan jasa, hasil pariwisata, dan transfer remitansi tenaga kerja di luar negeri," katanya.
Apabila ekspor suatu negara lebih rendah dibanding impor, maka defisit neraca perdagangan akan menekan nilai tukar sehingga perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan ekspor secara berkesinambungan.
"Saat ini sumber pendanaan domestik Indonesia masih terbatas dan belum cukup untuk membiayai investasi. Untuk itu, Indonesia perlu mengundang para investor dari luar negeri termasuk dari Tiongkok untuk berinvestasi di Indonesia dengan berbisnis, membangun pabrik, serta infrastruktur industri sehingga diharapkan dapat menciptakan produk yang memiliki daya saing untuk diekspor ke seluruh dunia," katanya mewakili Kepala BI Perwakilan Beijing Arief Hartawan berbicara dalam forum tersebut.
Terkait dengan promosi investasi, Agung menambahkan bahwa BI telah menyusun konsep "Global Investment Relation Unit", "Investment Relation Unit", dan "Regional Investment Relation Unit". Konsep tersebut dijalankan di lima kantor Perwakilan BI di luar negeri dan bekerja sama dengan berbagai instansi, termasuk kantor perwakilan RI.
"Konsep tersebut tidak hanya mencakup investasi portofolio atau investasi langsung saja, melainkan juga meliputi sektor perdagangan dan pariwisata. Kami sebelumnya berhasil mendorong peningkatan investasi portofolio sejak 15 tahun yang lalu atau tepatnya tahun 2004 sehingga Indonesia memperoleh 'investment grade' dari Japan Credit Rating Agencies (JCRA) dan kemudian mendapat pengakuan dari lembaga rating utama lainnya seperti Fitch,Standard & Poor's (S&P) dan Moody’s," katanya.
Saat ini pertumbuhan perekonomian Indonesia lebih stabil dan berdampak positif dalam jangka waktu yang panjang serta memiliki efek pengganda yang lebih besar terhadap sektor riil melalui penciptaan lapangan kerja, meningkatkan permintaan domestik, dan mempercepat pembangunan nasional.
Sejak berdiri Maret lalu, untuk pertama kalinya BI Beijing menggelar forum bisnis dengan menggandeng Konsulat Jenderal RI di Shanghai.
Di depan para pengusaha China dan Indonesia, Agung juga menyebutkan bahwa prospek perekonomian di Pulau Sumatra tetap tumbuh positif sekitar 5,6 persen.
Sementara Pulau Jawa masih menjadi pusat perekonomian Indonesia karena sebagian besar populasi penduduk dan sirkulasi uang berada di tempat itu dengan pertumbuhan 5,7 persen.
Di Pulau Kalimantan pertumbuhan ekonomi tercatat dalam tren positif yang dipicu pengembangan proyek infrastruktur untuk Ibu Kota Indonesia yang baru.
"Saat ini ekonomi Kalimantan tumbuh pada kisaran 5,6 persen. Kami meyakini prospek perekonomian Kalimantan akan semakin tinggi dengan adanya Ibu Kota Indonesia yang baru di sana," ujarnya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun, Konsul Jenderal RI untuk Shanghai Deny Wachyudi Kurnia, Deputi Infrastruktur Kemenko Maritim Ridwan Djamaluddin, Deputi Promosi Investasi BKPM Farah Ratnadewi, Ketua Inacham Liky Sutikno, Direktur Utama Tsingshan Industry Group Xiang Guangda, dan Direktur BeFa Industrial Estate Wijaya Surya turut hadir dalam pertemuan tersebut.
"Yang paling penting untuk berbisnis di Indonesia adalah perusahaan tersebut harus memiliki daya saing terlebih dulu di China," kata Xiang yang sudah sepuluh tahun berinvestasi di bidang industri nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, membagi pengalamannya dalam forum tersebut.
"Sekarang adalah saat yang tepat untuk berinvestasi di Indonesia," kata Wakil Kepala BI Perwakilan Beijing Muchamad Agung Hastowo dalam Forum Bisnis, Infrastruktur, dan Investasi Indonesia (IBIIF) di Shanghai, Senin.
Sebagai otoritas moneter di Indonesia, jelas dia, BI mendapatkan mandat untuk menjaga kestabilan perekonomian yang tercermin dari kondisi nilai tukar dan inflasi.
"Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi pergerakan nilai tukar, di antaranya adalah faktor fundamental dan sentimen pasar. Contohnya adalah adanya ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dapat memberikan tekanan terhadap nilai tukar negara-negara berkembang termasuk Indonesia karena pelaku pasar memiliki ekspektasi adanya aliran modal keluar kembali ke AS," ujarnya dalam forum yang dihadiri ratusan pengusaha China dan Indonesia itu.
Pergerakan nilai tukar rupiah, sebut dia, juga dapat ditentukan oleh jumlah permintaan dan penawaran valuta asing di pasar uang.
"Apabila penawaran atas valuta asing meningkat lebih tinggi dan melampaui permintaan yang ada, maka hal tersebut dapat menyebabkan penguatan nilai tukar rupiah. Permintaan atas nilai tukar dapat berasal dari impor barang dan jasa serta pembayaran utang luar negeri. Sementara penawaran atas nilai tukar berasal dari ekspor barang dan jasa, hasil pariwisata, dan transfer remitansi tenaga kerja di luar negeri," katanya.
Apabila ekspor suatu negara lebih rendah dibanding impor, maka defisit neraca perdagangan akan menekan nilai tukar sehingga perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan ekspor secara berkesinambungan.
"Saat ini sumber pendanaan domestik Indonesia masih terbatas dan belum cukup untuk membiayai investasi. Untuk itu, Indonesia perlu mengundang para investor dari luar negeri termasuk dari Tiongkok untuk berinvestasi di Indonesia dengan berbisnis, membangun pabrik, serta infrastruktur industri sehingga diharapkan dapat menciptakan produk yang memiliki daya saing untuk diekspor ke seluruh dunia," katanya mewakili Kepala BI Perwakilan Beijing Arief Hartawan berbicara dalam forum tersebut.
Terkait dengan promosi investasi, Agung menambahkan bahwa BI telah menyusun konsep "Global Investment Relation Unit", "Investment Relation Unit", dan "Regional Investment Relation Unit". Konsep tersebut dijalankan di lima kantor Perwakilan BI di luar negeri dan bekerja sama dengan berbagai instansi, termasuk kantor perwakilan RI.
"Konsep tersebut tidak hanya mencakup investasi portofolio atau investasi langsung saja, melainkan juga meliputi sektor perdagangan dan pariwisata. Kami sebelumnya berhasil mendorong peningkatan investasi portofolio sejak 15 tahun yang lalu atau tepatnya tahun 2004 sehingga Indonesia memperoleh 'investment grade' dari Japan Credit Rating Agencies (JCRA) dan kemudian mendapat pengakuan dari lembaga rating utama lainnya seperti Fitch,Standard & Poor's (S&P) dan Moody’s," katanya.
Saat ini pertumbuhan perekonomian Indonesia lebih stabil dan berdampak positif dalam jangka waktu yang panjang serta memiliki efek pengganda yang lebih besar terhadap sektor riil melalui penciptaan lapangan kerja, meningkatkan permintaan domestik, dan mempercepat pembangunan nasional.
Sejak berdiri Maret lalu, untuk pertama kalinya BI Beijing menggelar forum bisnis dengan menggandeng Konsulat Jenderal RI di Shanghai.
Di depan para pengusaha China dan Indonesia, Agung juga menyebutkan bahwa prospek perekonomian di Pulau Sumatra tetap tumbuh positif sekitar 5,6 persen.
Sementara Pulau Jawa masih menjadi pusat perekonomian Indonesia karena sebagian besar populasi penduduk dan sirkulasi uang berada di tempat itu dengan pertumbuhan 5,7 persen.
Di Pulau Kalimantan pertumbuhan ekonomi tercatat dalam tren positif yang dipicu pengembangan proyek infrastruktur untuk Ibu Kota Indonesia yang baru.
"Saat ini ekonomi Kalimantan tumbuh pada kisaran 5,6 persen. Kami meyakini prospek perekonomian Kalimantan akan semakin tinggi dengan adanya Ibu Kota Indonesia yang baru di sana," ujarnya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun, Konsul Jenderal RI untuk Shanghai Deny Wachyudi Kurnia, Deputi Infrastruktur Kemenko Maritim Ridwan Djamaluddin, Deputi Promosi Investasi BKPM Farah Ratnadewi, Ketua Inacham Liky Sutikno, Direktur Utama Tsingshan Industry Group Xiang Guangda, dan Direktur BeFa Industrial Estate Wijaya Surya turut hadir dalam pertemuan tersebut.
"Yang paling penting untuk berbisnis di Indonesia adalah perusahaan tersebut harus memiliki daya saing terlebih dulu di China," kata Xiang yang sudah sepuluh tahun berinvestasi di bidang industri nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, membagi pengalamannya dalam forum tersebut.