Belajar Toleransi dari Masjid-Gereja Satu Tembok

id Toleransi antarumat Beragama, Toleransi

Jakarta (ANTARA Lampung) - Pendeta Nunung Istining Hyang STh, pimpinan di Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan, mengaku suara azan dari masjid sebelah yang didengarnya memang mengganggu.

Demikian pula, di masjid sebelah, dia menilai tentu merasa terganggu juga dengan aktivitas gereja ketika penyelenggaraannya kebetulan bersamaan.

Namun, tingkat gangguan itu tentu tidak lantas merusak jalan ibadah masing-masing. Pihaknya selalu berkomunikasi dengan pengurus masjid jika di gereja akan dilaksanakan ibadah kebaktian yang melibatkan banyak orang, katanya ketika dijumpai penulis bersama sejumlah peneliti dari Kementerian Agama, beberapa waktu lalu.

Pihak masjid pun demikian. Jika punya acara seperti Isra Mikraj atau Maulid Nabi, pihak gereja menunda acara kebaktian. Setelah acara penting di masjid selesai, gereja baru melaksanakan kebaktian. Saat Ramadan berlangsung, kegiatan malam hari di gereja disesuaikan dengan acara di masjid.

Jika Iduladha akan tiba, pihak masjid memberi tahu dan minta izin menempatkan ternak (sapi dan kambing) di parkiran halaman depan gereja. Jika kotoran ternak bertebaran di halaman gereja, umat muslim membersihkan dengan dibantu umat nasrani.

Dahulu, saat buka puasa pihak gereja ikut memberi kontribusi. Setelah dipersoalkan orang luar, bantuan makanan buka puasa, atas kesepakatan bersama dihentikan.

Jika peralatan pengeras suara rusak untuk hari-hari besar Islam, gereja pun ikut membantu. Begitu pula, tatkala gereja punya acara besar dan minta bantuan pengurus masjid agar tak mengeraskan suara azan, malah pengurus masjid tak menggunakan pengeras suara saat azan sama sekali.

"Kami merasa dihormati sekali," kata Nunung.

Pak Haji sebelah--maksudnya takmir Masjid Al Hikman H Nasir AB--juga datang ke gereja setelah rituan Natal selesai. Jika ada hari besar Kristen seperti Natal, pengurus masjid selalu berkomunikasi. "Kami pun sering berkomunikasi dengan pengurus masjid sehingga dalam menjalankan ibadah, kami tidak pernah menghadapi masalah," katanya.

Teori dalam ilmu sosial menjelaskan bahwa kedua umat berbeda dalam menjalankan ibadah tanpa saling menggangu disebut sebagai toleransi.

Sungguh benar, dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat dikenal dengan istilah toleransi. Misalnya, toleransi beragama, penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda.

Namun, dalam realitasnya, toleransi--dalam pemahaman awam--dimaknai bahwa pihak luar (kamu) harus paham apa dan siapa diri (ku). Dalam praktik keseharian, bagi dua penganut agama berbeda di Jalan Gatot Subroto Nomor 222 Solo itu, toleransi dimaknai saling memahami, menghormati, saling kasih, dan membantu satu sama lain. Jadi, tak sebatas menghormati saja, jauh dari itu. Walau beda penghayatan (akidah), dalam berbuat kebaikan satu sama lain terpelihara dengan baik.

Kehadiran dua rumah ibadah tersebut bagi setiap anak bangsa yang menyaksikan bangunan tersebut dari tepi jalan, tentu memunculkan banyak pertanyaan. Pertanyaan sederhananya, kok, bisa bangunan itu berdiri berdampingan. Apakah ketika melaksanakan ritual ibadah masing-masing pemeluknya (baik Kristen dan Islam) tidak saling mengganggu atau terganggu tanpa sengaja.

Bagaimana jika ada suara azan berkumandang dari Masjid Al Himah, sedang umat Kristen di Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan yang di sebelahnya tengah melaksanakan kegiatan pelayanan umat seperti kebaktian. Paling tidak, rapat dan seluruh aktivitas sosial ikut terganggu. Bohong, kalau ada orang yang mengaku kedua umat tersebut merasa tidak terganggu.

"Ya, terganggu. Akan tetapi, toh, kami--umat Kristen dan Islam di sini--sudah puluhan tahun bisa melaksanakan ibadah dengan baik," kata Pantas, anggota Satpam Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan.

Bagi pendatang, yang melintas di muka dua rumah ibadah yang berdampingan tersebut, ada juga punya pandangan "minor". Dia berucap, "Ah, itu kan akal-akalan penguasa saja untuk memetik keuntungan dari pencitraan kerukunan di negeri ini. Penguasa ingin memperlihatkan bahwa kerukunan di tengah masyarakat majemuk masih ada."

Pandangan semacam itu sah-sah saja, apalagi dalam era reformasi, siapa pun bisa menyampaikan argumentasinya. Bahkan, lebih panjang lagi tentang kerukunan di negeri ini yang dirasakan masih perlu dibenahi.

Akan tetapi, harus dicatat bahwa kedua bangunan rumah ibadah itu hadir bukan didorong atau diprakarsai oleh penguasa. Salah satu dari dua rumah ibadah itu berdiri sejak Indonesia belum merdeka, yakni Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan dibangun pada tahun 1939. Kemudian, setelah dua tahun Indonesia merdeka, pada tahun 1947, di sisi kanannya dibangun Masjid Al Hikmah.

Ahli waris Masjid Al Himah H. Syamsi berpesan di lahan yang berdekatan dengan gereja itu boleh dibangun masjid. Asal, pesan dia, kerukunan harus dijaga. Untuk menjaga kerukunan itu, lantas para pengurus dua rumah ibadah membangun tugu lilin pada tahun 1960-an sebagai simbol perdamaian antarpemeluk agama.

Belakangan ini, soal kerukunan menjadi perhatian kalangan media massa. Padahal, soal akan kerukunan itu sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Toleransi dan semangat gotong royong sudah mengakar di bumi pertiwi. Namun, sangat disayangkan, belakangan masyarkat Indonesia dibuat terkaget ketika peristiwa intoleransi terjadi di Karubuga, Tolikara, Papua.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengeluarkan hasil analisis sementara dan menemukan fakta terkait dengan bentrok yang melibatkan jemaat Gereja Injil di Indonesia dengan umat Islam di Tolikara dan kepolisian.

"Yang terpenting bukan permusuhan antara GIDI dan umat Islam," kata Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai.

Pigai mengatakan bahwa kerusuhan di Tolikara dipicu oleh Surat Edaran Ketua GIDI wilayah Tolikara Pendeta Nayus Wenea dan Sekretaris GIDI Pendeta Marthe Jingga kepada umat muslim di Tolikara. Surat yang juga disampaikan ke Kepolisian Resor Tolikara dan pemerintah daerah tersebut berisi larangan umat Islam merayakan Idulfitri di Karubaga Tolikara. Mereka juga meminta umat Islam tak berjilbab. Meski begitu, pada surat edaran yang sama, Nayus menjelaskan bahwa pihaknya juga melarang pemeluk agama mendirikan tempat ibadah di Tolikara.

Jelas saja surat itu bertentangan dengan konstitusi. Pasalnya, konstitusi menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama yang dipeluknya. Institusi agama yang melarang terlebih melakukan kekerasan terhadap umat beragama lain yang sedang beribadah dapat dianggap melecehkan konstitusi. Larangan beribadah, apalagi yang berujung kekerasan, jelas melanggar konstitusi. Pihak-pihak yang terbukti melakukannya harus bertanggung jawab secara hukum.

"Pihak-pihak, baik perorangan maupun institusi, yang terbukti melakukan hal seperti itu tidak hanya melanggar hak asasi manusia yang dijamin UUD 1945, tetapi juga telah meruntuhkan sendi-sendi bangunan kerukunan hidup umat beragama," kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Jakarta.
   
                           Dapat Diselesaikan
Terlepas dari peristiwa Tolikara, Pendeta Nunung mengatakan bahwa masalah memang selalu ada dan bisa dibesarkan. Akan tetapi, itu tidak di kalangan pengurus gereja dan masjid di sini. Pernah pengurus masjid lupa memberitahukan ada acara halakah. Padahal, saat itu jemaat gereja punya kegiatan yang juga melibatkan banyak orang. "Toh, kami bisa selesaikan dengan baik. Jadi, berbagi kasih itu sangat indah," cerita pendeta Nunung didampingi Bambang Wirawan selaku wakil pengurus gereja setempat.

Terkait dengan bangunan rumah ibadah berdempetan, satu alamat pula, Nunung mengaku hal itu juga terasa aneh bagi dirinya. Sepertinya para orang tua dan pemuka agama terdahulu sudah mengerti pentingnya orang memeluk agama. Bukan saja menganut agama tertentu, melainkan juga bagaimana dapat menjalankannya dengan baik.

Bangunan Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan memiliki luas 1.300 meter persegi dengan sertifikat hak gereja. Umat kristiani yang aktif di gereja tersebut sebanyak 700 orang. Gereja tersebut tak dilengkapi lonceng sebagaimana gereja yang kebanyakan dibangun pada zaman Belanda. Mungkin mengandung makna lonceng dapat mengganggu ibadah umat Islam di Masjid Al Hikmah di sebelahnya. Masjid Al Hikmah yang memiliki luas tanah 160 meter dan luas bangunan berlantai dua 320 meter persegi itu juga tidak punya beduk, seperti di Masjid Istiqlal.

Peneliti Zainuddin Daulay dari Kementerian Agama menilai adanya bangunan Gereja Kristen Jawa (GKI) Joyodiningrata "berdempetan" tembok dengan Masjid Al Hikmah di Jalan Gatot Subroto yang berdiri puluhan tahun sebagai sebuah "situs kerukunan". Lebih dari sekadar bangunan berdempetan, kedua komunitas rumah ibadat ini juga saling peduli, saling membantu, dan menggalang kerja sama sosial untuk umat maupun masyarakat umum.

Fakta tersebut, selain menunjukkan potret kerukunan dan kehidupan multikultural, sekaligus merupakan "oase" kelembutan beragama di tengah pemberitaan terorisme dan "image" kekerasan di berbagai belahan dunia.

Fenomena keunikan dua tempat ibadat itu, selain merupakan gambaran hidup berdampingan suatu masyarakat majemuk, juga merupakan potret dasar masyarakat Indonesia yang ramah, toleran, dan masih terpelihara baik di banyak tempat, salah satunya di Solo.

Oleh karena itu, Zainuddin memandang perlu melakukan penelitian untuk mengungkap sebuah keharmonisan masyarakat majemuk yang dipraktikkan melalui dua buah lembaga keagamaan berbeda.

Hal lain, karena kemajemukan, jika dikelola secara arif dan bijak, dapat menjadi potensi kekuatan sosial bagi suatu kawasan atau bangsa.

Seiring dengan itu, permasalahan pokok pada penelitian yang berlangsung pada bulan Agustus 2014 adalah ingin mengungkap bagaimana sebuah keharmonisan dapat terjalin dan terpelihara cukup lama antara dua rumah ibadat berbeda yang biasanya merupakan "rival" dalam memperebutkan umat.

Berkaca dari fenomena dua rumah ibadah "berdempetan" itu, alangkah indahnya insiden Tolikara segera dapat diselesaikan. Menggembirakan sekali, seluruh pemangku kepentingan, para pemuka agama dan tokoh masyarakat "turun tangan" menyelesaikan masalah itu dan diharapkan akar masalahnya juga terungkap.

Tentu juga aspek hukum harus dikedepankan. Dengan begitu, tidak ada lagi umat Muslim dilarang mengenakan jilbab, rumah ibadah dibakar, atau ada penyerangan tatkala salah satu umat menjalankan ibadah di Bumi Pertiwi ini.

Tokoh Nahdlatul Ulama KH Hafidz Taftazani menyatakan, "Dalam menyikapi insiden di Tolikara itu, perlu diketengahkan sikap ukhuwah islamiah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia). Ukhuwah basyariyah dapat pula dimaknai sebagai ukhuwah insaniyah.

Pada konsep ukhuwah islamiah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena sama-sama memeluk agama Islam. Umat Islam yang dimaksudkan bisa berada di belahan dunia mana pun. Dalam konsep ukhuwah wathaniyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari bangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia.

Ukhuwah model ini tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordial, seperti agama, suku, dan jenis kelamin. Adapun dalam konsep ukhuwah basyariyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari umat manusia yang satu yang menyebar di berbagai penjuru dunia. "Dalam konteks ini, semua umat manusia sama-sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan," katanya.