Kopi Luwak Lampung Masih Punya Aroma

id lampung kopi festival, lakofest, festival kopi lampung, mbk

Kopi Luwak Lampung Masih Punya Aroma

Pekerja memilah kopi dari kotoran Luwak di Liwa, Lampung. (FOTO ANTARA/Rosa Panggabean)

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Lampung sebagai sentra penghasil kopi luwak tidak lagi setenar tahun-tahun sebelumnya, karena produksi dan pemasarannya cenderung turun, sementara pesaingnya semakin banyak, seperti dari Jawa, Sulawesi, dan daerah lainnya di Sumatera.

Pangsa pasar kopi bubuk luwak Lampung di pasar domestik juga makin tergerus, karena makin banyak diproduksi kopi pabrikan bermerek luwak dalam bentuk "sachet" atau kemasan kecil. Harga kopi sachet ini jauh lebih murah dibandingkan dengan harga kopi luwak asli yang harganya di tingkat perajin saja sudah mencapai Rp500.000/kg.

Kabupaten Lampung Barat yang merupakan dataran tinggi adalah sentra kopi robusta sekaligus pusat penghasil kopi luwak di Provinsi Lampung. Karena mutu biji kopi robustanya yang bagus dan rasanya yang khas menjadikan kopi luwak produksi daerah dingin itu diakui baik di sejumlah negara. Sehubungan itu, sempat tumbuh wacana untuk menjadikan kopi luwak sebagai ikon Lampung Barat.

Meski demikian, sejak 2016 hingga awal 2017 ini, produksi kopi luwak Lampung Barat cenderung turun, dan makin sulit menembus pasar ekspor. Para perajin menyebutkan hal itu disebabkan sejumlah hal, seperti minim promosi dan terbatas akses ke permodalan, terutama dalam mendapatkan kredit usaha rakyat (KUR) perbankan nasional.

Dalam dua tahun terakhir, menurut Ketua Gabungan Kopi Luwak Robusta (GKLR) Lampung Barat Gunawan, produk kopi luwak mereka sangat jarang ditampilkan dalam festival nasional, apalagi dalam skala internasional. Padahal kegiatan seperti itu merupakan saranana terbaik untuk promosi dan meningkatkan daya saing penjualan, sehingga sudah seharusnya pemerintah daerah mengupayakan kopi luwak bisa dipamerkan dalam berbagai ajang kegiatan.

Harapan para perajin kopi luwak itu sebenarnya wajar, dan juga dilakukan di negara penghasil kopi lainnya, yang menggelar berbagai kegiatan untuk meningkatkan daya saing dan menembus pasar internasional. Misalnya Vietnam berusaha mempromosikan kopi di daerahnya dengan memadukannya ke pesta budaya dengan menggelar Pesta Kopi Buon Ma Thuot dan Kebudayaan Gong di Provinsi Dak Lak, dataran tinggi Tengah Vietnam, 8-13 Maret 2017.

Tanpa promosi yang mendapatkan dukungan dari pemerintah dan pelaku usaha besar, terutama dari Pemkab Lampung Barat dan Pemprov Lampung, akan makin banyak perajin kopi luwak di Kabupaten Lampung Barat yang bangkrut.

Padahal, aroma kopi sangat harum sehingga banyak dikembangkan perkebunan dan usaha kopi karena dinilai mampu mengangkat derajat perekonomian masyarakat. Seperti di Kabupaten Gowa Sulsel, kini makin dikenal sebagai penghasil kopi luwak arabika, dan produknya telah menembus pasar Taiwan dan Hongkong meski dalam volume kecil. Pemkab Pemkab Bone Bolango Provinsi Gorontalo bahkan mengembangkan kopi organik Pinogunya, sementara Pemkab Simalungun Sumut melakukan perluasan kebun kopi di kawasan Saribudolok, karena kopi daerah itu diminati kedai-kedai kopi ternama dunia asal Amerika Serikat, Prancis, Jepang, Hongkong, Filipina dan Thailand.

Namun aroma kopi terancam tidak lagi dinikmati para perajin kopi di Liwa Kabupaten Lampung Barat, meski kopi premium itu masih bernilai tinggi dan pangsa pasarnya umumnya kalangan menengah atas. Para wisatawan peselancar di pesisir Pantai Lampung Barat kini makin jarang mendatangi usaha pembuatan kopi luwak. Padahal di tahun-tahun sebelumya, wisata kopi luwak menjadi andalan sebagai ajang promosi dan penjualan kopi tersebut.

Menurut Gunawan, aroma kopi luwak Lampung Barat mulai memudar karena terbatasnya akses mereka ke pemasaran dan permodalan. Pada 2006 lalu, perajin kopi luwak yang tercantum dalam Gabungan Kopi Luwak Robusta (GKLR) Lampung Barat mencapai 31 orang, kemudian menjadi 10 orang pada 2016, dan tersisa 8 orang di 2017.

Seiring itu, produksi kopi luwak juga anjlok. Jika tahun lalu mampu memproduksi 500 kg kopi bubuk luwak sebulan, kini hanya mampu menghasilkan 150 kg kopi luwak bubuk.

Sebagian perajin kopi luwak telah bangkrut, bahkan sampai menjual rumahnya, karena produk mereka tak laku. Kopi luwak yang diproduksi dengan biaya mahal, ternyata tidak habis terjual karena terbatasnya sentra pemasaran. Pada 2010 lalu, para perajin masih mendapatkan sejumlah kontrak dari luar negeri, namun kini mereka tak mendapatkan kontrak pembelian dari pasar luar negeri.

Gunawan bahkan menyebutkan jika ada kontrak pembelian kopi luwak dengan kondisi sekarang, mereka tak berani menerimanya karena permodalan mereka terbatas. Sudah banyak perajin yang melepaskan luwaknya ke alam liar karena tak mampu memeliharanya, meski ada juga yang mati karena sakit. Padahal untuk memproduksi kopi luwak, dibutuhkan musang yang akan memakan biji merah kopi secara selektif, sementara kopi itu sendiri dibeli dari para petani setempat.

Keuntungan usaha kopi luwak juga disebutkannya tipis meski harga kopi bubuk luwak di Kabupaten Lampung Barat Rp500.000/kg. Biaya produksinya tinggi dan butuh banyak biji kopi. Misalnya, dari 10 kg biji kopi luwak jika diolah menjadi kopi bubuk, didapatkan paling 2,8 kg kopi bubuk.





Kendala dan Peluang



Provinsi Lampung bisa dikatakan ikon kopi robusta Indonesia karena 85 persen ekspor komoditas itu berasal dari daerah itu. Pemprov Lampung bahkan menyebutkan luas areal kopi daerah itu mencapai 163.837 hektare dengan produksi kopi mencapai sekitar 100-120 ribu ton/tahun atau 21 persen dari produksi nasional. Karena itu, ketersediaan biji merah kopi robusta yang menjadi makanan luwak terjamin kelancarannya.

Meski stok biji kopi merah melimpah, nasib usaha kopi luwak di Lampung Barat ditentukan pembeli. Sejauh ini yang berlaku adalah ada kontrak pembelian dari "`buyer", baru produksi kopi luwak dilaksanakan. Pembelian kontrak biasanya dibayar lebih dulu, sehingga dana itu bisa digunakan oleh para perajin untuk memproduksi kopi luwak.

Gunawan menyebutkan para perajin sudah pernah mencoba mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada perbankan, namun pengajuan mereka tidak mendapatkan respons dari perbankan. Padahal, para perajin merupakan pelaku usaha kecil yang butuh modal dalam menggerakkan usaha tersebut.

Sementara itu, permintaan atas kopi luwak juga cenderung turun. Selain karena harganya yang mahal, kampanye perlindungan terhadap hewan luwak atau musang juga digalakkan sehingga mengganggu produksi luwak Indonesia, termasuk dari Lampung. Lembaga perlindungan hewan dunia menyebutkan peningkatkan produksi kopi luwak akan mendorong petani semakin banyak memelihara luwak serta memaksa hewan itu makan lebih sering sehingga akhirnya mengganggu kesehatannya.

Kampanye lainnya adalah mendorong wisatawan tak mengunjungi perkebunan dan industri kopi luwak, atau mengampanyekan untuk menjaga kesejahteraan hewan, sehingga hal itu tentu akan mengganggu penjualan kopi luwak ke pasar luar negeri. Dampak kampanye ini sudah dirasakan para perajin di Kabupaten Lampung Barat.

Sebagai contoh, Gunawan yang merupakan pemimpin para perajin kopi luwak di Lampung Barat menyebutkan tahun 2015 masih banyak turis wisata kopi luwak yang datang ke tempatnya untuk melihat luwak dan proses pengolahannya, sekaligus membeli kopi bubuk luwak sebagai oleh-oleh ke negaranya.

Namun di 2016 hingga awal 2017, sama sekali tidak ada lagi turis asing yang datang.

Jika kopi luwak masih dipandang sebagai kopi unggulan yang bersifat khas, pemerintah perlu menerapkan pedoman pengembangan kopi luwak serta aktif menyosialisasikannya ke dunia internasional bahwa konsumsi kopi luwak itu aman dan telah disertifikasi. Kepada petani harus diberikan pendampingan agar mereka tahu cara memproduksi kopi luwak secara sehat, serta mampu menangkarkan luwak untuk mereduksi penangkapan musang di alam liar.

Para perajin kopi luwak di Kabupaten Lampung Barat sebenarnya juga berusaha menangkarkan luwak, untuk mengurangi ketergantungan pada luwak liar yang ditangkap di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung. Namun, mereka terkendala dengan pengetahuan tentang cara mengembangbiakkan luwak tersebut.

Gunawan menyebutkan hasil penangkaran di tempatnya, tahun 2014 berhasil dilahirkan 4 ekor anak luwak dan tahun 2015 sebanyak 3 ekor. Namun hanya seekor yang hidup, karena anak luwak itu ada yang mati karen sakit atau dibunuh induk jantan. Pada 2016, tidak hasil penangkaran luwak di tempatnya, meski upaya itu tetap dilaksanakan.

Penggalakan penangkaran dimaksudkan untuk mereduksi penangkapan luwak di hutan liar, sekaligus untuk menangkal kampanye negatif tentang usaha kopi luwak.

Sehubungan itu, pemerintah daerah perlu juga secara rutin turun ke petani untuk memberikan pendampingan tentang cara tepat dalam penangkaran hewan, serta tata kelola yang higienis dalam produksi kopi luwak.

Para perajin juga harus didorong untuk memenuhi sertifikasi kopi luwak yang ditetapkan pemerintah.

Meski berharga mahal dan produksi nasional kopi luwak telah mencapai 140 ton per tahun, perburuan satwa luwak harus ditekan. Karena itu, Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Lampung harus aktif mewajibkan para perajin memiliki izin penangkaran luwak, sementara pemda setempat mengharuskan para perajin memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU), serta memiliki sertifikat kopi luwak.

Jika kopi luwak masih termasuk sebagai salah satu produk kopi unggulan, sementara Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Provinsi Lampung menyebutkan permintaan atas kopi premium itu masih tinggi, maka pemerintah perlu lebih lebih aktif mendampingi dan membantu para petani/perajin agar mereka mampu menghasilkan kopi luwak yang memperhatikan tata produksi dan tata pengelolaan lingkungan yang baik. (Ant)