IDI tetap tolak DLP

id dokter, DLP, IDI

IDI tetap tolak DLP

Para dokter menolak keras Program Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) (ANTARA LAMPUNG/Agus Setyawan)

Bandarlampung (Antara Lampung)- Senin lalu, para mahasiswa kedokteran dan dokter umum, termasuk dokter spesialis, menggelar aksi damai untuk menolak penerapan program studi Dokter Layanan Primer (DLP).

Aksi demo yang juga dalam rangka memperingati HUT IDI itu, digelar bukan hanya di Jakarta saja, tetapi di berbagai daerah di Indonesia.

Tuntutan para dokter itu relatif sama, yakni menolak DLP serta memperbaiki sistem Jaminan Kesehatan Nasional.

Apa saja pendapat para dokter itu, dan di mana saja ada aksi penolakan itu ?

Berikut aksi dokter yang tergabung dalam IDI, dirangkum dari pemberitaan Antara :

Jakarta
Sedikitnya 2000 dokter pada Senin menggelar unjuk rasa menuntut dihapuskannya program Dokter Layanan Primer (DLP) yang dianggap memberatkan dokter dan membebani APBN.
       
"Aksi damai merupakan puncak dari berbagai usaha yang telah dilakukan untuk menyadarkan pemerintah mengenai persoalan dokter," kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Ilham Oetama Marsis.
        
Marsis mengatakan DLP memberatkan calon dokter karena program tersebut merupakan kewajiban. DLP justru meragukan kompetensi calon dokter yang sudah menempuh pendidikan sebelumnya.
        
Sebelum bertugas, kata dia, para calon dokter sudah menjalani uji kompetensi, sertifikasi dan pembekalan dokter.
        
Di dalam UU Pendidikan Kedokteran, lanjut dia, standar kompetensi sudah diatur tanpa harus menjalani DLP. Program DLK seperti memaksa para dokter untuk mengulangi apa yang sudah mereka pelajari di bangku pendidikan.
        
Selain itu, kata Marsis, program DLP juga membebani uang negara karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.
  
Padang
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), menyatakan program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) tidak menyelesaikan permasalahan kesehatan di Indonesia.
         
"Masalah kesehatan tidak akan selesai dengan menambah masa pendidikan dokter," kata Sekretaris IDI Sumbar, dr. Harefa SpPD .
         
Ia menjelaskan DLP merupakan program pendidikan untuk dokter umum yang akan dijadikan sebagai dokter pertama di layanan tingkat pertama, artinya lulusan dokter umum yang ada oleh fakultas kedokteran di Indonesia tidak berkompeten untuk melakukan layanan tingkat pertama.
    
Balikpapan
Para dokter menolak Program Pendidikan Dokter Layanan Primer atau Prodi DLP di kampus yang memiliki Fakultas Kedokteran.
         
Prodi DLP adalah pendidikan kedokteran lanjutan yang setara dengan jenjang spesialis. Tujuannya agar dokter dapat memberi layanan primer, utamanya dapat mengedukasi dan mengadvokasi masyarakat melalui sosialisasi kepada keluarga sehingga dapat melakukan pencegahan penyakit.
         
"Padahal itu kan identik dengan tugas dokter umum," kata Ketua Ikatan Dokter Indonsia (IDI) Komisiariat Dinas Kesehatan Kota (DKK) Balikpapan dr Irawan.
   
Banjarmasin
Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Kalimantan Selatan menolak pemberlakukan Program Dokter Layanan Primer (DLP) karena dinilai sebagai pemborosan keuangan negara.
         
"Kami Ikatan Dokter Indonesia menolak diberlakukan Program DLP, karena bukan solusi justru pemborosan anggaran," kata juru bicara perwakilan IDI Kalsel Ahmad Saukani, di Banjarmasin, Selasa.
         
Menurut dia, pembelakukan Program DLP sangat membebani para dokter karena harus melanjutkan pendidikan selama tiga tahun, terutama dari segi biaya hidup dan tempat tinggal.
         
"Setelah kami amati dengan seksama perubahan yang menyangkut kesehatan dan melibatkan IDI, pemerintah belum melihat masalah layanan primer secara holistik," ujar Ketua IDI Kota Banjarmasin itu pula.
         
Akibatnya, ujar dia lagi, kebijakan itu berpotensi mengundang masalah baru, dan pemerintah belum menempatkan prioritas kerja berdasarkan fakta dan masalah yang ada.
     
Sampit, Kalteng
Puluhan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng, berunjuk rasa menolak program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) yang diberlakukan Kementerian Kesehatan karena dinilai membebani.
          
"Kalau program ini dilaksanakan, dibutuhkan waktu 11 tahun menempuh pendidikan untuk menjadi dokter layanan primer. Ini harus dipikirkan dampaknya. Kami sangat setuju upaya peningkatan layanan kesehatan, tapi harus dicari cara terbaik," kata Ketua IDI Cabang Kotawaringin Timur, dr Mochammad Choirul Waro.
           
Para dokter menilai program pendidikan DLP membutuhkan waktu lebih lama bagi dokter agar bisa bertugas. Program ini dinilai juga menghambat kinerja dan pengembangan karir dokter.
   
Madiun
Puluhan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Madiun, Jawa Timur menolak kebijakan pemerintah tentang program pendidikan dokter layanan primer (DLP) dengan unjuk rasa secara damai di halaman Kantor Dinas Kesehatan.
         
Dalam aksi damai itu, para dokter yang mencapai sekitar 80 orang tersebut, membawa spanduk yang bertuliskan "IDI Cabang Madiun Tolak Prodi DLP", "Say No DLP", dan lainnya. Selain itu, puluhan dokter tersebut juga memasang PIN yang bertuliskan "Rakyat Tidak Butuh DLP, Rakyat Butuh Obat dan Alkes".
         
"Kami menolak program DLP karena implementasinya membingungkan, boros biaya, dan tanpa kajian yang mendalam," ujar Koordinator aksi yang juga Ketua IDI Cabang Madiun, dr Bambang Subarno SpP dalam aksinya, di Madiun, Senin.
         
Menurut dia, kebijakan prodi DLP belum tuntas pembahasannya di tingkat organisasi profesi dan Konsil Kedokteran lndonesia (KKL). Namun, kebijakan program pendidikan itu dipaksakan untuk berjalan.
         
"Pemaksaan program DLP rentan menimbulkan konflik horizontal antara dokter di layanan tingkat pertama," ucapnya.

Denpasar
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Bali melakukan aksi unjuk rasa ke DPRD setempat, guna menyampaikan aspirasi menolak program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP), sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter (Dikdok).
         
Ketua IDI Bali dr. Kompyang Gautama di Denpasar, Senin mengatakan pihaknya menolak program pendidikan DLP tersebut, seperti yang tertuang dalam pasal 7 dan 8 UU itu mewajibkan dokter yang sudah menyelesaikan pendidikan diharuskan untuk melanjutkan lagi ke pendidikan DLP selama tiga tahun. Mereka mendesak UU tersebut direvisi, sebab dinilai mubazir dan mengganggu sistem pelayanan.
    
Samarinda
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Kalimantan Timur dr Nathaniel Tandirogan menyatakan, pemberlakuan Dokter Layanan Primer (DLP) berpotensi menimbulkan konflik horizontal yang dapat mengganggu terwujudnya peningkatan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
         
"Masih banyak faktor lain selain pendidikan dokter di pelayanan primer yang perlu diprioritaskan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan," kata Nathaniel Tandirogan pada aksi damai menolak pendidikan DLP di Samarinda, Senin.
         
Aksi menolak pendidikan DLP yang diikuti puluhan dokter dari kabupaten/kota di Kaltim dan Kalimantan Utara sekaligus, melaksanakan upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-66 IDI.
          
"IDI mendukung peningkatan kompetensi dokter di layanan primer, namun beberapa hal yang menjadi pertimbangan menolak Dokter Layanan Primer sebagai profesi baru di dunia kedokteran, yakni belum adanya 'blueprint' dan 'roadmap' atau kerangka kerja terperinci yang jelas mengenai peningkatan sistem pelayanan kesehatan secara komprehenshif," katanya.
         
Penerapan Dokter Layanan Primer berdasarkan Undang-undang Pendidikan Kedokteran (Dikdok) Nomor 20 Tahun 2013 yang saat ini gencar disosialisasikan Kementerian Kesehatan akan memperpanjang masa pendidikan seorang dokter.
 
Cianjur, Jawa Barat
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cianjur, Jabar, melakukan aksi penolakan terhadap program studi dokter layanan primer (DLP) karena program tersebut akan memperpanjang waktu pendidikan untuk dokter.
         
Ketua IDI Cianjur, Trini Handayani, di Cianjur, Senin, mengatakan, untuk menjadi dokter, seseorang harus menempuh pendidikan sampai empat tahun ditambah praktik lapangan selama dua tahun baik di rumah sakit ataupun puskesmas, jika ditambah DLP maka pendidikan yang ditempuh hanya untuk mengejar S1 kedokteran selama sembilan tahun.

Sukabumi, Jawa Barat
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menyebutkan program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) bisa mengganggu pelayanan kesehatan untuk masyarakat.
        
"Progam DLP ini tidak bisa dilaksanakan di Kabupaten Sukabumi karena keterbatasan dokter yang berjumlah 305 orang. Jika pendidikan DLP diwajibkan untuk dokter maka akan mengganggu pelayanan," kata  Ketua IDI Cabang Kabupaten Sukabumi, Arya Firmansyah.
        
Menurut dia, untuk Kabupaten Sukabumi kebutuhan dokter idealnya dua ribu orang sehingga daerah ini masih jauh dari kata ideal. Jika program ini diikuti oleh dokter, maka sudah pasti yang jadi korbannya adalah masyarakat yang ingin memeriksakan kesehatannya.
 
Kediri, Jatim
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kediri, Jawa Timur, meminta kebijakan program dokter layanan primer (DLP) untuk ditinjau kembali, karena terkesan dipaksakan Kementerian Kesehatan.
         
"Kami memberikan masukan ke pemerintah untuk program studi dokter layanan primer ditinjau kembali, karena merugikan," kata Ketua IDI Kabupaten Kediri Hermawan Krisdiono saat aksi di area Simpang Lima Gumul (SLG) Kabupaten Kediri.
         
Pihaknya mengungkapkan adanya program studi ini dikhawatirkan justru  menimbulkan dualisme, yaitu ada dokter yang ahli tapi dokter umum serta dokter spesialis.
         
"Kondisi ini dinilai bisa menimbulkan konfrontasi luar biasa di daerah dan ini kontraproduktif untuk sistem kesehatan, jadi pemerintah perlu merenung dan melakukan revisi UU ini," jelasnya.
   
Pamekasan, Jatim
 Para dokter yang tergabung dalam organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pamekasan, Jawa Timur, Senin, berunjuk rasa ke kantor DPRD setempat untuk menolak dokter layanan primer (DLP) oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Riset dan Teknologi.
        
"Itu (program dokter layanan primer) terlalu memberatkan beban dokter, karena dengan program itu, maka masa pendidikan kedokteran menjadi lebih lama, makanya kami menyampaikan aspirasi menolak program tersebut," kata Ketua IDI Pamekasan Syaifuddin.
        
Sejak Juni 2016, Kemenkes bersama Kementerian Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengumumkan program DLP bagi dokter.
        
Dalam program pendidikan itu dokter diharuskan untuk menempuh pendidikan agar bisa berpraktik di layanan primer, selama dua tahun.
             
Tulungagung, Jatim 
Sedikitnya 120 dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Tulungagung, Jawa Timur, Senin menggelar petisi menolak rencana pemerintah memberlakukan program studi khusus untuk dokter layanan primer (DLP).
         
Aksi penandatangan petisi dilakukan di atas lembaran media spanduk putih berbahan plastik (polyester) yang telah dipersiapkan di depan kantor IDI Tulungagung, jalan dr Wahidi Sudirohusodo.
      
Selesai melakukan apel pagi bersama yang diisi laporan dan pernyataan sikap menolak rencana pebrelakuan DLP, puluhan dokter secara bergantian membubuhkan tanda tangan petisi di media spanduk yang dipasang di pagar kantor IDI.
    
Siak, Riau
Ikatan Dokter Indonesia Cabang Kabupaten Siak, Provinsi Riau, menolak program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) karena dinilai hanya akan membuang waktu.
  
 "Kalau kita menempuh  pendidikan layanan primer lagi selama 3-4 tahun, kapan kami para dokter akan terjun ke lapangan secara langsung," ujar Ketua IDI Cabang kabupaten Siak Beni Chairuddin saat perayaan hari IDI ke-66 di Siak.
    
Dia mengatakan bahwa untuk menempuh pendidikan menjadi seorang dokter umum menghabiskan waktu sekitar tujuh tahun. Katanya, pada dasarnya DLP sudah didapatkan selama masa pendidikan.
  
"Dari 120 ribu dokter di Indonesia, 80 ribu lebih diantaranya adalah dokter umum," ucapnya.
 
Kendari, Sulawesi Tenggara
Ratusan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sulawesi Tenggara, Senin melakukan aksi di gedung DPRD Sultra meminta lembaga itu menolak program studi Dokter Layanan Primer (LDP) di universitas.
         
"Kami meminta DPRD ikut mendesak pemerintah pusat agar pendidikan DLP ditinjau kembali. Pendidikan LDP dinilai belum jelas konsepnya, dan hanya akan membuang-buang waktu saja," kata ketua IDI Sultra,  dr Junuda Raf saat orasi di gedung DPRD Sultra di Kendari.
         
Junuda mengatakan, pendidikan DLP dinilai masih belum jelas konsepnya dan dipaksakan, pendidikan tambahan itu dikatakan sejajar dengan pendidikan dokter spesialis, namun apa materinya, isinya, kurikulumnya, dan juga tujuannya tidak jelas.

Solo 
Ratusan orang dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Surakarta melakukan aksi damai menuntut revisi Undang Undang tentang program studi tambahan untuk menjadi seorang dokter di Bundaran Gladak Solo, Senin.
        
Ratusan orang pengunjuk rasa yang berprofesi sebagai dokter umum dan spesialis tersebut melakukan orasi dan menggelar sejumlah spanduk antara lain "Darurat Reformasi Kesehatan", Orang Miskin Boleh Jadi Dokter", Dokter Indonesia Pro Rakyat" dan Dokter Indonesia Bangkit".
        
Bahkan sejumlah peserta aksi melakukan teatrikal soal beberapa profesi dokter yang harus menempuh pendidikan cukup lama mulai lulus kedokteran, kemudian praktek menjadi pegawai tidak tetap (PTT) tiga tahun dan ada lagi program studi tambahan.
         
Ketua IDI Kota Surakarta dr Aji Suwandi dalam orasinya mengatakan ada 200 dokter baik umum maupun spesialis di Kota Solo yang melakukan unjuk rasa untuk menuntut dua hal.

Bandarlampung, Lampung
Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Lampung menolak Program Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) karena hanya pemborosan biaya.
        
"Dokter layanan primer itu sebenarnya sudah didapatkan selama masa pendidikan. Kami menempuh pendidikan untuk menjadi seorang dokter umum sekitar 7 tahun," kata Sekretaris IDI Kota Bandarlampung dr. Bambang Eko Subekti saat aksi damai di Tugu Adipura Bandarlampung.
         
Ia berpendapat bahwa pemerintah sebaiknya lebih memikirkan peningkatan kualitas atau kompetensi dokter yang sudah ada, bukannya menambah progam pendidikannya karena mubazir atau sia-sia.

Kendari, Sultra
Ratusan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia Sultra menggelar aksi unjuk rasa di Kendari, Senin, menolak program dokter layanan primer (DLP).
           
Ikatan Dokter Indonesia Cabang Sultra, unjuk rasa menolak regulasi Dokter Layanan Primer atau DLP yang terkesan dipaksakan oleh Kementerian Kesehatan.
          
"Unjuk rasa penolakan konsep pendidikan DLP yang terkesan dipaksakan oleh Kementerian Kesehatan ini diikuti ratusan dokter yang tergabung dalam IDI Cabang Sultra," ujar ketua IDI Sultra, dr Junuda Raf, saat memberikan orasi.

Bengkulu
Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Bengkulu menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) di Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Bengkulu.
        
Ketua IDI Bengkulu, Syafriadi, di Bengkulu, Senin, mengatakan, aksi penolakan tersebut mengingat sistem pendidikan DLP tersebut akan memberikan beban yang besar terhadap calon-calon dokter.
        
"Sistem pendidikan yang berlaku sekarang membutuhkan waktu tujuh sampai delapan tahun baru mereka lulus dan bisa mendapatkan izin praktik, namun dengan DLP ini mereka akan kuliah lebih lama lagi," kata dia.
        
Beban kuliah pendidikan DLP yakni selama enam semester atau tiga tahun, artinya menurut Sayfriadi, harus menghabiskan waktu sampai 11 tahun untuk bisa menjadi seorang dokter (ANT).