Jumhur Hidayat Ingatkan Ancaman Korporasi Negara

id Jumhur Hidayat, TKI, Presiden Joko Widodo

mencemaskan kondisi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dinilai bisa seperti sandwich, yaitu terhimpit dari atas dan bawah sehingga menjadi sulit bergerak akibat praktik korporasi...."

Bandarlampung, (Antara) - Mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Moh Jumhur Hidayat, mengingatkan ancaman negara korporasi yang dapat meminggirkan rakyat termasuk kalangan buruh, sehingga dapat kian jauh dari mencapai kemakmuran.

Dalam diskusi yang digelar Komunitas Gedung Meneng (KGM), di Bandarlampung, Minggu (6/9) malam, menurut Jumhur, Indonesia, termasuk di Lampung kini menghadapi kondisi yang terpinggirkan.

Bahkan mantan Kepala BNP2TKI itu, mencemaskan kondisi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dinilai bisa seperti sandwich, yaitu terhimpit dari atas dan bawah sehingga menjadi sulit bergerak akibat praktik korporasi, terutama dalam perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI).

Apalagi Provinsi Lampung dinilai kaya dan lahannya luas serta produktif, namun faktanya tidak mampu memberikan kemakmuran rakyatnya, justru menjadi miskin dan sangat ironi serta memalukan, ujarnya lagi.

"Fakta ini tidak hanya terjadi di Lampung, tapi juga di NTB dan daerah lainnya di Indonesia. Korporasi sudah menguasai lahan, sehingga rakyat Lampung justru harus jadi TKI ke luar negeri," ujar dia.

Bahkan, lanjutnya, Pemerintah Indonesia sejak dulu dan hingga kini tidak pernah mengeluarkan uang sepeser pun untuk kepentingan TKI. Padahal, para TKI itu justru sudah banyak jasa dan pengorbannya bagi negara dan saudaranya.

"Berpuluh-puluh tahun, pemerintah Indonesia tidak pernah mengeluarkan uang sepeser pun untuk melakukan pemberdayaan dan pelatihan-pelatihan bagi TKI itu. Pemerintah beranggapan pendapatan seorang TKI bisa menghidupi empat sampai lima saudaranya di Indonesia. Ada 30 juta rakyat Indonesia diselamatkan oleh TKI. Sayangnya, negara kurang peduli," ujarnya.

Menurut Jumhur, kondisi seperti ini menunjukkan negara sepertinya tak peduli dengan nasib TKI. Dana negara untuk pelatihan, perlindungan atau untuk membela TKI, tidak ada. Negara beranggapan TKI bisa cari dan punya uang banyak, hingga tak perlu mengeluarkan dana lagi.

"Ini kondisi yang miris, belum lagi diplomasi kita yang lemah dengan negara lain saat membela nasib TKI," katanya.

Dia menegaskan, seharusnya negara sudah saatnya berpihak untuk rakyatnya, yaitu membela kepentingan TKI dengan cara mendidik, melatih, dan menyiapkan program yang bisa melindungi mereka.

"Jadi, tak ada lagi TKI disiksa majikannya, menjadi korban perdagangan manusia," ujarnya.

Ia juga prihatin dengan kondisi masyarakat Lampung yang punya lahan luas, daerah kaya, tapi peringkat ke lima sebagai pengirim TKI terbanyak.

"Jelas ada yang salah dengan kita. Harus segera dikoreksi besar-besaran," kata dia.

Jumhur menawarkan gerakan massal sebagai salah satu solusi melawan korporasi. Kekuatan modal besar bisa dilawan dengan kekuatan massa yang banyak, katanya.

"Kita lihat sekarang, buruh dengan jumlah puluhan ribu orang bisa melawan ketidakadilan. Nelayan pun demikian. Kemarin kasus di pelabuhan, ternyata perjuangan buruh berhasil," katanya lagi.

Menurut dia, di Lampung perlu ada pembenahan terhadap sistem dan praktik yang banyak memenangkan kepentingan korporasi. Perusahaan yang ada sebaiknya lebih memihak kepada warga Lampung, sehingga tak ada lagi pengiriman TKI atau kasus perambahan hutan.

Jumhur juga berpendapat, peran buruh dan profesional kini diperhitungkan. Dia meyakini, kalangan ini yang bisa melawan praktik korporasi.

Dalam diskusi itu juga dihadiri para tokoh aktivis buruh, tani, mahasiswa, budayawan dan advokat, termasuk dua calon wali kota Bandarlampung, yakni calon Wali Kota dari jalur independen M Yunus, dan calon Wakil Wali Kota Bandarlampung Komarunizar.

Selain itu, juga dihadiri anggota DPRD Lampung Yozi Rizal, dan Nurhafifah Anggota DPRD Lampung Selatan .

Jumhur mengajak semua anak bangsa untuk bersatu dan bersama-sama agar negara korporasi tidak sampai terjadi, sehingga tujuan pendirian bangsa Indonesia tetap terjaga.

"Saat ini korporasi sudah menjadi alat untuk menguasai negara. Oleh karena itu harus dicegah secara sistemik," ujarnya.

Jumhur menegaskan pula, dalam melakukan revolusi tidak harus dilakukan secara berdarah-darah, tapi dapat dilakukan secara santun dan bijak. Contohnya, revolusi yang dilakukan oleh kaum buruh yang baru saja dilakukan, katanya.

"Revolusi itu tidak harus dilakukan secara berdarah-darah, tapi dapat dilakukan secara santun. Apalagi kalau kita melakukan dengan antikorporasi, maka para elit akan kelimpungan sendiri," ujar dia.

Dia menilai, saat ini, penguasa bukan yang menguasai korporasi, tapi korporasi yang menguasai para penguasa. Hal sama juga terjadi di Lampung, sehingga banyak terjadi para pemimpin di berbagai level sudah saling "berselingkuh" dengan korporasi," kata Jumhur Hidayat yang dikenal sebagai aktivis militan saat masih mahasiswa itu.