Tia bukan Tina

id sosok, Parni Hadi, Antara

Tia bukan Tina

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, Parni Hadi (Antaranews.com)

Satu huruf tambah atau hilang bisa berdampak panjang dan bahkan fatal. Maklum, ini menyangkut nama seseorang. Tia menjadi Tina atau sebaliknya bisa membuat repot yang punya nama atau orang lain yang berhubungan dengannya.
        
Kerepotan bisa terjadi kalau itu berkaitan dengan urusan kependudukan, termasuk Kartu Tanda Penduduk (KTP, paspor dan tiket pesawat terbang atau kereta api. Juga dalam urusan nikah, talak dan rujuk (NTR) di kantor urusan agama (KUA), akta kelahiran dan akta kematian.
        
Kalau terjadi salah tulis ejaan nama Anda di komputer, urusan bisa berkepanjangan, misalnya, waktu mengurus KTP baru dan mengambil tiket. Salah tulis ejaan nama bisa berakibat KTP baru tidak muncul dalam bentuk print out. Juga tiket yang dipesan jauh-jauh hari, bisa tidak keluar. Bahkan bisa jadi, Anda harus membeli tiket baru.
        
Salah panggil nama, seperti Tia menjadi Tina dan sebaliknya, bisa berakibat putus hubungan bagi orang yang sedang berpacaran. Karena yang muncul orang lain dengan wajah lain lagi ketika dipanggil. Salah sebut nama di rumah sakit bisa berakibat tangis gembira dan duka. Yang pertama, jika yang disebut namanya adalah seorang perempuan yang dalam proses melahirkan. Yang kedua, jika yang disebut namanya adalah orang yang meninggal dunia.
        
Walau pujangga Inggris, Willian Shakespeare pernah berkata "What is in a name" (apalah arti sebuah nama), salah tulis dan atau salah panggil bisa mengakibatkan suka dan atau duka yang tak terbayangkan sebelumnya.
        
Jadi nama itu penting sekali sebagai jati diri, termasuk dalam menuliskan huruf-hurufnya secara benar dan juga mengucapkannya secara jelas dan benar.

    
Ada Alternatif
   
Tia dalam tulisan ini bukan nama orang sebenarnya, melainkan sebuah singkatan dari There Is Alternative (Selalu ada alternatif). Sama halnya dengan Tina. Itu singgkatan dari There is no alternative (Tidak ada alternatif).
        
Istilah Tina biasa dipergunakan orang-orang politik menjelang pergantian pimpinan, terutama oleh mereka yang pro-status quo atau anti perubahan. Itu pernah terjadi dalam Gerakan Reformasi tahun 1998 yang ingin menggantikan Presiden Soeharto.
        
Waktu itu, ada orang yang bersikukuh bahwa tidak ada orang berkemampuan hebat yang dapat menggantikan Pak Harto, yang telah berkuasa 32 tahun. Menjelang Pilpres 2014, kelompok pendukung Pak Harto dan rezim Orde Baru pun memasang spanduk bertuliskan "Isik enak zamanku, to" (Masih enak zaman saya, kan) dengan foto Bapak Pembangunan yang murah senyum itu.
        
Ungkapan serupa terdengar menjelang pergantian Bung Karno, presiden pertama RI dan pemimpin legendaris, yang masih dipuja-puja sampai sekarang. Ternyata muncul Jenderal Suharto, menggantikan Presiden Soekarno, yang bahkan mampu berkuasa lebih lama dari pendahulunya. Juga ada yang mendambakan Pak Harto (mungkin anak atau keturunannnya) muncul lagi.
        
Selepas Pak Harto, muncul BJ Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dengan penampilan fisik dan kinerja masing-masing.
        
Setelah SBY dengan postur, penampilan dan gaya bicaranya yang khas, muncul Jokowi (Joko Widodo) sebagai presiden RI ke tujuh. Eloknya, Jokowi berpasangan dengan JK (Jusuf Kalla), mantan wakil presiden 2004-2009, pendamping SBY.
        
Jadi, yang benar adalah Tia, bukan Tina. Zaman ber-panta rei atau terus mengalir dengan tantangan dan pemimpinnya sendiri yang sesuai. Mengikuti "Zeitgeist" (semangat zaman). Jalan terus, dengan atau tanpa orang tertentu saja sebagai pemimpin. Orang Inggris bilang "with or without" atau "met op niet" (bahasa Belanda) dan "mit oder ohne" (bahasa Jerman).
        
Orang yang mati-matian suka Tina, bisa merugi karena zaman silih berganti. Filosof Jawa, Ki Ageng Suryomentaram pernah menasehati bahwa tidak ada di dunia ini yang harus dipegang mati-matian. Susah dan senang datang bergantian.
        
"Hidup itu sebentar senang, sebentar susah," kata Ki Ageng, yang terkenal dengan Kawruh Bejo (ilmu bahagia) dengan prinsip mulur-mungkret (memanjang dan memendek) nya keinginan. Asumsinya, orang akan senang jika keinginannya terpenuhi. Tak lama setelah itu, ia susah lagi, karena keinginannya memanjang.
        
Demikian pula yang susah karena keinginannya tidak tercapai, akan senang jika memperpendek keinginannya alias bisa menerima (mensyukuri) apa yang ada  atau dapat dicapai. Begitu seterusnya.  
   
Seturut dengan itu, Kahlil Gibran, penyair Lebanon, mengatakan: "Ketika suka sedang bercengkerama dengan seseorang di ruang tamu (atau di kamar tidur, Red.), duka sedang mengintip di lubang pintu, ingin masuk menggantikan si suka untuk menemaninya".
        
Bagi laki-laki yang sedang berpacaran, ada nasehat agar tidak patah hati atau bahkan bunuh diri, jika putus cinta atau ditinggal pergi perempuan yang sangat didambakan. Selalu ada gantinya. Bahkan, mungkin ia akkan mendapat yang lebih baik. Ingat kata Pak Kyai yang mengutip Al Quran: "Apa yang tampak buruk di matamu, mungkin baik di mata Tuhan". Bisa juga sebaliknya.
        
Jadi, sekali lagi, ingat Tia, bukan Tina!


*) Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

    (