Pengembangan Hutan Rakyat Semaka Penyangga TNBBS

id Pengembangan Hutan Rakyat Semaka, YKWS Kembangkan Hutan Rakyat, Hutan Rakyat di Lampung

Pengembangan Hutan Rakyat Semaka Penyangga TNBBS

Warga sekitar hutan TNBBS di Pekon Sedayu dan Margo Mulyodi, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus yang mengembangkan hutan rakyat. (FOTO: ANTARA Lampung/Ist)

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS) melalui dukungan dari Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera bersama masyarakat di Pekon Sedayu dan Margo Mulyo, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung, mengembangkan hutan rakyat.

"Program pengelolaan hutan rakyat itu dilaksanakan di daerah penyangga hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)," kata Febrilia Ekawati, Ketua YKWS, di Bandarlampung, Kamis.

Menurut Febrilia, pemilihan lokasi pengembangan hutan rakyat di daerah penyangga TNBBS itu, didasari kondisi masyarakat sekitar daerah penyangga TNBBS yang memiliki peran penting mendukung keberlangsungan dan keseimbangan ekosistem di TNBBS.

Pendapatan dan kondisi ekonomi masyarakat yang bermukim di daerah penyangga TNBBS itu belum sejahtera karena faktor minim lahan, manajemen pengelolaan lahan dan pengembangan komoditas tanaman yang cenderung monokultur, serta pola pemanfaatan potensi yang minim teknologi, sehingga cenderung mendorong terjadi tekanan terhadap kawasan TNBBS, serta sering terjadi konflik satwa.

Kegiatan pengembangan hutan rakyat diawali dari penguatan kelembagaan kelompok tani hutan dan kelompok wanita tani, peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan-pelatihan, peningkatan kualitas tutupan lahan dan manajemen pengelolaan lahan dengan komposisi tanaman yang multistrata, pembangunan unit usaha pemanfaatan hasil hutan secara komunal melalui koperasi, dan advokasi kebijakan dalam mendukung pengembangan dan keberlanjutan hutan rakyat.

Febrilia menyatakan bahwa hutan memiliki peran penting bagi kehidupan yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem.

Kondisi hutan yang lestari dengan berbagai potensi yang terkandung memberikan manfaat ekonomi dan keseimbangan ekologi.

Namun sebaliknya, kondisi hutan yang rusak akan memberikan dampak buruk dalam kehidupan, seperti menimbulkan banjir, tanah longsor, kehilangan sumber-sumber mata air, kehilangan spesies satwa dan tumbuhan, serta kehilangan sumber-sumber penghidupan untuk masyarakat yang bermukim di sekitar hutan.

Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Lampung menyebutkan kawasan hutan negara di Lampung seluas 1.004.735 hektare (berdasarkan SK Menhutbun No: 256/KptsII/2000) atau sekitar 28,47 persen dari total luas daratan Lampung 3.528.835 hektare.

Namun kondisi kerusakan kawasan hutan di Lampung saat ini berdasarkan penutupan lahan mencapai sekitar 53,97 persen, terjadi di kawasan hutan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam laut dan taman hutan raya, kawasan hutan lindung, serta kawasan hutan produksi.

Upaya untuk pemulihan kawasan hutan yang rusak itu juga terus dilakukan dari tahun ke tahun. Rehabilitasi dan konservasi semakin ditingkatkan untuk memulihkan fungsi hutan.

Kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat juga diterapkan pada kawasan hutan negara.

Namun, hal tersebut dianggap belum mencukupi, sehingga upaya pelestarian hutan dan pengembangan hutan rakyat juga harus menjadi prioritas pembangunan sektor kehutanan di Provinsi Lampung.

Ia mengatakan hutan rakyat sebagai wilayah penyangga hutan negara, yaitu taman nasional, hutan lindung, dan hutan produksi, memberikan manfaat dalam mengurangi tekan terhadap keberadaan hutan negara.

Dia menjelaskan bahwa pengembangan hutan rakyat harus terus dilakukan sebagai strategi untuk meningkatkan kualitas tutupan hutan di Provinsi Lampung.

Dari upaya pengembangan hutan rakyat yang dilakukan masyarakat bersama YKWS pada dua pekon (desa) di Kabupaten Tanggamus tersebut telah menelurkan beberapa hal, di antaranya peningkatan kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan, adanya beragam produk yang dihasilkan dari hasil hutan kayu (HHK) berupa kayu olahan, kerajinan tangan, dan hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti lebah madu, olahan produk herbal berupa jahe instan, temu lawak instan, kunyit asam, sirup pala, dan olahan makanan yang bersumber dari hutan rakyat setempat.

Produk HHK dan HHBK, katanya, bila terus dikembangkan dengan berbagai inovasi dan pemasaran yang baik memberikan peningkatan pendapatan masyarakat di derah penyangga.

Dia mengharapkan pula dukungan dari berbagai pihak untuk pengembangan hutan rakyat itu, sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan di Lampung.