Memburu Pembunuh Gajah "Yongki"

id Gajah Mati, Gajah TNBBS Mati, Gajah Mati di TNBBS

Memburu Pembunuh Gajah "Yongki"

Gajah Patroli "Yongki" yang kedapatan mati dengan gading hilang, diduga dibunuh untuk diambil paksa gadingnya. (FOTO: ANTARA Lampung/Ist/Dok. Balai Besar TNBBS)

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Sudah sepekan lebih gajah patroli "Yongki" kedapatan tewas, diduga sengaja dibunuh untuk diambil paksa gadingnya, di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung.

Bagaimana pengusutan untuk memburu para pelaku pembunuhnya yang diduga melibatkan oknum "orang dalam", dan kenapa barang bukti gadingnya hingga kini belum juga terlacak keberadaannya?

Dugaan "orang dalam" terlibat dalam pembunuhan gajah Yongki itu, berdasarkan fakta lapangan bahwa saat didapati mati, gajah ini sedang berada di lokasi "camp" tempat tinggalnya selama ini, dengan petugas pengamanan dan perawatnya (pawang/mahout) berada tak jauh di sekitarnya.

Gajah Yongki itu pun ditempatkan tak jauh dari beberapa ekor gajah lain yang merupakan anggota patroli gajah Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Resort Pemerihan, Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat (pemekaran Kabupaten Lampung Barat), dalam areal pengawasan TNBBS pula.

Karena itu, aparat penegak hukum dan instansi berwenang didesak berbagai pihak segera mengungkap kasus kematian gajah "Yongki" yang kedapatan telah mati di Pemerihan, Bengkunat, Lampung, diduga sengaja dibunuh, pada Jumat (18/9) pekan lalu.

Informasi dari pihak Balai Besar TNBBS, Polres Lampung Barat-Polda Lampung, maupun Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung hingga Minggu (27/9) ini, belum mendapatkan kabar perkembangan terakhir hasil pengusutan pelaku yang membunuh gajah Yongki itu.

Kepala Balai Besar TNBBS, Ir Timbul Batubara MSi, saat dihubungi Minggu pagi, belum memberikan keterangan lanjutan yang diperlukan.

Sedangkan Kepala BKSDA Lampung, Subakir, menegaskan bahwa dalam kasus kematian gajah Yongki itu tanggung jawab utama berada di pundak Balai Besar TNBBS Lampung, mengingat lokasi gajah "Yongki" diduga dibunuh itu berada dalam kawasan hutan TNBBS.

Namun dia membenarkan, pihaknya juga tetap membantu pengusutan kematiannya, termasuk terus berkoordinasi bersama Balai Besar TNBBS maupun aparat kepolisian Polres Lampung Barat maupun Polda Lampung, untuk melacak dan memburu pelaku pembunuh gajah jinak patroli tersebut.

"Kami terus berkoordinasi untuk memastikan gading dari gajah yang mati itu tidak sampai dibawa kabur keluar Lampung, sehingga perlu melakukan pengawasan di stasiun, pelabuhan, dan bandar udara, dengan pihak berwenang setempat," kata Subakir pula.

Dia menegaskan, hingga hari ini pihaknya bersama aparat berwenang lainnya belum dapat melacak keberadaan pelaku maupun gading gajah yang diambil paksa hingga menyebabkan kematian gajah Yongki itu. "Belum terlacak pelaku maupun keberadaan gading gajah itu," ujarnya, seraya membenarkan pula adanya dugaan kemungkinan keterlibatan oknum "orang dalam" pada kasus ini.

Berbagai pihak memang menduga ada keterlibatan oknum "orang dalam" di lingkungan TNBBS yang bertanggungjawab atas pemeliharaan dan pengawasan gajah Yongki itu, apalagi lokasi gajah kedapatan mati terbunuh berada tidak jauh dari area pos pengawasan Resort Pemerihan Balai Besar TNBBS tersebut.

Sejumlah aktivis dan pemerhati lingkungan di Lampung mendesak aparat penegak hukum dan pihak berwenang lebih mengintensifkan pengusutan untuk memastikan penyebab kematian dan pelakunya jika benar karena dibunuh dan melibatkan oknum "orang dalam".

Karena itu, para pihak yang mengetahui dan bertanggungjawab atas keberadaan gajah itu harus diusut secara intensif, untuk memastikan keterlibatannya.

Beberapa kalangan bahkan mendesak tak cukup pengusutan oleh kepolisian dan tim dari Balai TNBBS maupun BKSDA Lampung, tapi harus segera dilakukan pula pemeriksaan secara internal oleh tim Irjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengusut kasus tersebut, mengingat dugaan adanya keterlibatan "orang dalam" pada kasus itu.

Kapolda Lampung Brigjen Edward Syah Pernong atas kematian gajah Yongki itu, berjanji akan menindak tegas siapa pun yang terbukti membunuh.

"Akan kami tindak tegas, siapa pun pelakunya. Ini komitmen kami untuk melindungi hewan yang dilindungi dan mengantisipasi penjualan gadingnya," ujar Edward pula.

Penjabat Bupati Lampung Barat, Qodratul Ikhwan juga meminta aparat berwenang mengusut secara tuntas kematian gajah Yongki itu.

"Kasus kematian gajah Yongki itu harus diusut tuntas dan pelakunya harus dihukum berat untuk memberikan efek jera, karena kalau dibiarkan bisa terus terjadi, padahal jumlah gajah saat ini semakin sedikit dan harga gading makin mahal dan terus jadi perburuan," ujar Qodratul pula.

Sebelumnya, Kepala Balai Besar TNBBS, Timbul Batubara dalam penjelasannya menegaskan bahwa kematian gajah "Yongki" yang merupakan bagian Elephant Patrol Team di Resort Pemerihan, Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, masih dalam proses penyelidikan.

Dalam penjelasan tertulis yang diterima di Bandarlampung, Senin (21/9) malam, Timbul Batubara menjelaskan bahwa pada Jumat (18/9) sekitar pukul 07.30 WIB, gajah sumatera bernama "Yongki" yang merupakan bagian Elephant Patrol Team di Resort Pemerihan TNBBS ditemukan dalam kondisi mati, dan kedua gadingnya hilang.

Lokasi kematian gajah berada di sekitar 300 meter belakang pos Resort Pemerihan, SPTN Wilayah II Bengkunat, BPTN Wilayah I Semaka.

"Kematian gajah tersebut diindikasikan akibat dibunuh," kata Timbul Batubara menegaskan pula.

Dia menjelaskan bahwa atas kematian gajah "Yongki" itu, sudah dilakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) oleh Tim TNBBS.

Timbul menjelaskan, informasi dari hasil pemeriksaan awal yang dilakukan oleh Tim TNBBS, menunjukkan tidak didapati adanya bekas luka tembakan, mulut tidak berbusa dan tidak bau tapi lidah sangat biru.

Secara umum semua organ dalam tampak normal (makroskopis) dan tidak ditemukan abnormalitas kecuali ditemukan cacing paramphistomum di usus besar, tetapi infeksi tidak berat, katanya pula.

"Kasus ini dalam proses penyelidikan," ujar dia menegaskan.

Menurut informasi sejumlah pihak di lokasi kematian gajah Yongki itu, pada malam kejadian, dengan alasan gajah Yongki sedang dalam kondisi birahi, sehingga perlu dijauhkan dari gajah jinak patroli lain yang berada di sekitarnya. Namun penempatannya masih dalam area pengawasan pos Resort Pemerihan Bengkunat.

Sejumlah pihak yang mengecek lokasi sekitar, setelah keesokan paginya mendapati gajah Yongki sudah dalam keadaan mati tanpa gading, setelah menyusuri areal sekitarnya tidak mendapati tanda-tanda mencurigakan dan tak ada jejak aneh ditemukan.

Pada area sekitar keberadaan Yongki sebelum didapati mati, juga tidak ditemukan jejak-jejak orang yang mencurigakan maupun bekas penganiayaan maupun kondisi gajah itu saat mengamuk.

Begitupula saat diperiksa kondisi bangkai gajah Yongki, tidak didapati bekas peluru akibat tembakan maupun tindakan kekerasan lainnya, kecuali bekas potong paksa gading gajah dari tempatnya.

Tak ada ceceran darah dalam jumlah berlebihan kecuali dari tempat ujung gading yang dicerabut paksa, dan tidak ada bekas gajah itu mengamuk saat diambil paksa gadingnya, seperti pelaku adalah orang yang sudah profesional.

Menurut informasi, pihak berwenang juga sudah memeriksa sejumlah petugas lapangan yang merawat dan bertugas mengawasi gajah Yongki maupun gajah jinak patroli di sana, termasuk pawang (mahout) perawatnya.

Yob Charles, Program Manager Worldwide Fund for Nature (WWF) Indonesia Site Sumatera Bagian Selatan menuturkan, selama ini pihaknya ikut bertanggungjawab dalam perawatan dan pemeliharaan beberapa ekor gajah jinak patroli yang bertugas di kawasan hutan TNBBS beserta para pawang gajahnya (mahout).

Namun dalam tiga bulan terakhir, tanggung jawab tersebut mulai dialihkan kembali ke pihak Balai Besar TNBBS.

"Tapi kami masih membantu seperlunya," kata Yob pula.

Patroli menggunakan gajah jinak terlatih di hutan di Lampung, termasuk hutan TNBBS dibantu sejumlah LSM maupun warga sekitar.

Sedangkan perawatan gajah patroli dilakukan oleh beberapa pawang yang dikaryakan sebagai tenaga lepas di TNBBS dan direkrut dari masyarakat setempat serta telah mendapatkan pelatihan mengurus gajah-gajah jinak terlatih itu.

"Sebelumnya, dukungan pembiayaan untuk perawatan gajah patroli maupun pawangnya dibantu oleh WWF, selain dari pihak Balai Besar TNBBS pula," ujar Yob Charles lagi.

               Terancam Punah
Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus/sumatrensis) merupakan mamalia besar yang terancam punah (kritis) menurut IUCN dan termasuk Appedix I menurut CITES (satwa liar terancam dari segala bentuk perdagangan).

Gajah sumatera menjadi terancam punah akibat rusak dan berkurang habitat serta perburuan dan perdagangan ilegal untuk diambil gadingnya.

Berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1999, gajah sumatera termasuk ke dalam daftar satwa dilindungi.

Kematian gajah Yongki menimbulkan keprihatinan para aktivis lingkungan dan berbagai pihak yang mendesak pengusutan secara tuntas kasus kematian salah satu gajah patroli di TNBBS yang kedapatan mati dengan gading terpotong pada Jumat (18/9) pagi itu.

Gajah Yongki sudah sekitar enam tahun menjalankan tugas menghalau konflik gajah di wilayah Pemerihan Kecamatan Bengkunat Kabupaten Pesisir Barat Provinsi Lampung itu, dan bangkainya telah dilakukan identifikasi dan otopsi oleh tim medis yang diperbantukan dari Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Lampung Timur serta dibawa ke Mabes Polri untuk kepentingan pengusutan lebih lanjut.

Kondisi gajah Yongki itu mengenaskan, dengan gading nyaris habis tercerabut hingga ujungnya. Padahal sebelumnya, gajah ini memiliki gading yang cukup panjang, masing-masing mencapai lebih 130 cm yang berbentuk membengkok. Bekas luka mencerabut gadingnya secara paksa, diduga menjadi penyebab kematiannya.

Diperkirakan gajah jantan yang pernah dilatih di TNWK ini, sengaja dibunuh pada Kamis (17/9) hingga Jumat dini hari, oleh kawanan pelaku yang diduga bekerjasama dengan pemburu satwa liar yang masih terus berkeliaran di sekitar TNBBS.

Gajah Yongki menurut informasi awalnya berasal dan merupakan gajah liar di hutan TNBBS, berdasarkan kesepakatan para pihak untuk kepentingan konservasi dan pengawasan konflik gajah, telah dilatih di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Lampung Timur.

Gajah itu kemudian dikembalikan ke TNBBS, dan sudah sekitar enam tahun ini menjalankan tugas penghalau konflik gajah di wilayah Pemerihan Kecamatan Bengkunat areal sekitar hutan TNBBS.

Diduga gajah Yongki telah dibunuh oleh kawanan pemburu liar yang memang mengincar gadingnya, sehingga sudah tak ada lagi. Kematian gajah Yongki baru diketahui Jumat pagi harinya, setelah pada malam sebelumnya diketahui masih ada di lokasi camp patroli gajah di Bengkunat itu.

Diperkirakan para pelakunya sudah merencanakan aksi itu dengan matang, sehingga ulah mereka tidak diketahui petugas TNBBS maupun pihak terkait di sana, padahal gajah ini berada di dekat pos pengawasan setempat. Diduga pula hal itu terjadi karena adanya ulah oknum "orang dalam" pada aksi pembunuhan gajah Yongki tersebut.

Para aktivis lingkungan di Lampung berharap pelaku segera diusut dan ditangkap, sehingga dapat segera diproses hukum sebagaimana mestinya.

Terkait pengusutan kematian Yongki itu, pihak Balai Besar TNBBS telah mengirimkan 10 spesimen atau sampel hasil otopsi ke Puslabfor Mabes Polri.

Pihak Balai TNBBS juga bekerjasama dengan BKSDA Lampung dan aparat kepolisian untuk mencegah keluar gading gajah itu, dengan melakukan pengawasan dan pengamanan pada jalur penyeberangan laut, stasiun, terminal maupun bandara.

Berbagai pihak mendesak pengusutan tuntas kasus kematian gajah Yongki itu, termasuk menindak dan memproses hukum pelaku bila benar melibatkan "orang dalam", agar tidak menjadi preseden buruk dalam perlindungan dan pelestarian satwa langka di daerah ini maupun Indonesia umumnya.

Gajah Sumatera saat ini, terutama seluruh gajah Asia dan sub-spesiesnya, termasuk satwa terancam punah (critically endangered) dalam daftar merah spesies terancam punah yang keluarkan oleh Lembaga Konservasi Dunia IUCN, termasuk Gajah Sumatera.

Di Indonesia, gajah sumatera juga masuk dalam satwa dilindungi menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam peraturan pemerintah, yaitu PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetaan Jenis Tumbuhan dan Satwa.  

Masuknya gajah sumatera dalam daftar tersebut disebabkan oleh aktivitas pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, serta pembunuhan akibat konflik dan perburuan.

Perburuan biasanya hanya diambil gadingnya saja, sedangkan sisa tubuhnya dibiarkan membusuk di lokasi.

Gajah sumatera merupakan "spesies payung" bagi habitatnya dan mewakili keragaman hayati di dalam ekosistem yang kompleks tempatnya hidup. Artinya konservasi satwa besar ini akan membantu mempertahankan keragaman hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya, sehingga akhirnya ikut menyelamatkan berbagai spesies kecil lainnya.

Dalam satu hari, gajah mengonsumsi sekitar 150 kg makanan dan 180 liter air dan membutuhkan areal jelajah hingga 20 kilometer persegi per hari. Biji tanaman dalam kotoran mamalia besar ini akan tersebar ke seluruh areal hutan yang dilewatinya dan membantu proses regenerasi hutan alam.

Namun, kini diperkirakan telah menurun jauh dari angka tersebut, karena habitatnya terus menyusut dan pembunuhan yang terus terjadi.

Kajian WWF-Indonesia menunjukkan bahwa populasi gajah sumatera kian hari makin memprihatinkan, dalam 25 tahun, gajah sumatera telah kehilangan sekitar 70 persen habitatnya, serta populasinya menyusut hingga lebih dari separuh.

Estimasi populasi tahun 2007 adalah antara 2.400--2.800 individu, namun kini diperkirakan telah menurun jauh dari angka tersebut karena habitatnya terus menyusut dan pembunuhan yang terus terjadi.

Khusus untuk di wilayah Riau dalam seperempat abad terakhir ini estimasi populasi gajah sumatera, yang telah lama menjadi benteng populasi gajah, menurun sebesar 84 persen hingga tersisa sekitar 210 ekor saja di tahun 2007. Lebih dari 100 individu gajah yang sudah mati sejak tahun 2004.

Ancaman utama bagi gajah sumatera adalah hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan yang tidak berkelanjutan, perburuan dan perdagangan liar, juga konversi hutan alam untuk perkebunan (sawit dan kertas) skala besar.

Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan laju deforestasi hutan terparah di dunia, dan berdampak pada populasi gajah berkurang lebih cepat dibandingkan jumlah hutannya.

Penyusutan atau kehilangan habitat satwa besar ini telah memaksa mereka masuk ke kawasan berpenduduk, sehingga memicu konflik manusia dan gajah, yang sering berakhir dengan kematian gajah dan manusia, kerusakan lahan kebun dan tanaman maupun harta benda.

Pengembangan industri pulp dan kertas serta industri kelapa sawit sebagai salah satu pemicu hilang habitat gajah di Sumatera, mendorong terjadi konflik manusia-satwa yang semakin hari kian memuncak.

Pohon-pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah, dan kerusakan yang ditimbulkan gajah ini dapat menyebabkan terjadi pembunuhan (umumnya dengan peracunan) dan penangkapan.

Ratusan gajah mati atau hilang di seluruh Provinsi Riau sejak tahun 2000 sebagai akibat berbagai penangkapan satwa besar yang sering dianggap "hama" ini.

Selama tahun 2013 saja, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh konflik gajah di Riau menyebabkan kerugian sekitar Rp1,99 miliar. Belum lagi jika ditambahkan dengan angka keseluruhan konflik gajah di Sumatera.

              Upaya WWF-Indonesia
WWF bekerja di tiga wilayah di Sumatera yang dinilai sangat penting bagi upaya konservasi gajah. Terobosan-terobosan besar telah berhasil dicapai dengan dideklarasikannya Taman Nasional Tesso Nilo di Riau (tahap I seluas 38,576 ha) oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2004.

Pada tahun 2006, Menteri Kehutanan menetapkan Provinsi Riau sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera melalui Permenhut No. 5 Tahun 2006. Hal ini merupakan langkah besar bagi penyelamatan habitat gajah di Sumatera.

Pada tahun 2004, WWF memperkenalkan Tim Patroli Gajah Flying Squad pertama di Desa Lubuk Kembang Bunga yang berada di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo yang baru ditetapkan.

Tim ini, terdiri dari sembilan pawang dan empat gajah latih, mengarahkan gajah-gajah liar untuk kembali ke hutan apabila mereka memasuki ladang maupun kebun milik masyarakat desa tersebut.

Sejak mulai beroperasi, Tim Flying Squad Tesso Nilo berhasil mengurangi kerugian ekonomi yang dialami masyarakat setempat yang timbul akibat serangan gajah dan mencegah pembunuhan gajah akibat konflik.

Untuk memitigasi konflik manusia dan gajah, sejak Juli 2009, WWF-Indonesia bekerjasama dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat, serta Forum Komunikasi Mahout Sumatera (FOKMAS) melakukan pemasangan GPS Satellite Collar.

Alat ini dipasang pada gajah liar untuk mengetahui keberadaan sebagai upaya monitoring keberadaan dan pergerakannya, dan sebagai peringatan dini untuk mitigasi konflik gajah, sehingga dapat mencegah masuk gajah liar ke area pemukiman atau perkebunan sehingga dapat meminimalkan konflik antara gajah dan manusia.

Tahun 2012, WWF-Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Biologi Molekular Eijkman. Tujuannya adalah mengetahui sebaran, populasi dan hubungan kekerabatan gajah khususnya di Tesso Nilo melalui DNA gajah.

Lembaga penelitian ini juga memberikan pelatihan untuk pengambilan sampel kotoran gajah, dan memastikan penggunaan alat dan bahan yang tepat. Sampel kotoran ini kemudian akan di ekstraksi, amplifikasi dan analisa DNA.

Selain mengetahui sebaran dan populasi gajah di Tesso Nilo, studi ini diharapkan dapat mengungkapkan keanekaragaman genetika gajah Sumatera di Tesso Nilo serta hubungan kekerabatan antarindividu maupun antarkelompok gajah.

Karena itu, kematian gajah Yongki harus diungkap secara tuntas, termasuk kemungkinan melibatkan "orang dalam" oknum petugas lapangan maupun pihak Balai Besar TNBBS, maupun keterlibatan kawanan pemburu liar yang terus berkeliaran mengincar satwa liar langka dan dilindungi.

Siapa lagi yang akan melindungi dan melestarikan satwa langka dilindungi itu, kalau bukan kita semua yang peduli kepada makhluk hidup ciptaan Tuhan yang populasinya kian menyusut, kritis dan terancam punah akibat habitatnya makin terdesak manusia dan kemajuan pembangunan ini?.