INDC Bekal Indonesia Hadapi Perubahan Ikllim

id INDC Bekal Indonesia Hadapi Perubahan Ikllim, KTT Perubahan Iklim di Paris, KTT Perubahan Iklim, Perubahan Iklim

Jakarta (ANTARA Lampung) - Perubahan iklim (climate change), yang utamanya disebabkan pemanasan global, sudah menjadi musuh bersama dunia dalam beberapa dekade terakhir.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim di Paris, yang disebut Konferensi Para Pihak (Conference of Parties) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-21 pada tanggal 30 November--11 Desember 2015 pun menjadi ajang mencari formula tepat atasi "kegalauan" internasional tersebut.

Untuk menyukseskan hal tersebut, setiap negara yang terlibat dalam pertemuan Paris diwajibkan membuat sebuah dokumen yang diniatkan secara nasional atau Intended Nationally Determined Contributions (INDC). Inilah yang nantinya akan dikumpulkan dan dirumuskan menjadi sebuah kesepakatan global.

Tentu Indonesia tidak ketinggalan. Pada tanggal 30 Agustus 2015, pemerintah telah menyelesaikan konsep akhir INDC.

INDC Indonesia sendiri terdiri atas 17 halaman dan berisikan gambaran umum bagaimana komitmen Tanah Air untuk melakukan pengurangan emisi demi mencegah dampak lebih lanjut perubahan iklim dunia.

Ada beberapa langkah yang diambil pemerintah terkait dengan perubahan iklim yang dijabarkan menjadi beberapa bagian, yaitu pencegahan (mitigasi), adaptasi, dan perencanaan juga pendekatan strategis.

Dalam INDC, Indonesia berjanji melindungi hutan yang tersisa dengan mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, mendukung restorasi ekosistem, dan perhutanan sosial.

Pemerintah mengklaim telah menyiapkan wilayah seluas 12,7 juta hektare kawasan hutan yang ditujukan untuk perhutanan sosial, restorasi ekosistem, konservasi, dan pemanfaatan secara lestari dengan melibatkan masyarakat adat dan kaum perempuan yang dianggap sebagai kelompok rentan.

Dengan yakin, Indonesia menyatakan siap menaikkan target pengurangan emisi menjadi 29 persen, dari sebelumnya 26 persen, pascatahun 2020 sampai 2030. Jika disertai dengan bantuan internasional, emisi bisa ditekan hingga 41 persen.

Adapun biaya untuk mencapai target tersebut diperkirakan 12,98 miliar dolar AS, dan diperlukan tambahan 5,92 miliar dolar AS untuk mencapai 41 persen.

Beberapa bidang yang menjadi prioritas Indonesia terkait dengan dampak negatif perubahan iklim adalah pertanian, air, ketahanan energi, kehutanan, kelautan-perikanan, kesehatan, pelayanan publik, infrastruktur, dan sistem perkotaan.

         Pemandu
Indonesia memproyeksikan dokumen kontribusi penurunan emisi karbon yang diniatkan (INDC) menjadi kompas atau pemandu menyikapi perubahan iklim.

"Kita proyeksikan setelah adanya kesepakatan perubahan iklim pasca-2020, INDC bisa menjadi 'kompas' (pemandu)," ujar Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim Rachmat Witoelar.

Selain itu, kata Rachmat, INDC juga dapat dijadikan landasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada periode selanjutnya.

Namun, sebelum diterapkan lebih jauh, Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia periode 2004--2009 itu mengingatkan agar INDC dari Indonesia terus diamati dan dievaluasi kelebihan serta kekurangannya.

Menurut Rachmat, Indonesia harus berani mengambil kebijakan peningkatan penurunan emisi, yang lebih besar 3 persen dari target penurunan emisi pra-2020 yang dijanjikan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Penurunan emisi sebesar 29 persen memerlukan syarat yang lebih susah, tetapi kita harus berani," ujarnya.

Pasalnya, lanjut dia, INDC dari sebuah negara akan ditinjau oleh Organisasi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Jika tidak bisa diterapkan, konsep tersebut akan dikembalikan ke negara yang bersangkutan.

INDC-INDC yang diajukan oleh seluruh negara akan menjadi sebuah kesepakatan internasional yang mengikat dan memiliki dasar hukum.

"Di Indonesia, kesepakatan itu harus bisa ditegakkan hingga ke tingkat pemerintah daerah," ujar Rachmat.

Senada dengan Rachmat, "Center for International Forestry Research" juga meminta pemerintah bekerja keras mewujudkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2020--2030.

"Indonesia harus berusaha mencapainya dengan sekuat tenaga. Kalau semua berjalan dengan ideal, pasti bisa tercapai," kata peneliti CIFOR Herry Purnomo.

Ideal, maksud Herry, adalah pembangunan di Indonesia berjalan dengan ramah lingkungan dan penegakan hukum terlaksana dengan baik.

Selain itu, kata Herry yang juga Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Indonesia juga perlu meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pasalnya, target nasional pengurangan emisi sangat dipengaruhi oleh minimalisasi emisi daerah.

"Target emisi rumah kaca itu tentu harus didistribusikan ke masing-masing daerah. Kemudian, dilakukan penentuan berapa penurunan emisi di masing-masing wilayah Indonesia agar target emisi tersebut bisa tercapai," kata Herry lagi.

            Kesepahaman dengan Daerah
Rencana negara terkait dengan perubahan iklim tentu harus disertai kesepahaman dengan seluruh provinsi. Mengantisipasi hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengimbau pemerintah daerah agar menjadikan perubahan iklim sebagai program tetap daerah.

Hal ini perlu dilakukan supaya program itu akan terus berjalan meski kepemimpinan berganti.

"Memang selalu ada konsekuensi dalam setiap pergantian kepemimpinan daerah. Namun, jika perubahan iklim secara sistem sudah dalam masuk dalam program daerah, tentu tidak akan terganggu," ujar Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Nur Masripatin.

Nur mengatakan bahwa perubahan cuaca belum dianggap permasalahan penting di daerah. Ini membuat kebijakan perubahan iklim sering terganggu jika ada perubahan kekuasaan.

Hal itu diperburuk institusi dan sumber daya manusia yang kurang mumpuni. Namun, dia menampik jika dikatakan semua itu disebabkan kurangnya perhatian terhadap iklim disebabkan oleh minimnya sosialisasi.

"Bukan masalah sosialisasi. Walau begitu, saya yakin peran daerah bisa dalam upaya global terkait dengan perubahan iklim bisa ditingkatkan," kata Nur.

KLHK juga menyerukan agar pemerintah daerah memiliki data kerentanan di wilayahnya masing-masing untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim.

"Kami harapkan pemerintah daerah punya kajian kerentanan sendiri. Misalnya, di daerah pantai, pasti masalahnya adalah kenaikan muka air laut dan apa upaya untuk mengatasi hal itu?" kata Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK Sri Tantri Arundhati.

Selain itu, kajian kerentanan juga termasuk kebijakan adaptasi dampak perubahan iklim. Salah satu contohnya, lanjut Tantri, adalah pembangunan waduk yang bisa menopang ketahanan pangan. Perlu diperkirakan apakah ketersediaan air di waduk mencukupi, contohnya kalau terjadi kekeringan hebat.

KLHK sendiri mengakui bahwa hal ini tidak mudah dilakukan. Oleh karena itu, penting adanya peningkatan wawasan masyarakat lokal.

"Perlu adanya peningkatan kapasitas untuk masyarakat secara keseluruhan, termasuk bekerja sama dengan pihak akademisi dari perguruan-perguruan tinggi," kata Tantri pula.