Walhi Gelar Simposium Internasional di Lampung

id Walhi Gelar Simposium Internasional, BGM di Lampung, Pertemuan FoE di Lampung, FoE Internasional

Walhi Gelar Simposium Internasional di Lampung

Simposium Internasional digelar Walhi bersamaan pertemuan BGM FoE Internasional 2016 di Lampung. (FOTO: ANTARA Lampung/Ist)

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggelar Simposium Internasional "Pengakuan atas Wilayah Kelola Rakyat, Mewujudkan Keadilan Ekologis di  Indonesia" diikuti perwakilan dari sejumlah negara yang digelar di Bandarlampung, Jumat.

Direktur Eksekutif Walhi Daerah Lampung Hendrawan, mendampingi Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menjelaskan bahwa Walhi yang menjadi anggota federasi Friends of the Earth (FoE) International menyelenggarakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memperkuat dan terus memastikan hak rakyat dalam pengelolaan hutan dan sumber-sumber kehidupan diakui dan dilindungi oleh negara.

Simposium internasional ini menjadi rangkaian besar dari kegiatan Biennial General Meeting (BGM) 2016, sebuah pertemuan dua tahunan organisasi federasi FoE Internasional dilaksanakan di Provinsi Lampung selama beberapa hari ini.

FoE merupakan organisasi lingkungan hidup yang berbasis akar rumput terbesar, dengan Walhi menjadi Friends of the Earth Indonesia.

"Bukan hanya di Indonesia, gerakan penyelamatan dan pengelolaan hutan dan sumber-sumber kehidupan juga dilakukan di belahan dunia lain," ujar Hendrawan pula.

Menurutnya, simposium internasional ini akan memberikan penguatan perjuangan yang dilakukan oleh FoE. Agroekologi merupakan salah satu program khusus yang dilakukan oleh FoE untuk memperlihatkan bahwa rakyat memiliki kemampuan dalam mengelola pertanian secara berkelanjutan dan berkeadilan, katanya lagi.

Konsep pertanian skala rumah tangga petani menjadi konsep tanding menghadapi pertanian skala besar dan monokultur, ujar dia.

Dia mengemukakan, salah satu persoalan utama dari sistem ekonomi kapitalisme yang dianut sebagian besar negara di dunia adalah sistem ini telah melahirkan berbagai krisis yang dialami oleh sebagian besar penduduk dunia, khususnya kelompok masyarakat rentan. Krisis pangan, air, energi, hingga kerusakan lingkungan hidup dan perubahan iklim adalah dampaknya, katanya lagi.

"Krisis global yang terjadi bukan karena ketiadaan sumber daya alam, melainkan karena sistem ekonomi kapitalisme melanggengkan ketimpangan penguasaan dan pengelolaan hutan dan sumber-sumber kehidupan lainnya yang sebagian  bessar diberikan kepada korporasi melalui berbagai kebijakan, perundangan-undangan dan regulasi lainnya," kata dia pula.

Alih-alih menangani krisis, sistem ekonomi kapitalisme justru terus melakukan komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam, ujar Hendrawan.

Dia menyebutkan, pembangunanisme yang dianut Indonesia sejak akhir tahun 1960-an, mengandalkan sumberdaya alam sebagai penghasil devisa bagi negara, pemberian izin bagi ratusan HPH (hak pengusahaan hutan) dengan mengorbankan luasan puluhan juta hektare hutan pada awalnya diharapkan menjadi modal bagi pembangunan Indonesia.

Namun kenyataannya kerusakan hutan dan lingkungan yang terjadi tidak sebanding dengan hasil yang didapat oleh bangsa ini. Peran negara sebagai pengatur dan pembuat regulator menjadi semakin jauh terdistorsi oleh kepentingan modal, sehingga peran pengontrol dari negara melalui aparatusnya lama kelamaan hilang dan berganti menjadi peran penyedia kebutuhan investasi, kata dia lagi.

Paradigma negara beranggapan bahwa produsen pangan adalah investasi skala besar, bukan petani, nelayan atau masyarakat adat. Penyumbang pendapatan negara adalah investasi skala besar, bukan rakyat kecil. Negara tidak percaya bahwa masyarakat dapat menggerakkan roda ekonomi bangsa, katanya.

Hendrawan menambahkan, struktur dalam APBN hanya memasukkan pendapatan negara dari sektor formal seperti finansial dan industri skala besar. Petani, nelayan, masyarakat adat tidak diakui peran dan kontribusinya. Padahal dari krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia khususnya, sektor informal justru mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi, ujar dia.

Dia menyatakan, model pengelolaan wilayah yang dilakukan oleh masyarakat yang memberikan nilai ekonomi dan sekaligus ekologis, bukan hanya tidak didukung oleh negara, bahkan tidak dilindungi. Penghancuran wilayah kelola masyarakat dimulai dari konsesi-konsesi yang diberikan  kepada  korporasi  skala  besar  baik perkebunan monokultur (sawit/HTI) maupun industri tambang melalu izin yang diberikan seringkali tumpang tindih, dan bahkan berada di dalam wilayah masyarakat baik permukiman/ladang/pertanian.

Wilayah kelola masyarakat kini terancam hilang dengan kepungan industri tambang, industri sawit, pembangunan infrastruktur, reklamasi pesisir dan pantai, juga industri pariwisata, katanya pula.

Dicontohkan, di Tebing Tinggi, Kepulauan Meranti, Riau tanaman sagu masyarakat mulai tersingkir  sejak tahun 1970-an ketika pemerintah mulai membuka pintu masuk HPH dan semakin masif pada tahun 1997.

Pada tahun 2004, Walhi mengidentifikasi wilayah kelola masyarakat, termasuk di dalamnya inisiatif-inisiatif masyarakat dalam menyelamatkan lingkungan hidup.

Menurutnya, setidaknya ada 5,4 juta hektare wilayah yang bisa dipetakan dan didesak untuk segera diakui dan dilindungi oleh negara. "Sayangnya angka tersebut terus mengalami penurunan, hingga tersisa 4,7 juta hektare pada tahun 2009 akibat desakan industri ekstraktis yang semakin masif," ujarnya lagi.

Dia menyebutkan, seluas 12,7 juta hektare hutan untuk rakyat telah dicanangkan oleh Pemerintahan Presiden Jokowi, sebuah angka yang sesungguhnya belum cukup signifikan diberikan  kepada rakyat yang selama ini memperjuangkan haknya atas hutan dan sumber-sumber kehidupannya.

Seluas 12,7 juta hektare perhutanan sosial yang akan diberikan dengan berbagai mekanisme melalui kebijakan alokasi wilayah hutan itu menjadi bagian dari implementasi Program Nawa Cita pemerintah saat ini, menurutnya lagi, harus dipandang sebagai upaya untuk memberikan jaminan kepastian hak rakyat atas sumber daya alamnya, melakukan perlawanan terhadap kemiskinan yang banyak terjadi di dalam dan sekitar wilayah hutan, perlindungan lingkungan hidup (hutan) dan menjawab tantangan perubahan iklim.

Ia mengingatkan, tantangan implementasi perhutanan sosial, pengembangan investasi di sektor kehutanan dan perkebunan akan terus meningkat tahun 2015.

Perkebunan sawit yang telah menguasai 12,35 juta ha kawasan hutan diperkirakan akan terus berkembang hingga mencapai 26,3 juta ha pada rentang waktu 2014-2025.

Menurutnya, perusahaan-perusahaan sektor HTI yang kini menguasai 9,8 juta ha akan terus dikembangkan hingga mencapai luasan 12,5 juta ha hingga tahun 2025, sehingga tahun 2015 kebijakan pengelolaan sektor kehutanan dan perkebunan akan tetap memfasilitasi pengembangan investasi di kedua sektor ini.

Hendrawan menyebutkan pula, selain tantangan ini, tantangan lainnya private sector juga berusaha mendompleng perhutanan sosial ini, dengan berbagai inisiatif yang ditawarkan, antara lain bisnis restorasi ekosistem. "Tapi, bagaimana mungkin private sector khususnya korporasi yang justru banyak melanggar HAM dan merusak lingkungan hidup, bisa menawarkan solusi yang dengan kemasan 'green economy'," ujarnya mempertanyakan.

Ia menguraikan, pada tahun 2014, sektor pertambangan menargetkan ekspansi yang lebih luas meskipun di tahun 2012 telah tercatat luas wilayah pertambangan mencapai 17,2 juta ha (3,2 juta ha di kawasan hutan). Kementerian ESDM melalui kepmen telah menetapkan wilayah pertambangan (WP) di seluruh Indonesia (diklasifikasikan dalam 7 pulau besar).

Menurut Walhi, katanya pula, selain tidak partisipatif, penetapan WP ini akan menyasar kawasan hutan, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang tentunya akan menjadi medan konflik SDA dan agraria yang lebih luas di Indonesia.

Karena itu, Walhi mendorong pemerintah segera memberikan hak pengelolaan hutan kepada rakyat, karena diyakini menjadi jalan untuk menyelesaikan konflik struktural di sektor kehutanan yang sejak Orde Baru berlangsung hingga kini.

"Membangun Indonesia dari pinggiran selalu disampaikan oleh Presiden Jokowi baik untuk membangun perdesaan maupun wilayah perbatasan. Yang ingin kami sampaikan bahwa selain UU Desa yang harus diimplementasikan untuk membangun perdesaan dan kesejahteraan desa, juga dukungan lain oleh negara yakni memberikan perlindungan agar ekonomi masyarakat perdesaan baik di pulau-pulau besar maupun pulau-pulau kecil hingga perbatasan yang mengandalkan kekayaan alam, dari ancaman investasi industri ekstraktif skala besar," katanya pula.

Dia menegaskan, banyak tempat masyarakatnya sudah sejahtera dengan bertani, justru menjadi terancam miskin karena kerusakan lingkungan hidup dan perampasan sumber-sumber agraria oleh investasi dengan atas nama pertumbuhan ekonomi. Karena itu, kebijakan tersebut harus segera dikoreksi dan diperbaiki ke depannya.

Simposium internasional ini, mengundang peserta Biennial General Meeting (BGM) 2016 anggota FoE Internasional, dengan menghadirkan narasumber pejabat pemerintahan Indonesia termasuk beberapa menteri, aktivis lingkungan internasional dan perwakilan masyarakat dari Indonesia (Asia Pasifik), Latin Amerika, Afrika, dan Eropa, perwakilan Friends of the Earth Internasional, Asia Foundation, Walhi Nasional, dan perwakilan Pemprov Lampung.