Penala Budaya Lampung Seminarkan Kebudayaan dan Kebhinnekaan

id Penala Budaya Lampung, Seminar Kebudayaan Lampung, Seminar Kebhinnekaan Lampung, Penala Budaya Gelar Seminar

Penala Budaya Lampung Seminarkan Kebudayaan dan Kebhinnekaan

Seminar Kebudayaan dan Kebhinnekaan yang siap digelar Penala Budaya, di Bandarlampung, Sabtu (29/4) siang. (FOTO: ANTARA Lampung/Ist)

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Pegiat kebudayaan di Lampung, Penala Budaya akan menggelar Seminar Nasional Kebudayaan dan Kebhinekaan di Provinsi Lampung dengan menghadirkan pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Staf Kepresidenan dan komisioner Komnas HAM.

Ketua panitia seminar nasional itu Daniel H Ghanie, mendampingi Ketua Penala Budaya AY Erwin di Bandarlampung, Jumat (28/4), menjelaskan bahwa seminar nasional dengan tema "Kebudayaan dan Kebhinnekaan" itu, akan dilaksanakan pada Sabtu (29/4), pukul 13.30 hingga 17.00 WIB, di aula Kampus Darmajaya Lt3.B3 di Bandarlampung.

Narasumber dalam seminar itu adalah Dr Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan Republik Indonesia), Dr Restu Gunawan (Direktur Kesenian dan Kebudayaan RI), Eko Sulistiyo (Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan Republik Indonesia), dan Siti Noor Laila (Wakil Ketua Komnas HAM Republik Indonesia).

Kegiatan itu akan dimoderatori oleh Iswadi Pratama (budayawan, penyair, dan sutradara Teater Satu Lampung).

Penala Budaya menurut AY Erwin, siap menggelar rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan pada bulan April-Mei 2017, yaitu Seminar Nasional Kebudayaan bertema "Kebudayaan dan Kebhinnekaan", cetak dan peluncuran buku puisi karya Ahmad Yulden Erwin tema "Puisi dan Seni Keramik sebagai Ekspresi Seni Orang Biasa".

Selain itu pameran seni kriya Lampung (media logam, kayu, batu, dan tekstil) tema "Kebudayaan Maritim dalam Seni Kriya Lampung", pementasan seni musik tradisi `cetik` (gamelan bambu) dari Lampung, dan pemutaran film indie tema "Dinamika Kebudayaan Lampung Kontemporer dalam Menghadapi Arus Kebudayaan Global."

Erwin menjelaskan kembali pengertian kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.

"Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk berpikir, sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri," kata sastrawan Lampung itu pula.

Dia menegaskan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, termasuk perilaku komunitas yang ada dalam satuan wilayah budaya tertentu.

Ia menyebutkan pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, upacara religi, karya seni, dan teknologi yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Erwin menguraikan pula, saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan tentang budaya yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Gagasan tentang budaya ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap kebudayaan sebagai peradaban-konsepsi dalam kata peradaban seringkali dilawankan dengan konsep `alam`.

Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.

Padahal dalam praktiknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang `elit`, seperti misalnya memakai baju yang berkelas (fashion), fine art, atau mendengarkan musik klasik. Sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui dan ikut serta dalam aktivitas-aktivitas di atas.

Sebagai contoh, ujarnya pula, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang `berkelas`, elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan, dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah `berkebudayaan`.

Orang yang menggunakan kata `kebudayaan` dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis. Mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma serta nilai di seluruh dunia.

Menurut cara pandang ini, ujar Erwin lagi, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang berkebudayaan disebut sebagai orang yang tidak berkebudayaan; bukan sebagai orang dari kebudayaan yang lain. Orang yang tidak berkebudayaan dikatakan lebih `asli` atau `alami`.

Erwin menambagkahkam pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas.

Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

Pada tahun 50-an, subkebudayaan--kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya--mulai dijadikan subjek penelitian oleh para ahli sosiologi.

Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki subkebudayaan (atau biasa disebut subkultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya.

Erwin menerangkan, kemunculan subkultur disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas sosial, agama, pekerjaan, pandangan politik, dan gender.

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. "Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komu-nikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa," katanya lagi.

Beberapa cara itu, antara lain monokulturalisme, dengan pemerintah mengusahakan terjadi asimilasi kebudayaan, sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.

Lalu leitkultur (kebudayaan inti), sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.

Selanjutnya melting pot, yaitu kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.

Kemudian, multikulturalisme yaitu sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing sambil berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

Indonesia merupakan satu bangsa yang besar dan memiliki keanekaragaman kultur dan subkultur. Ada 300 lebih budaya etnis dan subkultur di Indonesia.

Kebudayaan etnis dan subkultur tersebut sering disebut dengan istilah kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat suatu daerah.

Pada umumnya, kebudayaan daerah merupakan budaya yang telah lama ada serta diwariskan turun-temurun kepada generasi berikutnya. Kebudayaan kia sekarang ini merupakan hasil pertumbuhan dan perkembangan daerah pada masa lampau.

Perbedaan dalam kebudayaan daerah, menurut para ahli antropologi, disebabkan oleh perbedaan lingkungan geografis. Kondisi geografis tersebut menimbulkan perbedaan dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah mata pencaharian penduduk. Jenis-jenis pekerjaan yang ada juga menyebabkan beranekaragamnya peralatan yang diciptakannya, misalnya bentuk rumah dan bentuk pakaian.

Akhirnya sampai pada bentuk kesenian yang ada di masing-masing daerah pun ikut berbeda, ujar Erwin pula.

Ia mengingatkan bahwa keanekaragaman budaya jangan dijadikan sebagai perbedaan yang menimbulkan sentimen etnis secara destruktif, tetapi hendaknya dijadikan sebagai kekayaan bangsa Indonesia.

"Kita selaku bangsa Indonesia mempunyai kewajiban untuk selalu melestarikan kebudayaan yang beraneka ragam tersebut.

Di samping itu, dengan mendalami kebudayaan yang beraneka ragam tersebut, wawasan kita akan bertambah sehingga kita tidak akan menjadi bangsa yang kerdil. Kita dapat menjadi bangsa yang mau dan mampu menghargai kekayaan yang kita miliki, yang berupa keanekaragaman kebudayaan tersebut," kata dia pula.

Sikap saling menghormati budaya perlu dikembangkan agar kebudayaan kita yang terkenal tinggi nilainya itu tetap lestari, tidak terkena arus negatif yang datang dari luar.

Karena itu, kata Erwin lagi, Penala Budaya mencoba mengantisipasinya dengan mengadakan serangkain kegiatan budaya bertema "Kebudayaan dan Kebhinnekaan" di Provinsi Lampung.

Lampung sebagai daerah multietnis, memiliki kebudayaan induk--kebudayaan Lampung--yang sangat kuat dan terus bertahan hingga kini. Kebudayaan induk itu bersifat terbuka dan mau menerima kebudayaan etnis lain (Jawa, Bali, Batak, Bugis, dan lainnya) dan subkultur (Tionghoa, India, Arab, dan Eropa) dengan tetap mempertahankan kebudayaan induknya.

Erwin menambahkan dengan berbagai upaya itu diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan publik di Provinsi Lampung dan di Indonesia tentang kebudayaan Lampung sebagai bagian dari kebhinnekaan kebudayaan di Indonesia.

"Juga untuk memberikan pendidikan kepada publik bahwa hak-hak budaya merupakan bagian dari hak asasi manusia, khususnya Konvenan Kedua HAM PBB tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi Undang Undang No.11 Tahun 2005," katanya lagi.

Dia menegaskan bahwa keragaman budaya etnis tersebut mesti dikelola dengan baik, hingga tidak menjadi sumber konflik, seperti yang pernah terjadi di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2012.

Konflik yang menelan puluhan korban jiwa tersebut terjadi antara masyarakat adat Lampung dan Bali. Karenanya, Ujar Erwin, upaya-upaya pembauran antaretnis di Lampung perlu terus dilakukan, misalnya lewat gerakan kesenian `orang biasa--bukan gerakan kesenian elit-sehingga kesadaran budaya dalam kebhinnekaan dapat mengakar hingga ke seluruh lapisan masyarakat di Lampung pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.