Pesan Presiden Jokowi untuk partai

id presiden muktamar ppp, pesan presiden untuk partai, joko widodo

Pesan Presiden Jokowi untuk partai

Presiden Joko Widodo meneriakkan kalimat takbir ketika menyampaikan sambutannya pada acara Pembukaan Muktamar VIII PPP Tahun 2016 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Jumat (8/4). (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/aww/16.)

...Saya berharap sudah tidak ada lagi yang datang ke Menteri Hukum dan HAM. Kalau ke istana memperkenalkan pengurus yang baru, kata Presiden...
Presiden Joko Widodo menyampaikan pesan menarik untuk partai politik saat membuka Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan muktamar islah di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Jumat (8/4).

Meskipun Kepala Negara menyampaikan pesan pada forum tertinggi di partai berlambang Ka'bah itu, isinya berlaku untuk semua partai politik, terutama pada partai-partai yang sedang dilanda konflik.

Presiden berpesan kepada partai-partai agar jangan menghabiskan energi untuk perdebatan yang tidak produktif dan jangan menghabiskan energi untuk konflik yang tidak perlu.

"Saya berharap sudah tidak ada lagi yang datang ke Menteri Hukum dan HAM. Kalau ke istana memperkenalkan pengurus yang baru," kata Presiden.

Saat ini, selain PPP yang sedang berusaha menyelesaikan dualisme kepemimpinan di partai, Partai Golkar juga sedang mempersiapkan munas luar biasa di Bali pada Mei mendatang untuk membentuk kepengurusan baru setelah terjadi rujuk antara kubu Aburizal Bakrie dari kepengurusan munas Bali dan kubu Agung Laksono dari kepengurusan munas Jakarta.

Presiden juga menggarisbawahi bahwa persaingan dalam politik hanyalah satu kali dalam lima tahun. Setelah itu bersama-sama lagi membangun bangsa.

Di dalam pemilihan Presiden pun seperti itu, setelah bertarung kembali bersama lagi. Ia menceritakan hubungannya dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang sangat baik setelah bersaing pada Pemilu Presiden 2014 lalu.

"Saya dengan Mas Prabowo juga baik. Saya ke rumah Mas Prabowo dan Mas Prabowo ke Istana," ujar Presiden.

Kondisi pada sebagian partai politik saat ini memang masih memprihatinkan.

Undang-Undang Partai Politik secara jelas mendefinisikan bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".

Namun kondisi saat ini pada sebagian partai politik terjadi "perpecahan", tercerai-berai dengan saling klaim merasa paling benar dan berwenang.

Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memecat Fahri Hamzah dari keanggotaan partai karena dianggap melanggar disiplin partai dan posisi jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR digantikan oleh Ledia Amaliah meskipun Fahri menggugat pemecatannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan bertahan pada posisinya.

Partai Persatuan Pembangunan menggelar muktamar islah dan Partai Golkar mempersiapkan munas luar biasa untuk memecah kebuntuan atas dualisme kepemimpinan di masing-masing dua partai lama itu. Namun melihat perseteruan tajam di antara pihak-pihak yang bertikai membuat islah atau rujuk untuk mencapai soliditas partai yang utuh tampak sulit diwujudkan.

Partai Gerindra dan Partai NasDem digunjang kasus korupsi kader-kadernya yang berpengaruh pada citra mereka sebagai partai baru yang mengusung perubahan dan restorasi. Justru sejumlah kadernya pada jajaran pimpinan harus mendekam dalam "hotel prodeo" setelah dicokok aparat penegak hukum karena terlibat dalam sejumlah kasus korupsi.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mulai saling sindir dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada ambisi mereka untuk bertahan pada jajaran Kabinet Kerja pimpinan Presiden Jokowi merupakan pemerintahan koalisi partai dari PDIP, PKB, Partai NasDem, Partai Hanura, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Belakangan PAN menyatakan diri bergabung dengan partai-partai pemerintah tersebut, PPP dan Partai Golkar juga mendekatkan diri dalam barisan partai pendukung pemerintah.

Partai Demokrat dan PDIP juga sedang giat melakukan penataran kader utama partai hingga ke berbagai jenjang sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas kader secara intelektual, emosional maupun institusional.

Sarat kepentingan Dinamika partai politik memang sarat kepentingan.

Lantaran begitu kentalnya kepentingan politik dalam partai, ada sementara kalangan yang merasa jengah untuk merapat kepada partai politik untuk mengurus hajatnya.

Dalam pemilihan kepala daerah, misalnya, terdapat sejumlah calon yang lebih memilih memproses pencalonannya melalui jalur perseorangan atau jalur independen.

Untuk Pilkada DKI Jakarta 2017, misalnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama selaku petahana memilih menempuh pencalonannya melalui jalur perseorangan meskipun dia sejauh ini didukung oleh Partai NasDem dan Partai Hanura.

Apakah kemunculan calon perseorangan, termasuk yang pernah sukses terpilih menjadi kepala daerah dari jalur perseorangan, merupakan indikasi deparpolisasi dan kekurangpercayaan pada keberpihakan partai politik? Direktur Utama Survei Lintas Nusantara Emrus Sihombing mengatakan calon perseorangan atau independen bukan berarti sebuah upaya untuk mengerdilkan peran partai politik atau deparpolisasi.

"Justru calon independen tersebut sebagai tantangan dan motivasi bagi partai politik untuk berbenah diri sehingga mampu melahirkan pemimpin yang melampau kualitas calon independen," katanya.

Dengan demikian, rakyat diuntungkan karena memperoleh pemimpin yang lebih berkualitas. Jadi rakyat tidak membeli kucing dalam karung, seperti terjadi pada rezim Orde Baru.

Sementara itu Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Donald Fariz menilai kemunculan calon-calon kepala daerah melalui jalur perseorangan karena publik "gerah" dengan metode pencalonan dari jalur partai politik. Kemunculan calon independen merupakan kritik keras dan tamparan partai politik yang sarat nepotisme dan ada mahar politik.

Pemecatan Politisi partai politik ternyata juga tidak aman dari pemecatan yang dilakukan oleh pimpinan partainya, sebagaimana yang dialami Fahri Hamzah di PKS. Fahri bahkan menuding Presiden PKS Shohibul Iman dan beberapa tokoh senior PKS berada di balik pemberhentiannya dari keanggotaan partai yang mengusung jargon "berkhidmat untuk rakyat" itu.

Emrus Sihombing menilai pemecatan kader partai justru akan merugikan parpol itu sendiri karena menjadikannya tidak berkembang. Pemecatan kader dapat berakibat partai terbonsai sehingga sulit menjadi partai petarung, dan lambat laun menjadi partai pecundang pada setiap kontestasi di panggung politik.

Menurut dia, partai modern harus mampu mengelola perbedaan pandangan, setajam apa pun perbedaan itu di internal partai. Di dalam mengelola partai, tidak boleh pecat-memecat sebab partai bukanlah perusahaan. Keikutsertaan seseorang dalam suatu partai dasarnya adalah kesukarelaan dan perjuangan.

"Jadi, yang baik bagi kemajuan partai adalah kerelaan mengundurkan diri, bukan memecat," katanya.

Ia mengatakan, bila suatu partai melakukan pemecatan terhadap kadernya, itu pertanda pimpinan partai tersebut belum dewasa menerima dan mengelola perbedaan. Bila ingin menjadi partai pemenang jangan sekali-kali memecat setiap kadernya.

Otokritik soal dinamika partai politk atas kasus pemecatan itu datang pula dari politisi Partai Golkar Indra Bambang Utoyo. Ia menilai belum ada partai di Indonesia yang benar-benar modern sepenuhnya karena masih terjadi konflik-konflik di lingkup internal.

"Menurut saya, belum ada partai yang modern sepenuhnya. Konflik di internal yang tidak mengedepankan musyawarah itu contoh partai belum modern sepenuhnya," ujar Indra Bambang.

Ia menegaskan di dalam partai modern tidak pernah ada pemecatan kader tanpa melalui musyawarah dan tidak ada sentralisasi kekuatan oleh satu individu tertentu.

Selain itu, di dalam partai yang modern, dukungan partai terhadap seorang kader yang akan maju sebagai calon kepala daerah atau legislatif diukur dari kapabilitas dan kompetensi, bukan secara transaksional.

"Maka menurut saya ini saatnya seluruh partai introspeksi diri, termasuk Golkar," kata politisi Indra Bambang Utoyo menyampaikan kritik atas dinamika partai politik saat ini.

Setiap partai politik berorientasi pada kekuasaan. Partai yang menang pemilu, partai itulah yang berada di kekuasaan. Sebagai salah satu implikasi dari pemerintahan yang dibentuk berdasarkan koalisasi sejumlah partai maka tak dapat dihindari adanya persaingan di antara partai-partai tersebut.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKB Daniel Johan mengingatkan agar sesama partai politik pendukung Presiden Joko Widodo untuk tidak saling menjatuhkan.

"Jangan justru menambah kekisruhan dan memperlemah konsolidasi politik yang sudah semakin baik saat ini," kata Daniel Johan. Ia juga mengingatkan jangan menyebarkan fitnah yang bisa meruntuhkan kekompakan partai koalisi pendukung pemerintah yang dibutuhkan untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat.

Jadi pesan Presiden Jokowi itu diamini oleh pengamat dan politisi tersebut.

Logikanya, Presiden saja sangat peduli atas partai politik untuk tetap kompak/solid dengan konsolidasi organisasi, tidak tergores apalagi terpecah, para pengurus dan kader partai yang mendapat amanah untuk menjaga salah satu pilar demokrasi itu seharusnya memperkuat eksistensi partai bagi rakyat, bangsa dan negara sebagaimana amanat undang-undang. (Ant)