Indonesia Darurat Kejahatan Korporasi, Presiden Diminta Segera Bertindak

id Walhi Nilai Darurat Kejahatan Korporasi, Kejahatan Lingkungan oleh Korporasi, Kejahatan Lingkungan, Walhi

Indonesia Darurat Kejahatan Korporasi, Presiden Diminta Segera Bertindak

Mahasiswa Universitas Islam Riau berunjuk rasa di depan Mapolda Riau, Selasa (6/9), mendesak Presiden Jokowi segera membentuk tim independen untuk menyelidiki penerbitan SP3 dari 15 perusahaan pembakar hutan dan lahan di Riau. (ANTARA FOTO/Rony Muhar

Menyuap, melakukan pelanggaran hukum dan aturan, melanggar hak asasi manusia, menjadi watak korporasi dalam menjalankan bisnis mereka....
Jakarta (ANTARA Lampung) - Beberapa hari ini publik diperlihatkan dengan berbagai peristiwa yang bukan hanya mencoreng komitmen Presiden Joko Widodo untuk penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, namun juga mengusik rasa keadilan bagi publik.

Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dikeluarkan oleh kepolisian daerah dengan berbagai alasan, antara lain tidak cukup bukti. Namun di ruang yang lain, penangkapan besar-besaran dilakukan terhadap masyarakat kecil, seakan tidak ada kompromi. Lemahnya wibawa negara di hadapan korporasi juga ditunjukkan dengan peristiwa penyanderaan petugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan penghalangan sidak Badan Restorasi Gambut (BRG).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai bahwa dari hulu hingga hilir, korporasi melakukan berbagai tindak kejahatan, baik kejahatan lingkungan maupun kejahatan kemanusiaan. Di hulu, di berbagai kasus yang diadvokasi oleh Walhi, korupsi dilakukan untuk mendapatkan izin. Dalam analisa yang Walhi lakukan bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya menemukan, berbagai bentuk modus operandi kejahatan korupsi yang dilakukan oleh perusahaan. Korporasi juga melakukan kejahatan dalam rantai produksinya, dalam land clearing dengan membakar yang mengakibatkan penghancuran ekosistem, kematian, dampak kesehatan masyarakat yang buruk, kerugian negara dan kerugian non materi lainnya. PT Musi Hutan Persada misalnya, selain konsesinya terbakar dengan luasan mencapai sekitar 80.000 hektare, mereka juga melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dengan menggusur tanah dan ladang milik masyarakat Cawang Gumilir Musi Rawas Sumatera Selatan. Sudah 158 hari masyarakat tinggal di pengungsian.

Menyuap, melakukan pelanggaran hukum dan aturan, melanggar hak asasi manusia, menjadi watak korporasi dalam menjalankan bisnis mereka. Penggunaan kekerasan, premanisme dan pendekatan keamanan, termasuk pengerahan aparat keamanan (Polisi/TNI) dan juga kelompok pamswakarsa selalu menjadi pola yang sistematis dan pada akhirnya terus melanggengkan konflik struktural agraria.

Walhi mempertanyakan peran penegak hukum dalam hal ini Kepolisian dalam kasus-kasus struktural lingkungan hidup, terutama dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Ada apa dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia? Polisi tidak hanya gagal menegakkan hukum, terutama hukum lingkungan, akan tetapi juga gagal menterjemahkan undang-undang, bahkan terkesan memelintir isi undang-undang, sehingga gagal melihat penyebab kebakaran hutan dan lahan, dan gagal menetapkan tersangka pelaku pembakar hutan. Dalam beberapa kejadian ini polisi memposisikan diri mewakili kepentingan korporasi, bahkan terlihat mulai berani berhadapan dengan negara, sementara korporasi mulai terang-terangan menunjukkan kedudukannya melampui negara.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Walhi menyatakan “berbagai peristiwa hukum yang terjadi dalam beberapa hari ini, harusnya dapat menjadi momentum bagi Presiden untuk menyatakan bahwa Indonesia berada dalam Darurat Kejahatan Korporasi”. Untuk itu, Walhi merekomendasikan agar:

1. Presiden Republik Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh di tubuh Polri juga TNI, dimana selama ini terindikasi menjadi backing korporasi terutama korporasi perusak lingkungan dan melakukan pelanggaran HAM. Memastikan reformasi di sektor keamanan dapat berjalan di tubuh institusi Kepolisian/TNI.

2. Mereview upaya penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan dan kejahatan lingkungan hidup lainnya yang saat ini sedang berjalan, khususnya Kementerian/Lembaga Negara yang diberi kewenangan dan tugas menegakkan hukum. Mengingat proses penegakan hukum lingkungan yang berjalan saat ini, belum mampu menjangkau kejahatan korporasi

Mengingat situasi darurat kejahatan korporasi ini, kami juga mendorong adanya pengadilan lingkungan hidup. Pengadilan lingkungan hidup dibutuhkan karena kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan oleh korporasi sudah pada tahap kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).

Jakarta, 8 September 2016