Pejabat "Sok", rakyat demo

id demo ahok pejabat sok

Pejabat "Sok", rakyat demo

Massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) melakukan unjuk rasa di Jakarta, Jumat (4/11). Mereka menuntut penutasan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/a

Suasana tegang yang disertai munculnya ribuan warga dari berbagai daerah baik dari Jakarta maupun kota-kota lainnya ditambah dengan penyebaran puluhan ribu prajurit TNI dan Polri di Jakarta akhirnya sirna pada Jumat (4/11) berakhir dengan perasaan lega dan tenang untuk sementara itu.

Namun pada Jumat malam telah terjadi tindakan yang cukup menegangkan, yang pada sekitar pukul 21.00, akhirnya situasi cukup kritis itu telah berakhir.

Untuk pertama kalinya rakyat terutama di Jakarta menyaksikan ratusan anggota Polisi Wanita atau Polwan yang mengenakan pakaian khas Polri ditambah dengan hijab dan kemudian juga ratusan polisi pria yang mengenakan sorban yang lazim disebut Asmaul Husma saat berdinas di tempat terbuka dengan cepat mengakhiri rasa curiga atau tidak percaya.

Itulah akhir dari hari-hari penuh ketegangan setelah munculnya gagasan untuk berdemonstrasi terhadap Gubernur Daerah Khusus Ibu kota Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang sedang cuti karena ketika mengunjungi Pulau Seribu baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang dinilai menghina atau menista Agama Islam dan ummat Islam.

Akibat penistaan yang dianggap menghina ummat Islam itu --justru pada saat Ahok masih menjadi gubernur aktif-- maka muncul desakan atau tuntutan supaya tuan gubernur ini diperiksa oleh Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian (Mabes Polri).

Untung saja, Presiden Joko Widodo menempuh cara yang tegas dengan menyatakan bahwa dirinya tidak akan turut campur atau mengintervensi kasus ini yang sedang ditangani Bareskrim Polri.

Selanjutnya, Kepala Negara mengundang pimpinan beberapa pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam seperti Majelis Ulama Islam, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama serta Muhammadiyah.

Bahkan kemudian Joko Widodo memanggil Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla untuk mengadakan pembicaraan di Istana Kepresidenan pada hari Kamis (3/11) untuk mendiskusikan materi yang sama.

"Masyarakat tetap saja bekerja biasa. Yang jelas, saya ada di Jakarta," kata Jokowi kepada pers di Istana saat menjelaskan pembicaraannya dengan Jusuf Kalla.

Namun tetap saja muncul rasa khawatir terutama bagi rakyat di Jakarta karena sejak hari Kamis malam, ribuan bahkan belasan ribu musllimin dan muslimah berdatangan ke Mesjid Istiqlal untuk berkumpul dan menjadikan mesjid terbesar di Jakarta itu sebagai titik tolak acara berunjuk rasa.

Rutenya antara lain adalah Istiqlal- Kantor Bareskrim di Jalan Medan Merdeka Timur-- Jalan Medan Merdeka Selatan tempat Ahok berkantor- Jalan Merdeka Barat hingga Jalan Medan Merdeka Utara tempat Istana Kepresidenan.

Perjalanan itu menimbulkan kekhawatiran dan juga ketakutan jika sampai terjadi bentrokan antara belasan ribu pengunjuk rasa dengan aparat keamanan yang terdiri atas prajurit Polri yang didukung TNI.

Jika pada demo-demo masa lalu, hampir bisa terjadi bentrok atau tawuran antara pendemo dan satuan pengamanan maka kali ini terjadi suasana yang bertolak belakang.

Ratusan Polwan berhijab yang didukung polisi bersorban dan puluhan ribu prajurit Polri dan TNI bisa saling mengisi.

Artinya para pengunjuk rasa secara bebas bisa melontarkan uneg- unegnya tapi di lain pihak petugas keamanan sangat sukses menciptakan rasa aman dan tenang.

Karena itu tidaklah heran jika seorang penceramah kondang ,Arifin Ilham pada JUmat pagi berkata"Insya Allah, demo akan berjalan aman".

Pada sekitar Jumat sore, Wapres Jusuf Kalla menerima wakil demonstran di Istana Kepresidenan.

Pertemuan yang tak terduga ini semakin menambah rasa yakin pada diri masyarakat dan juga aparat keamanan bahwa ketegangan ini sudah berakhir untuk "sementara waktu" Sekalipun suasana damai praktis terasa sepanjang hari Jumat, tapi masih ada satu pertanyaan yang muncul pada benak jutaan rakyat Jakarta dan juga masyarakat di kota-kota lainnya di Tanah Air yakni mengenai persoalan pokoknya.

Ahok.

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah dituding atau dituduh menista ummat Islam karena dalam pidatonya di Pulau Seribu menyebut-nyebut salah satu surat dalam kitab suci Al Qur'an.

Siapa pun juga pasti tahu bahwa Ahok sama sekali bukanlah muslim atau beragama Islam. Karena itu, kenapa dia harus membawa-bawa salah satu surat dari Al Qur'an yang bisa "bermanfaat atau berguna" bagi dirinya jika harus berkampanye pada pemilihan kepala daerah pada tanggal 15 Februari tahun 2017.

Dalam Pilkada itu, Ahok didampingi calon wakil gubernur Djarot Saiful Hidayat untuk bersaing dengan Agus Harimurti Yudhoyono yang bergandengan dengan Sylviana Murni serta satu lagi saingannya yakni pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Karena Ahok bukanlah ummat Islam, maka pertanyaan mendasarnya adalah kenapa dia harus membawa-bawa kitab suci ummat Islam.

Yang salah itu adalah apakah Ahok sendiri atau para pendampingnya atau "provokatornya"? Kenapa Ahok tidak saja mengutip ucapan orang- orang terkenal baik dari Tanah Air sendiri atau orang- orang asing? Akibat ngomong" sembarangan" maka dia terkena " batunya" sehingga harus sampai diperiksa di Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri.

Gubernur yang sedang cuti ini memang telah "minta maaf" kepada ummat Islam. Tapi pertanyaan yang patut diajukan kepada dia adalah apakah itu benar-benar minta maaf ataukah cuma basa-basi? Sekalipun dia sudah minta maaf, ternyata toh ribuan bahkan puluhan ribu orang tetap saja mengritik bahkan mengecam peserta Pilkada DKI dengan nomor urut 2 ini.

Setelah menerima para peserta unjuk rasa itu, Wapres Kalla tetap berkata bahwa kasus ini tetap akan diproses secara hukum. Pertanyaan mendasarnya adalah sudah siapkah Ahok kalau kasus ini tetap ditangani menurut hukum yang berlaku atau peraturan-perundangan? Kasus ini juga seharusnya menjadi pelajaran sangat berharga bagi semua calon kepala daerah lainnya untuk tidak asal bunyi atau "asbun" dimana pun mereka ingin mencalonkan diri.

Kalau pada pilkada serentak yang diikuti oleh sekitar 101 calon kepala daerah mulai dari gubernur-wakil gubernur, bupati- wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota maka 20 persen terjadi kasus sejenis seperti di Jakarta maka apa jadinya? Kalau para calon pemimpin rakyat itu-- tanpa kecuali-- harus berani "mengunci" rapat- rapat mulutnya tanpa kecuali maka pesta demokrasi mendatang itu pasti aman dan terkendali. Jadi, para calon kepala daerah itu-- tanpa kecuali" harus bisa " menutup" rapat mulutnya dan belajar berbicara yang sopan santun.

Karena Presiden dan Wakil Presiden sudah berulang kali berjanji tidak akan turut campur atau mengintervensi kasus Ahok ini, maka tentu rakyat di seluruh Tanah Air akan menunggu-nunggu pelaksanan janji kedua pemimpin nasional itu oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dan Jaksa Agung M Prasetyo hingga Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Yasonna Laoly.

Karena Pilkada serentak lagi sudah "diujung mata" maka masyarakat tentu boleh berharap agar kasus ini segera secepatnya diselesaikan agar rakyat tak dipusingkan lagi oleh hal-hal semacam ini lagi" .(Ant)