Benarkah Ada Sentimen Politik Kasus Gubernur Sumut ?

id Kasus Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho, KPK

Jakarta (ANTARA Lampung) - Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evi Susanti telah ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus suap hakim PTUN Medan. Benarkah ada sentimen politik dalam kasus ini?

Razman Arif Nasution yang menjadi pengacara Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evi Susanti mengungkapkan, adanya sentimen politik dalam kasus yang menimpa kliennya.

"Ternyata ada peristiwa politik juga sebelumnya, dimana ada 'perdamaian' karena dianggap ada disharmonisasi antara Gubernur (Sumut) dan Wakilnya, kemudian ada juga bagaimana OC Kaligis sebenarnya yang punya inisiatif untuk melakukan PTUN bahwa sebenarnya Pak Gatot dan bu Evi tidak setuju dengan PTUN itu," kata Razman di gedung KPK Jakarta, Selasa (4/8).

Hari Selasa ini, Gatot seharusnya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka pengacara OC Kaligis, namun Razman meminta agar pemeriksaan ditunda pada esok hari.

Sentimen politik tersebut menurut Razman karena ada persamaan asal partai politik antara OC Kaligis dan Wakil Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi yang sama-sama merupakan fungsionaris Partai Nasdem.

"Karena pak OC waktu itu Ketua Mahkamah Partai menginisiatif Pak Tengku Erry kan wakil gubernur sekarang juga ketua Nasdem Sumut, bisa saja, ada surat dikatakan sudah berdamai dan setelah itu kami berusaha untuk 'sharing' kira-kira begitu. Lalu kemudian ada (gugatan ke) PTUN yang justru dari Pak OC, tapi mengatakan 'ini harus kita buat, saya nanti biar gak digugat'," ungkap Razman.

Atas permintaan OC Kaligis itu, menurut Razman, Gatot dan Evi pun menyetujui gugatan ke PTUN Medan.

"Ya namanya Bu Evi dan Pak Gatot tidak mengerti hukum, beliau setuju aja, sehingga akhirnya sudah membebani biaya malah jadi korban. Malah Bu Evi menurutnya saya harus dijadikan KPK saksi mahkota, dan bisa jadi 'justice collaborator'," kata Razman.

Menurut Razman, Gatot dan Evi mengajukan dua surat, surat pertama adalah surat agar OC Kaligis mau memberikan keterangan apa yang terjadi di PTUN Medan sebagai tersangka dan saksi, karena selama ini OC Kaligis selalu menolak untuk diperiksa KPK dengan alasan memiliki hak ingkar.

"Surat tanda tangan Bu Evi dan Pak Gatot meminta agar OC Kaligis bersedia untuk memberikan keterangan sebagai tersangka atau saksi terhadap kasus yang sedang terjadi di PTUN Medan itu sehingga itu semua menjadi 'clear'," ujar Razman lagi.

Sedangkan surat kedua adalah surat permintaan penangguhan penahanan.

"Besok juga kami akan mengajukan surat kepada pimpinan KPK untuk sekiranya mengabulkan penangguhan penahanan, kan kita sudah sangat koperatif," katanya pula.

Orang yang menjadi jaminan penangguhan penahanan adalah keluarga keduanya.

"Kan ada anaknya kemudian ada juga keluarganya yang lain nanti itu menjadi jaminan," ungkap Razman.

KPK pada Senin (3/8) sudah menahan Gatot dan Evi setelah keduanya diperiksa sebagai tersangka untuk pertama kalinya selama sekitar 10 jam. Gatot ditahan di rumah tahanan kelas I Cipinang sedangkan Evi di rutan kelas I Jakarta Timur di gedung KPK Jakarta.

Gatot dan Evi disangkakan pasal 6 ayat 1 huruf a dan pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b dan atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat 1 juncto pasal 55 ayat 1 juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

Selain Gatot dan Evi, KPK juga sudah menetapkan enam orang tersangka lain yaitu penerima suap terdiri atas Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro (TIP), anggota majelis hakim Amir Fauzi (AF) dan Dermawan Ginting (DG) serta panitera/Sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan (SY), sedangkan tersangka pemberi suap adalah pengacara senior OC Kaligis dan  anak buahnya bernama M Yagari Bhastara Guntur (MYB) alias Gerry.

Perkara ini dimulai ketika Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumut Ahmad Fuad Lubis dipanggil oleh Kejaksaan Tinggi dan juga Kejaksaan Agung terkait perkara korupsi dana bantuan sosial provinsi Sumatera Utara tahun 2012--2014.

Atas pemanggilan berdasarkan surat perintah penyelidikan (sprinlidik) yang dikeluarkan oleh Kejati Sumut, Fuad pun menyewa jasa kantor pengacara OC Kaligis untuk mengajukan gugatan ke PTUN Medan.

Dalam putusannya pada 7 Juli 2015, majelis hakim yang terdiri dari ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro dan anggota Amir Fauzi serta Dermawan Ginting memutuskan untuk mengabulkan gugatan Fuad.

Namun, pada 9 Juli 2015, KPK melakukan OTT di PTUN Medan terhadap Tripeni dan Gerry sehingga didapatkan uang 5 ribu dolar AS di kantor Tripeni. Belakangan KPK juga menangkap dua hakim anggota bersama panitera/sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan.

Selanjutnya diketahui juga bahwa uang tersebut bukan pemberian pertama, karena Gerry sudah memberikan uang 10 ribu dolar AS dan 5 ribu dolar Singapura.

Uang tersebut menurut pernyataan pengacara yang juga paman Gerry, Haeruddin Massaro berasal dari Kaligis yang diberikan ke Dermawan Ginting pada 5 Juli 2015.