LSM: Terjadi Pelanggaran Pemanfaatan Pesisir Pantai Sari Ringgung

id Pengelolaan Pasir Timbul Ringgung Lampung, Warga Protes Pengelolaan Pasir Timbul, Pasir Timbul Lampung

LSM: Terjadi Pelanggaran Pemanfaatan Pesisir Pantai Sari Ringgung

Pasir Timbul Pantai Sari Ringgung yang Disoal Warga Desa Gebang, Kec. Teluk Pandan, Pesawaran, Lampung. (FOTO: ANTARA Lampung/Budisantoso Budiman)

"Pihak Desa Gebang juga minta pihak-pihak terkait agar tidak mengeluarkan izin yang berhubungan dengan pemanfatan potensi dan aset yang dimiliki oleh Desa Gebang itu," ujarnya lagi.
Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan dan Lembaga Bantuan Hukum Bandarlampung menilai telah terjadi pelanggaran dalam pemanfaatan kawasan pesisir pantai Sari Ringgung di Desa Gebang Kecamatan Telukpandan Kabupaten Pesawaran, Lampung.

Menurut Supriyanto, Manajer Advokasi-Hukum dan Kebijakan LSM Mitra Bentala, mendampingi Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Hendrawan, di Bandarlampung, Selasa (2/2), pihaknya telah melakukan analisis pemanfaatan kawasan pantai termasuk area pasir timbul oleh pengelola wisata pantai Sari Ringgung itu.

Analisis dilakukan menyusul perwakilan masyarakat Desa Gebang beserta kepala Desa Gebang Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran telah mendatangi kantor LBH Bandarlampung beberapa hari lalu.

Kunjungan yang dilakukan tersebut berkaitan dengan pemanfaatan pasir timbul yang berada di Desa Gebang Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran.

Dalam pertemuan tersebut dihadiri Direktur Eksekutif Walhi Lampung Hendrawan dan Direktur Eksekuti Mitra Bentala Mashabi, selaku organisasi yang konsen terhadap isu lingkungan.

Hasil diskusi dan penyampaian yang dilakukan oleh Kepala Desa Gebang H Dadang bahwa keberadaan Pantai Sari Ringgung yang mengelola Pasir Timbul yang merupakan sumberdaya alam dimiliki oleh Desa Gebang menimbulkan persoalan baik secara administrative (izin), aspek lingkungan maupun asas manfaat bagi masyarakat.

Supriyanto menguraikan hasil analisi bahwa secara administratif keberadaan Pantai Sari Ringgung yang memanfaatkan pasir timbul itu tidak pernah meminta izin kepada desa setempat sebagai perwakilan pemerintah tingkat bawah yang berwenang mengatur wilayahnya sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Menurutnya lagi, dalam mendirikan bangunan dan melakukan kegiatan usaha wisata pihak pengelola wisata Pantai Sari Ringgung juga tidak pernah meminta persetujuan dari warga masyarakat yang secara langsung akan terkena dampak dari adanya kegiatan tersebut.

Kemudian, berdasarkan asas manfaat, kata dia lagi, pengelolaan tempat wisata yang dilakukan oleh Pantai Sari Ringgung, tidak memberikan manfaat bagi warga masyarakat dan juga terhadap Desa Gebang, baik secara ekonomi maupun lingkungan, bahkan masyarakat yang ingin terlibat dalam usaha transportasi laut untuk mengangkut pengunjung diharuskan membayar biaya administrasi sebesar Rp2.000.000.

"Tidak ada kontribusi terhadap masyarakat dan pembangunan Desa Gebang," ujarnya pula.

Dia membeberkan pula aspek lingkungan dalam pengelolaan kawasan wisata bahari yang dilakukan, disinyalir tidak memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), atau setidaknya UKL/UPL (upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup) sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Menurut Supriyanto, pihaknya menyimpulkan aktivitas keseluruhan yang dilakukan oleh pengelola wisata Pantai Sari Ringgung, telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang menyebabkan perubahan bentang alam dengan aktivitas pengerukan bukit, penimbunan pantai, pengerukan pantai yang merusak ekosistem terumbu karang, penggerusan bukit, penebangan ekosistem hutan mangrove, dan mendirikan bangunan di atas pasir timbul.

Karena permasalahan itu, menurutnya, pihak Desa Gebang telah meminta LBH Bandarlampung, Walhi Lampung, dan Mitra Bentala untuk melakukan upaya advokasi termasuk jika perlu mengambil langkah hukum terhadap pemanfaatan yang dilakukan oleh pengelola wisata Pantai Sari Ringgung.

"Pihak Desa Gebang juga minta pihak-pihak terkait agar tidak mengeluarkan izin yang berhubungan dengan pemanfatan potensi dan aset yang dimiliki oleh Desa Gebang itu," ujarnya lagi.

        Ingin Promosikan Wisata
Berkaitan permasalahan itu, secara terpisah pihak PT Sari Ringgung, pengelola objek wisata pasir timbul di kawasan Ringgung Desa Gebang Kecamatan Telukpandan Kabupaten Pesawaran, menegaskan hanya ingin mempromosikan potensi wisata pasir timbul dan tidak bermaksud mengklaim kepemilikannya.

"Kami hanya ingin mempromosikan salah satu potensi wisata di Lampung ke masyarakat luas, kami juga tidak mendirikan bangunan permanen di wilayah setempat," kata Direktur PT Sari Ringgung Habrin Trimadhika, saat dihubungi dari Bandarlampung, Senin (2/1).

Menurut dia, PT Sari Ringgung hanya mendirikan bangunan kayu terapung di sekitar kawasan pasir timbul itu, bukan di atas pasir tersebut.

Ia juga mengatakan, pihaknya telah mengantongi perizinan pengelolaan wisata pantai yang diperoleh dari masyarakat dan instansi terkait.

"Kami sudah ada izin pengelolaan wisata pantai, hanya saja yang masih menjadi persoalan adalah telah berhenti sewa menyewa pasir timbul itu," kata dia lagi.

Habrin membenarkan bahwa sebelumnya memang pernah ada perjanjian sewa itu, namun sudah tidak diperpanjang lagi.

Terkait adanya karyawan PT Sari Ringgung yang berinisiatif mendatangi kantor kepala desa Gebang untuk menjelaskan persoalan tersebut, dia membenarkannya. Namun, dia menepiskan pihaknya mengklaim bahwa pasir timbul milik PT Sari Ringgung. "Itu tidaklah benar," ujarnya pula.

Guna menghindari terjadi kesalahpahaman lebih lanjut, PT Sari Ringgung menyerahkan pengelolaan pasir timbul kepada Desa Gebang, mengingat selama ini pihaknya juga selalu dipermasalahkan oleh Marga Menanga yang menyebutkan objek wisata pasir timbul itu merupakan tanah ulayat atau adat setempat.

"Kami bersedia kalau memang pihak Desa Gebang akan melakukan pengelolaan pasir timbul tersebut," kata dia lagi.

Namun warga Desa Gebang menyatakan mereka tetap menuntut pengelola kawasan wisata pasir timbul itu, untuk hengkang, apalagi selama ini warga setempat hanya mendapatkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sebesar Rp5 juta per tahun.

Menurut Kepala Desa Gebang, H Dadang, kontrak pengelola dengan masyarakat setempat sudah habis sejak tahun 2014, dan pengelolaan pasir timbul sama sekali tidak melibatkan masyarakat.

Menurutnya, di masa liburan, pendapatan dari pengelolaan objek wisata tersebut per hari bisa mencapai sekitar Rp100 juta.

Terdapat pula 20 hingga 30 warga desa setempat yang bekerja sebagai penyedia transportasi penghubung dari pantai atau satu pulau ke pulau lain di kawasan wisata itu, namun kontribusi terhadap desa dan masyarakat setempat dinilai minim, karena itu mereka menuntut pengelolaannya dikembalikan ke desa setempat.

Belakangan ini kawasan Pantai Sari Ringgung itu menjadi salah satu objek wisata andalan yang diminati masyarakat, dengan daya tarik pasir timbul maupun masjid terapung yang berada di dalamnya, sehingga didatangi banyak pengunjung dari Lampung dan luar daerah ini.