LSM Damar: Hak Kesehatan Perempuan Belum Dipenuhi

id Penuhi Hak Kesehatan Perempuan, LSM Damar Ingatkan Hak Kesehatan, LSM Damar Lampung, Damar Lampung

LSM Damar: Hak Kesehatan Perempuan Belum Dipenuhi

Seminar Hari Kartini yang digelar Menteri Pemberdayaan Perempuan Dema UIN Lampung bekerjasama dengan LSM Lembaga Advokasi Perempuan Damar dan Pusat Studi Gender dan Anak, di Bandarlampung, Jumat (21/4). (FOTO: ANTARA Lampung/Budisantoso Budiman)

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Lembaga Advokasi Perempuan Damar Lampung mengingatkan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak kesehatan khususnya bagi kaum perempuan mengingat pelaksanaannya dinilai masih jauh dari harapan.

Sely Fitriani, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan Damar, di Bandarlampung, Jumat, menyampaikan sejumlah hal musti dijalankan pemerintah dan para pihak terkait momentum peringatan Hari Kartini 21 April 2017 ini.

Menurut Sely, situasi pemenuhan hak kesehatan perempuan di Provinsi Lampung sepanjang tahun 2016 hingga April 2017 masih jauh dari harapan terbukti dengan terjadi indikasi pelanggaran terhadap hak kesehatan perempuan.

Ia membeberkan berdasarkan pemberitaan media 30 Januari 2017, menurut Kasi Informasi dan Humas Dinas Kesehatan Lampung Asih Hendrastuti, jumlah kasus kematian Ibu di Lampung tahun 2016 masih tinggi yakni sebanyak 111 orang, tahun 2015 ada 149 ibu meninggal, 2014 (130), tahun 2013 (158), dan tahun 2012 (178)

Kejadian gizi buruk di Lampung 2016 mencapai 86 kasus dibandingkan dengan tahun sebelumnya 114 kasus.

Perkawinan anak di Lampung meningkat dua tahun terakhir. Pengadilan Tinggi Agama mencatat perkawinan anak di Lampung meningkat sekitar 30 persen hingga 50 persen. Pada 2015 terdapat 71 pasangan yang menikah pada usia anak. Jumlah itu naik menjadi 102 pada tahun 2016. Faktor penyebabnya kehamilan yang tidak diinginkan, ekonomi dan putus sekolah serta dijodohkan orang tua.

Lembaga Advokasi Perempuan Damar telah melaksanakan penelitian kehamilan tidak diinginkan/direncanakan (KTD) pada dua kabupaten/kota di Lampung, yaitu Kabupaten Lampung Tengah dan Kota Bandarlampung.

Penelitian ini menemukan bahwa penyebab KTD adalah kegagalan kontrasepsi, kemiskinan, pengaruh negatif dari media, perkawinan dini, pandangan negatif dari masyarakat, dan lainnya. Banyak perempuan yang mengalami KTD akhirnya mengatasinya secara sembunyi-sembunyi, tidak sesuai standar kesehatan, sehingga berdampak pada masalah kesehatan reproduksi mereka dan menyebabkan tingginya angka kematian.

Kondisi itu, kata Sely pula, diperburuk dengan fasilitas kesehatan masih belum memadai, seperti peralatan, perlengkapan medis, dan laboratorium. Tidak semua puskesmas memiliki laboratorium, dokter, dan banyak bangunan puskesmas lokasinya jauh dari rumah penduduk.

Menurutnya, komitmen formal pemerintah dalam melaksanakan hak asasi dapat diukur melalui konsistensi pelaksanaan berbagai instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, di antaranya DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB), Kovenan Ekonomi Sosial Budaya, Konvensi Anti-Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, dan berbagai instrumen hukum nasional dan daerah.

Namun, komitmen formal saja tidaklah cukup, katanya pula. "Problemnya, pemerintah hanya meratifikasi saja, tetapi tidak melaksanakan sepenuhnya. Pemerintah lebih banyak bergerak pada tataran legal-formal atau berhenti pada aspek normatif-politisnya, sementara aspek praktisnya banyak yang tertinggal," ujar Sely.

Dia mengingatkan pada bidang kesehatan, pemerintah dinilai telah melanggar berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu DUHAM, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Ekonomi Sosial Budaya yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.

Lalu, UUD 1945, UU No. 35 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Kesehatan, khususnya layanan ibu hamil, ibu bersalin, bayi baru lahir, balita, usia pendidikan dasar dan usia produktif, PP No. 61 Tahun 2014 untuk memberikan jaminan layanan kesehatan seksual dan reproduksi perempuan, dan berbagai peraturan lainnya.

"Pemerintah seharusnya bertanggung jawab untuk merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, melakukan pembinaan dan mengawasi penyelenggaran upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh mayarakat. Kewajiban-kewajiban telah dengan jelas diatur dalam berbagai peraturan tersebut, namun kenyataannya banyak yang tidak dilaksanakan, sehingga persoalan kesehatan bagi perempuan masih menjadi barang mewah," ujarnya pula.

Menurutnya, fakta tersebut merupakan pelanggaran hak asasi perempuan atas keteraksesan (accessability), keberterimaan (acceptability), sebagai unsur pemenuhan hak kesehatan perempuan. Padahal kesehatan adalah kunci dan investasi bagi pemajuan bangsa, sehingga seharusnya pemerintah mengutamakan dan menjalankan kewajiban untuk pemenuhan hak atas kesehatan.

Sely menyatakan, pelanggaran terhadap hak kesehatan perempuan bukan karena ketidakmampuan (capacity) pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya, namun karena ketidakmauan (unwillingness) pemerintah untuk mengutamakan pemenuhan hak dasar perempuan.

Karena itu, Lembaga Advokasi Perempuan Damar bersama kartini-kartini Lampung mendesak para pengambil kebijakan untuk mewujudkan lahir kebijakan pencegahan perkawinan anak dan pemenuhan hak kesehatan seksual reproduksi (HKSR) di desa/kelurahan dan kabupaten/kota.

Kebijakan itu, kata Sely, bisa berupa peraturan desa/kelurahan, peraturan adat, peraturan daerah, peraturan bupati/wali kota, keputusan bupati/wali kota, surat edaran, dan kesepahaman (MoU) yang bisa secara efektif mencegah praktik perkawinan anak dan mendorong pemenuhan HKSR, sebagai upaya mengurangi faktor penyebab kematian ibu dan anak, serta kekurangan gizi anak.

Pemerintah juga diminta meningkatkan pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan (Permenkes No. 43/2016) khususnya layanan ibu hamil, ibu bersalin, bayi baru lahir, balita, usia pendidikan dasar dan usia produktif pada fasilitas kesehatan.

Pelaksanaan SPM akan meningkatkan layanan kesehatan kepada perempuan dan anak, sehingga akan berkontribusi pada pencapaian target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Peningkatan pelaksanaan SPM dapat berupa kualitas layanan yang memenuhi standar dan kuantitas cakupan layanan yang menjangkau lebih banyak perempuan dan anak di daerah tersebut.

Damar mengingatkan perlu alokasi anggaran untuk pelaksanaan SPM kesehatan. Pemerintah desa/kelurahan dan kabupaten/kota diharapkan secara rutin mengalokasikan anggaran yang mencukupi untuk pelaksanaan SPM kesehatan khususnya layanan ibu hamil, ibu bersalin, bayi baru lahir, balita, usia pendidikan dasar dan usia produktif, dalam anggaran tahunan.

Mekanisme pengaduan dan penyelesaian masalah layanan kesehatan yang komprehensif bekerjasama dengan Sistem Layanan Rujukan Terpadu juga perlu dikembangkan.

Mekanisme ini akan menjadi bagian dari sistem monitoring dan evaluasi layanan kesehatan untuk perempuan dan anak, sehingga diharapkan akan bisa menjaga layanan kesehatan yang mudah diakses, cepat, tepat, dan bermutu, secara berkelanjutan, kata Sely Fitriani pula.