Amuk Nelayan Lampung Timur Tolak Penambangan Pasir Laut

id Amuk Nelayan Lampung Timur, Nelayan Lampung Timur Tolak Tambang Pasir, Nelayan Lampung Timur, Nelayan Lampung

Amuk Nelayan Lampung Timur Tolak Penambangan Pasir Laut

Nelayan Lampung Timur menolak penambangan pasir laut, dengan aksi protes dan menyandera kapal penarik (tugboat) perusahaan. (FOTO: ANTARA Lampung/Muklasin)

Para nelayan itu menyatakan tidak pernah memberikan izin kepada PT Sejati 555 Nuswantara Sejahtera untuk melakukan eksploitasi tambang pasir di wilayah laut Desa Sukorahayu dan Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai.
Lampung Timur (ANTARA Lampung) - Nelayan dari sejumlah desa di Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung tak lagi bisa berdiam diri menghadapi kebijakan penambangan pasir laut yang dinilai akan merugikan mereka.

Apalagi, para nelayan dan warga dari sedikitnya empat desa di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur memang sejak awal sudah menyatakan menolak rencana penambangan pasir laut di kawasan perairan laut sekitar.

Nelayan dari Desa Margasari, Sukorahayu, Sriminosari, dan Karang Anyar itu menolak rencana pengelolaan tambang pasir laut karena dikhawatirkan akan berdampak buruk merusak lingkungan sehingga menurunkan hasil tangkapan mereka.

Aksi penolakan dan protes pun disampaikan para nelayan itu, setidaknya berlangsung selama beberapa hari sejak Senin (8/8) awal pekan ini.

Belakangan, kendati sudah dilakukan dialog antara perwakilan nelayan dengan pemerintah dan instansi berwenang di Provinsi Lampung dan kabupaten setempat, aksi penolakan nelayan dan warga itu kian memuncak saat mengetahui keberadaan kapal tongkang yang diduga akan mengeruk pasir di laut sekitar mereka.

Amarah pun meletup sehingga menimbulkan amuk massa, dengan sasaran merusak rumah-rumah warga sekitar yang ditengarai mendukung rencana pengusahaan tambang pasir laut itu.

Haji Komar, tokoh masyarakat di Kecamatan Labuhan Maringgai mengatakan bahwa sebelum terjadi amuk massa itu, penolakan telah disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan Pemerintah Provinsi Lampung dan meminta mencabut izin usaha pertambangan perusahaan PT Sejati 555 Nuswantara Sejahtera serta melarang aktivitas tambang pasir laut.

Tapi, menurutnya, sikap penolakan yang sudah disampaikan para nelayan itu tidak diperhatikan oleh pemerintah.

Menurut tokoh masyarakat Labuhan Maringgai itu, laut adalah mata pencarian satu-satunya nelayan setempat. "Laut adalah sumber kehidupan kami satu-satunya, sehingga kami akan terus menolak rencana penambangan pasir laut itu," katanya menegaskan pula.

Dia mengatakan amuk massa yang terjadi itu bukanlah masyarakat yang memulai, sehingga dia meminta kepada kepolisian dan pemerintah tidak menyalahkan masyarakat nelayan setempat.

Kronologis amuk massa yang terjadi Kamis (11/8) itu, diduga dipicu oleh tindakan aparat kepolisian dari Polres Lampung Timur yang membubarkan paksa aksi sejumlah nelayan di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai yang menyandera kapal tongkang dan kapal penarik diduga akan melakukan penambangan pasir laut.

Aksi penyanderaan yang terjadi terhadap kapal penarik tongkang (tugboat) Kapitol milik PT Sejati 555 Nuswantara Sejahtera itu dilakukan para nelayan sebagai bentuk protes mereka yang menolak penambangan pasir laut di  wilayah laut Desa Margasari dan Sukorahayu. Polisi kemudian membubarkan puluhan nelayan yang berada di atas kapal itu, sehingga mereka langsung kalang kabut dan menceburkaan diri ke laut.

Namun akibat kejadian itu, massa semakin memanas, apalagi ada informasi diperoleh nelayan setempat, beberapa orang ditahan di dalam kapal tersebut yang memicu amarah nelayan itu.

Amarah yang tidak terbendung itu membuat ratusan warga Kecamatan Labuhan Maringgai mengamuk dan merusak rumah warga setempat yang ditengarai mendukung aktivitas tambang pasir di wilayah laut kecamatan itu.

Data yang dihimpun di lokasi kejadian sedikitnya tiga rumah rusak berat menjadi sasaran amukan warga. Ketiga rumah itu milik Muhamad Asep dan Hadori warga Desa Margasari, serta rumah milik Kepala Desa Margasari Nyoto Suswoyo yang mereka nilai bertanggungjawab atas keluar izin usaha tambang pasir itu.

Selain itu, para nelayan juga menuntut rekan mereka dibebaskan oleh polisi dengan mencegat kapal patroli saat akan merapat di Sungai Way Penet. Namun aksi nelayan itu berhenti setelah rekan mereka dibebaskan oleh polisi.

Kapolres Lampung Timur AKBP Harseno menyatakan situasi saat ini di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai sudah kondusif, usai amuk nelayan yang menolak tambang pasir laut.

"Memang benar tadi ada kesalahpahaman, tapi situasi saat ini sudah kondusif, dan memang benar masyarakat menolak tambang pasir laut oleh PT Sejati 555 Nuswantara Sejahtera," kata AKBP Harseno di lokasi kejadian di Desa Margasari Kabupaten Lampung Timur, Kamis (11/8) malam.

Guna mengantisipasi aksi lanjutan, sejumlah anggota kepolisian telah disiagakan di lokasi kejadian. "Prinsipnya kami situasional, kami siagakan pengamanan terbuka dan tertutup," ujarnya pula.

Dia menjelaskan bahwa kejadian itu bukan merupakan konflik antarmasyarakat, tapi kesalahpahaman di antara masyarakat dipicu oleh aksi penolakan nelayan adanya rencana penambangan pasir laut di wikayah mereka.

Kapolres juga menegaskan bahwa tidak ada warga yang ditahan oleh kepolisian. "Saat ini tidak ada warga yang ditahan," katanya menegaskan.

Polres Lampung Timur menggelar pertemuan dengan masyarakat nelayan di Kecamatan Labuhan Maringgai, menyusul amuk massa nelayan memprotes keberadaan kapal tongkang PT Sejati 555 Nuswantara Sejahtera di laut kecamatan setempat yang berakhir rusuh.

Pertemuan digelar di Masjid Nurul Mubin di Desa Margasari, Kamis (11/8) malam, dihadiri ratusan nelayan dari enam desa di kecamatan tersebut, dan dipimpin langsung Kapolres Lampung Timur AKBP Harseno dan Wakapolres Lampung Timur Kompol Fidel Timurante beserta jajaran serta melibatkan Dinas Perrtambangan dan Energi Kabupaten Lampung Timur serta Camat Labuhan Maringgai Mucholis.

AKBP Harseno kepada nelayan minta agar kejadian tersebut tidak terulang kembali, dan dia berharap masyarakat tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum. Dia juga berharap pertemuan itu bisa menemukan solusi  atas permasalahan yang dihadapi oleh nelayan setempat.

Kapolres menyatakan kepada ratusan nelayan itu bahwa kapal tongkang dan kapal penarik milik PT Sejati 555 telah diimbau untuk tidak merapat di wilayah laut Kecamatan Labuhan Maringgai.

               Bersikeras Tolak Penambangan Pasir
Sebelum amuk nelayan itu meletup, para nelayan setempat sejak awal sebenarnya sudah menegaskan sikap tetap menolak penambangan pasir laut di wilayah setempat.

Mereka juga mendesak Pemerintah Provinsi Lampung untuk mencabut izin tambang pasir PT Sejati 555 Nuswantara sejahtera yang dinilai cacat administrasi dan cacat hukum.

Nelayan menuntut pula pengusutan dugaan rekayasa izin masyarakat, sehingga diterbitkan izin usaha pertambangan pasir laut tersebut.

"Kami baru diberitahu sekarang ini bahwa izin pertambangan sudah keluar padahal sebelumnya tidak ada sosialisasi dari pemerintah adanya eksploitasi tambang pasir laut," kata Tukiman, perwakilan nelayan dari Desa Margasari, Rabu (10/8).

Menurut dia, persetujuan masyarakat yang dijadikan dasar dikeluarkan izin usaha pertambangan pasir laut itu adalah sebuah rekayasa karena nelayan hanya memberikan izin pengerukan Sungai Way Penet pada 2013 lalu.

Afria Syahdi, nelayan dari Desa Sukorahayu juga meminta agar izin pertambangan yang telah dikeluarkan itu segera dikaji ulang kembali mengingat ada ketidakberesan dikeluarkan izin tambang pasir laut itu.

Para nelayan itu menyatakan tetap menolak tambang pasir laut tersebut. "Kami menolak tambang pasir laut di daerah kami, ini adalah harga mati," kata Subhan, perwakilan nelayan dari Desa Karang Anyar.

Selama dua hari berturut-turut, Senin dan Selasa (8-9/8), para nelayan itu melakukan aksi demonstrasi di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai menolak eksplorasi dan eksploitasi pasir laut oleh PT Sejati 555 Nuswantara Sejahtera.

Para nelayan itu juga menuntut pengusutan rekayasa izin masyarakat yang mereka duga telah dimanipulasi hingga terbit izin usaha pertambangan pasir laut tersebut.

Aksi unjuk rasa nelayan itu berlanjut pada Selasa (9/8), bersamaan dengan adanya pertemuan antara nelayan dengan Pemerintah Provinsi Lampung yang diwakili Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Lampung dan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Lampung serta PT Sejati 555 Nuswantara Sejahtera untuk menyosialisasikan rencana ekplorasi dan eksploitasi tambang pasir tersebut.

Sebelum pertemuan itu digelar, ratusan nelayan dari empat desa di Kecamatan Labuhan Maringgai yakni Desa argasari, Sukorahayu, Sriminosari, dan Karang Anyar menyampaikan tuntutan agar pihak kepolisian mengusut pemalsuan tanda tangan mereka, mengingat tidak pernah memberikan izin kepada perusahaan tersebut.

Tuntutan itu disampaikan pada kertas karton putih bertuliskan, "Kami masyarakat nelayan minta keadilan, menuntut manipulasi tanda tangan masyarakat".

Dalam pertemuan itu, para nelayan itu menyatakan tidak pernah memberikan izin kepada PT Sejati 555 Nuswantara Sejahtera untuk melakukan eksploitasi tambang pasir di wilayah laut Desa Sukorahayu dan Margasari  Kecamatan Labuhan Maringgai.

Mereka mengaku hanya memberikan izin pada kegiatan pengerukan atau pendalaman muara Sungai Way Penet di Desa Margasari pada tahun 2013 lalu. Mereka menilai ada sejumlah pihak yang telah merekayasa izin itu.

Dalam pertemuan itu, pihak BPLHD dan Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Provinsi Lampung menjelaskan rangkaian proses diterbitkan izin usaha tambang kepada PT Sejati 555 Nuswantara Sejahtera tersebut, setelah melewati rangkaian proses administrasi dan teknis yang semestinya dilewati.

Arif Hidayat, perwakilan PT Sejati 555 Nuswantara Sejahtera menanggapi penolakan nelayan itu mengatakan akan kembali mengagendakan untuk menggelar pertemuan kembali dengan nelayan dan berkoordinasi dengan  Pemerintah Provinsi Lampung dan Pemkab Lampung Timur.

Sedangkan mengenai tudingan nelayan yang mengaku tidak memberikan izin kepada perusahaan itu, dia mengatakan akan membuktikannya. "Nanti kami buktikan," ujarnya.

Dalam pertemuan tersebut belum dicapai kata sepakat, sehingga pertemuan itu ditutup.

Menghadapi permasalahan dihadapi nelayan itu, Totong, tokoh masyarakat Desa Muara Gading Mas berharap pula agar pemerintah pusat terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ikut membantu memperjuangkan nasib nelayan di Kecamatan Labuhan Maringgai itu.

Apalagi, hasil pertemuan Kamis (11/8) malam usai aksi amuk nelayan itu, disepakati agar kepolisian memberikan jaminan kepada nelayan bahwa kapal tongkang dan kapal penarik tidak lagi berada di wilayah laut Kecamatan Labuhan Maringgai.

Kedua, Pemprov Lampung diminta segera mencabut izin usaha pertambangan perusahaan tersebut. Ketiga seluruh nelayan di Kecamatan Labuhan Maringgai menyatakan menolak eksplorasi dan eksploitasi tambang pasir laut. Keempat, nelayan meminta pihak kepolisian mengusut tuntas diterbitkanya izin usaha tambang tersebut karena dinilai cacat administrasi, mengingat nelayan setempat umumnya mengaku tidak pernah memberikan izin kepada PT Sejati 555 Nuswantara Sejahtera.

Semula, sejumlah nelayan di Desa Margasari mengaku telah mendengar rencana eksploitasi tambang pasir di wilayahnya yang akan dikerjakan oleh sebuah perusahaan tambang pasir.

Menurut mereka, perusahaan tambang pasir tersebut akan segera beroperasi karena telah mengantongi izin dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Lampung.

Mereka menyebutkan lokasi tambang pasir laut yang akan diekploitasi itu berada di laut Tanjung Sekopong, Gusung Syahbandar, dan Laut Pedamaran yang jaraknya 2 jam perjalanan kapal laut dari muara Sungai Way Penet Desa Margasari.

Nelayan dan warga setempat kemudian bereaksi dengan menyampaikan penolakan rencana aktivitas pengusahaan tambang pasir di wilayah laut sekitar tempat tinggal mereka itu. "Kami menolak tambang pasir di lokasi tersebut, karena akan merusak ekosistem laut," kata salah satu nelayan setempat, dan dibenarkan sejumlah warga lainnya.

Selain itu, menurut para nelayan itu, dampak dari tambang pasir laut itu akan mengurangi secara drastis hasil tangkapan ikan mereka.

"Itu tempat biota laut yang biasa kami menebar jaring di situ, semua habitat dan populasi ikan di situ, kalau jadi ditambang maka kami tidak akan dapat hasil tangkapan ikan dan biota lautnya juga semua akan rusak," kata nelayan itu pula.

Para nelayan di Desa Margasari ini juga menyatakan telah menyampaikan permasalahan tersebut kepada kepala desa dan camat setempat.

"Sudah kami sampaikan penolakan kami kepada kepala desa, camat, pihak kepolisian, dan TNI dalan pertemuan di rumah kepala desa beberapa waktu lalu," katanya lagi.

Nelayan itu menjelaskan pula tidak pernah memberika izin terhadap perusahaan tambang pasir itu, dan mereka mengaku hanya pernah memberikan izin terhadap aktivitas pengerukan muara di sungai setempat pada 2013 lalu. Mereka pun berharap kepada pemerintah agar membatalkan rencana tambang pasir tersebut oleh perusahaan itu. "Kami minta rencana tambang pasir itu dihentikan," kata nelayan itu pula.

Nelayan setempat juga berharap Pemkab Lampung Timur membela mereka.

Sikap penolakan nelayan atas adanya rencana tambang pasir itu ditunjukkan pula dengan memasang sejumlah spanduk penolakan dan poster yang dibawa mereka.

Salah satu isi spanduk itu, "Kami menolak penambangan pasir laut Sekopong, jangan memikirkan diri sendiri pikirkan kami masyarakat kecil."    

Bunyi spanduk lainnya, "Penolakan penyedotan pasir laut, kami rakyat kecil khususnya nelayan tidak setuju dengan adanya penambangan ini."

Sejumlah aktivis lingkungan dan akademisi pemerhati lingkungan hidup di Lampung mengingatkan agar sikap penolakan nelayan di Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur itu, menjadi perhatian dan segera ditindaklanjuti dengan mencabut izin penambangan pasir laut yang sudah telanjur dikeluarkan.

Apalagi jika benar terjadi manipulasi proses keluar izin, pihak kepolisian juga diminta mengusut indikasi manipulasi proses perizinan itu bisa dikeluarkan, bila benar nelayan setempat mengaku tak pernah menyetujui penambangan pasir laut tersebut.

Nelayan Labuhan Maringgai itu telah menyuarakan sikap protes dan aspirasi mereka yang cenderung diabaikan, sehingga akhirnya memicu amuk.

Semestinya para pihak berwenang tidak lagi mengabaikan dan membiarkan nelayan dan warga setempat berjuang sendirian membela hak mereka.

Siapa lagi yang akan membela nasib para nelayan itu, saat berhadap-hadapan dengan kepentingan bisnis, kalau bukan pemerintah dan aparat penegak hukum yang seharusnya lebih mengayomi warganya?.