Bagaimana Prospek dan Tantangan Perekonomian Indonesia?

id Prospek Ekonomi Indonesia, Yoke Muelgini

Bagaimana Prospek dan Tantangan Perekonomian Indonesia?

Dr Ir Yoke Muelgini MSc, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung (FEB Unila). (FOTO: ANTARA Lampung/Ist)

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Bagaimana nasib atau prospek perekonomian Indonesia ke depan, di tengah ancaman krisis ekonomi global saat ini?

Untuk menjawabnya, pertama bagaimana analisa tingkat pertumbuhan ekonomi yang dipatok dalam APBN, apakah realistis dan bisa dicapai?

Kalau dilihat dari kacamata pemerintah, ya pemerintah mesti pasang target yang optimistik, baik karena mesti begitu maupun karena harus membuat target untuk Pidato Kenegaraan Presiden dalam situasi yang berubah cepat saat ini.

Kalau dilihat dari perkembangan eksternal dan internal, target pemerintah kurang realistis karena terlalu tinggi.

Padahal kita sama-sama sudah tahu, prospek pertumbuhan ekonomi dunia sekarang justru turun akibat penguatan dolar AS, penurunan harga komoditas, penurunan pertumbuhan ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan di semua negara-negara Eropa maupun 'emerging markets', devaluasi Renmimbi, ancaman kenaikan suku bunga The Fed, penurunan 'capital inflow', dan ancaman krisis finansial di Indonesia dan Malaysia, dsb.

Secara internal, 'current account' kita ternyata semakin memburuk karena ekspor justru mandek dan impor juga mandek (ini indikasi bahwa ekonomi domestik juga mulai memburuk akibat terpaan depresiasi nilai tukar karena barang-barang impor jadi sangat mahal untuk pengusaha di Indonesia), pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat, konsolidasi kelembagaan di kabinet masih belum kunjung selesai, sehingga dana di APBD masih belum bisa dikucurkan dengan lancar (padahal sekarang, sumber dana inilah satu-satunya yang bisa kita pakai untuk menumbuhkan ekonomi kita), daya serap anggaran semua APBD 2015 sampai semester II di seantero Indonesia baru 14 persen, harga-harga naik, daya beli masyarakat turun (ini sangat berbahaya karena selama ini sektor konsumsi adalah andalan utama pertumbuhan ekonomi kita), target pajak yang terlalu tinggi pada saat ekonomi lesu justru menambah beban para pengusaha dan dunia usaha, dll, dsb, dst.

Kalau angka pertumbuhan ekonomi 2015 yang realistis berapa? Sekitar 5 persen.

Bagaimana dengan soal daya serap anggaran yang masih rendah di pusat dan daerah, bagaimana solusinya agar lebih banyak terserap dan menumbuhkan ekonomi lokal dan nasional termasuk ekspor, sehingga ancaman resesi dan PHK massal pekerja tidak sampai terjadi?

Solusi masalah yang ada di pemerintahan hanya bisa diatasi oleh pemerintah sendiri.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus segera berperan sebagai "trouble shooter" untuk mengatasi masalah krusial pencairan APBN oleh semua kementrian sesegera mungkin. 

Demikian juga terhadap maslah daya serap dana APBD oleh semua daerah. Segera panggil semua gubernur dan pimpinan daerah untuk bersinergi dan menyepakati solusi cepat untuk mengatasi masalah ini. Ingat waktu terus berjalan dan tahun 2015 tinggal 4 bulan lagi.

Lantas, bagaimana kesimpulan dampak perombakan kabinet terhadap postur ekonomi nasional, di tengah ancaman krisis ekonomi dunia, dan dominasi ekonomi Tiongkok dan negara maju lain yang makin ekspansif?

Apa yang seharusnya dibuat pemerintah dan kabinet, dunia usaha, masyarakat. Padahal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebentar lagi diberlakukan. Mau dibawa kemana ekonomi dan masa depan Indonesia?

Dampak perombakan kabinet ada dimensi ekonomi dan ada dimensi politiknya. Kalau dilihat dari kepentingan percepatan pelaksanaan program-program ekonomi pemerintah sepertinya bagus. Yang perlu dilakukan Presiden Jokowi adalah memicu agar kabinetnya segera bekerja secara lebih efektif, dan jangan sampai perombakan kabinet justru memperuncing konflik kepentingan bisnis antarpihak yang ada di dalam pemerintahan dan antara yang ada di dalam pemerintahan dengan yang ada di partai-partai politik yang ada di luar pemerintahan.

Ekonomi RRT sudah dapat dipastikan turun dan bahkan akan menjadi semakin parah akibat "currency war" yang dipicu oleh RRT dengan mendevaluasi mata uangnya.

AS dan sekutu-sekutunya tentu sedang bekerja keras untuk membalas serangan RRT, dan "perang" ini bisa memicu negara-negara lain untuk ikut "perang" pula jika kepentingan ekonomi nasionalnya terancam. 

Indonesia yang selama ini menjadikan RRT sebagai mitra dagang utama dan sejak 2014/2015 sudah telanjur memilih RRT dan Jepang sebagai mitra utama, tentu akan terpengaruh signifikan oleh penurunan ekonomi RRT.

Pemerintah mesti kerja lebih cepat menggelontorkan APBN dan APBD, bekerja lebih efektif, dan masuk lebih dalam ke dunia usaha dan masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan "trustworthy" mereka yang menurut CIA (Badan Intelijen AS) sudah menurun 18 persen sejak Januari sampai Juli 2015.

Sekarang pemerintah Indonesia sudah tidak punya waktu untuk berpikir tentang MEA. Menjaga agar pertumbuhan bisa minimal 5 persen saja sudah merupakan upaya optimal yang dapat dilakukan pemerintah, sehingga masalah MEA bisa ikut diatasi secara apa adanya.

Namun, hal ini sama sekali tidak ada maksud mentertawakan nasib kita di ASEAN.

Arena persaingan dalam MEA itu berlapis-lapis. Lapisan pertama adalah antarnegara ASEAN. Lapisan kedua adalah antar negara-negara ASEAn versus Australia dan New Zealand. Lapisan ketiga adalah menjaga kestabilan pengaruh RRT, AS, dan negara-negara Eropa di ASEAN. Ruwet kan.

Bagaimana dengan masih ada peluang dunia usaha kita terutama dari sektor pertanian dan perkebunan serta ekonomi kreatif yang punya keunggulan kompetitif dan komparatif?

Untuk menjaga kepentingan ekonomi domestik, pertanian dan perkebunan memang benar. Tetapi untuk mendorong ekspor tampaknya sedang tidak bisa diandalkan, karena selain faktor permintaan yang sedang menurun, harga komoditas ekspor pertanian dan perkebunan juga sedang menurun. Buktinya ekspor kita selama semester II justru turun.

Lebih baik digunakan untuk menjaga kestabilan ekonomi domestik yang sedang menghadapi daya beli yang sedang menurun.   

Ekonomi kreatif juga sangat bagus prospeknya, tetapi nilainya cuma sekitar 2 miliar dolar AS.
Keunggulan komparatif ya, tetapi keunggulan kompetitif sepertinya belum.

*) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung (FEB Unila)