Bergumul Sampah TPA Bakung Jadi Sumber Nafkah

id tpa bakung, pemulung

Bergumul Sampah TPA Bakung Jadi Sumber Nafkah

Agusman (27), warga Umbul Asem yang bekerja di salah satu pengumpul sampah sekitar TPA Bakung di Bandarlampung. (FOTO: ANTARA Lampung/Budisantoso Budiman)

Bau busuk menyengat dan lalat bertebaran, serta sampah-sampah yang berserakan di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung Kecamatan Telukbetung Barat Kota Bandarlampung, seperti tak dipedulikan lagi.

Setiap hari, ratusan pemulung, termasuk anak-anak yang kebanyakan sudah putus sekolah itu, justru sengaja datang ke TPA sampah ini untuk mengais rezeki dari gunung sampah berbau busuk dan menyengat hasil buangan dari seluruh wilayah Kota Bandarlampung.

Mereka mengais rezeki setiap hari, dengan memilih dan memilah kembali dari sampah yang bertumpuk dan berserakan, untuk mencari bagian-bagian sampah yang masih dapat dimanfaatkan atau dijual kembali.

Petugas pengelola TPA Bakung itu pun mengaku, sudah tak asing lagi dengan aktivitas para pemulung di sekitar lokasi pembuangan akhir sampah yang telah bertahun-tahun beroperasi ini. Keberadaan mereka justru membantu mengurangi volume sampah di TPA ini.

Ratusan pemulung dan belasan pengumpul barang bekas setiap hari memang mengandalkan penghasilan dari TPA yang berada di pinggiran ibu kota Provinsi Lampung.

Kendati puasa Ramadan, para pemulung yang diperkirakan bisa mencapai hingga ratusan orang itu setiap hari harus bergumul dengan sampah, menahan bau dan berkotor badan, untuk dapat mengais dan memilih-milih sampah berupa barang bekas yang masih dapat diambil untuk dijual kembali.

Para pemulung itu, bukan hanya orang dewasa, terdapat pula belasan anak-anak yang diketahui sebagian di antaranya tidak bersekolah lagi, karena setiap hari musti mencari uang dari sampah yang berserakan dan ditumpuk di TPA sampah satu-satunya di kota ini.

Menurut beberapa staf unit pelaksana teknis (UPT) TPA Bakung, anak-anak usia sekolah itu saat ini setiap hari Minggu masih berkesempatan mendapatkan pembelajaran dari para relawan setempat.

Namun pada hari lainnya, belasan anak-anak itu harus berebutan mengais sisa-sisa sampah untuk mendapatkan barang yang masih laku dijual kepada pengumpul yang berada di sekitarnya.

Mereka berebutan mendatangi truk pengangkut sampah yang baru saja membuang sampah dari rumah-rumah warga kota dari seluruh kecamatan di Bandarlampung yang masuk ke TPA ini.

Dari luas areal TPA ini 14,2 ha, baru sekitar 4 ha yang digunakan untuk lahan penampungan. Pengelola TPA Bakung menyatakan, untuk efisiensi lahan, juga melaksanakan program pengolahan sampah menjadi kompos terutama jenis sampah organik.

Berkaitan bau tidak sedap yang banyak dikeluhkan masyarakat sekitar TPA ini, pengelolanya berupaya meminimalkan dampak tersebut, antara lain dengan langkah pencegahan, UPT TPA Bakung juga membangun penahan tanggul (beronjong) untuk menahan tanggul agar tidak jebol seperti pernah terjadi sebelumnya.

Pada lokasi TPA Bakung juga banyak berdiri rumah-rumah kardus yang segaja dibuat sebagai tempat menampung barang-barang bernilai ekonomis yang dikumpulkan oleh ratusan pemulung.

Beberapa pemulung di sini mengaku sudah menggeluti sampah untuk mendapatkan penghasilan di TPA Bakung ini selama 20 tahun. Mereka terbiasa bergelut dengan kotoran dan bau, untuk mendapatkan uang bagi nafkah keluarga masing-masing.

Anak-anak dan remaja usia sekolah yang putus sekolah, akhirnya juga ikut bergelut di TPA Bakung ini, dengan harapan bisa mendapatkan uang untuk keperluan sehari-hari mereka.

Di antara para pemulung itu, terdapat pula sejumlah wanita. Mereka mengaku sengaja menjadi pemulung, untuk membantu menambah penghasilan keluarga masing-masing, mengingat para suami mereka umumnya berpenghasilan minim dan pas-pasan.

Para pemulung itu pun setiap hari mengumpulkan barang bekas yang masih bisa dijual, dengan beragam jenisnya.

Mereka menyimpan barang-barang yang telah dipilih dari sampah berserakan itu, seperti barang-barang berbahan plastik, botol, kardus, dan lain-lain.

Pendapatan para pemulung itu bervariasi, bergantung barang bekas buangan yang bisa dijual, yaitu berkisar antara Rp20 ribu hingga Rp50 ribu setiap harinya.

Barang-barang itu mereka jual kepada para pengumpul yang datang, atau dibawa ke pedagang pengumpul yang terdapat di sekitar TPA Bakung itu.

Selain para pemulung itu, sejumlah orang juga bekerja pada pengumpul barang bekas yang berada di sekitaran lokasi TPA Bakung yang berada di Jl Banten Kelurahan Bakung Kecamatan Telukbetung Barat ini.

Sedikitnya 250 unit truk pengangkut sampah setiap hari mengirimkan sampah ke TPA ini, sehingga diperkirakan sebanyak 750--800 ton sampah masuk ke areal seluas 14,2 ha ini.

Menurut Agusman (27), warga Umbul Asem yang bekerja di salah satu pengumpul sampah sekitar TPA Bakung, pihaknya masih harus memilah dan memilih lagi barang-barang yang dipungut para pemulung dan dijual ke tempatnya.

Saat ini, menurut dia, harga barang-barang bekas dari para pemulung itu berupa kardus diharga Rp1.400 per kg, bekas air minum kemasan gelas Rp3.800 per kg, bekas air mineral botol Rp3.500/kg, besi bekas Rp2.600/kg, dan kaleng bekas Rp1.200/kg.

"Barang bekas yang paling mahal dibeli adalah bekas air minum kemasan gelas yang telah dibersihkan kembali, dengan harga Rp7.500 per kg," ujar Agusman pula.

Dia bekerja pada pemilik usaha itu, dengan rekan kerja empat orang dan mendapatkan upah harian sebesar Rp50.000 bersih, mendapatkan makan setiap hari.

"Sebelumnya saya kerja sebagai buruh bangunan, dan baru dua tahun ini bekerja di pengumpul barang bekas seperti ini," katanya lagi.

Ia mengaku, pendapatan yang diperoleh lebih besar saar ini, mengingat selain penghasilan tetap dari upah harian dan dapat makan setiap hari, saat mengirimkan barang kepada penampung besar biasanya juga mendapatkan tambahan antara Rp15.000 hingga Rp20.000 sekali antaran.

"Belum ada alternatif yang lebih baik untuk bekerja di tempat lain, saat ini bekerja di sini lebih baik dari sebelumnya," ujar Agusman yang mengaku memiliki dua anak yang masih kecil itu lagi.

Belasan pengumpul barang bekas yang membeli barang-barang bekas dari ratusan pemulung di TPA Bakung itu, biasanya menjual lagi barang-barang yang terkumpul setelah disortir dan dibersihkan kepada penampung.

Terdapat puluhan hingga belasan penampung besar barang bekas seperti itu di Kota Bandarlampung, antara lain berada Rajabasa, Kedamaian, Golak Galik, dan beberapa tempat lainnya.

"Tapi harga barang-barang bekas yang dipulung itu tidak menentu, biasanya berubah setengah hingga satu bulanan. Setiap ada perubahan harga kami mendapatkan informasi tersebut, untuk pembelian dari pemulung dan penjualan kepada pengumpul besar," ujar dia pula.

                                             Sampah Masih Ditumpuk
Salah satu hasil penelitian pernah dilakukan sebelumnya, menyimpulkan TPA Bakung ini belum menggunakan sistem "sanitary landfill", tetapi masih menggunakan "open dumping" atau sistem pembuangan terbuka dengan sampah yang ada hanya dihamparkan pada satu lokasi yang dibiarkan terbuka bertumpuk dengan diratakan oleh alat berat, tanpa pengamanan dan tindakan setelah lokasi tersebut penuh.

Diketahui belum ada pengolahan sampah menggunakan peralatan/mesin penghancur yang diperlukan, meskipun sebagian sampah organik disortir dan digunakan untuk bahan baku pembuatan kompos, serta sampah berupa tinja yang ditampung terpisah untuk diolah lagi dalam kolam penampungan tinja sudah tersistem sesuai petunjuk standar pengolahan lumpur tinja dan sesuai standar pengelolaan kolam IPLT (instalasi pengelolaan lumpur tinja).

Pembuangan sampah dengan open dumping seperti ini, dinilai sangat tidak maksimal. Pada awalnya pengelolaan sampah di TPA Bakung menggunakan sistem sanitary landfill, namun pada kenyataannya tidak berlanjut karena berbagai kendala, yaitu keterbatasan lahan untuk TPA, jumlah tenaga kerja, biaya besar yang dibutuhkan, terkendala dengan jumlah kendaraan serta kondisi peralatan yang telah tua, sehingga sistem open dumping yang digunakan.

Menurut penelitian itu, pengelolaan TPA Bakung dengan cara seperti itu, belum sesuai dengan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan, karena dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat di sekitarnya, berpotensi terkena penyakit kulit, infeksi saluran pernapasan (ISPA), diare maupun demam berdarah.

Sejumlah upaya terobosan Pemkot Bandarlampung maupun dinas terkait untuk dapat melakukan penanganan sampah dengan cara mengolahnya lagi serta mendaur ulang sampah tersebut, hingga kini belum terealisasi kendati sejumlah pihak pernah menyatakan berminat mengelola sampah di TPA Bakung ini.

Sebelumnya, pengelola TPA Bakung akan menerapkan aturan bagi warga yang membuang sampah di sini sesuai ketentuan akan dikenakan biaya Rp300 ribu per truk.

"Berdasarkan Perda Kota Bandarlampung Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pelayanan Persampahan, setiap masyarakat yang ingin membuang sampah dengan menggunakan truk dikenakan biaya Rp300 ribu," kata Kepala UPT TPA Bakung, Setiawan Batin.

Dia menjelaskan, biaya itu berdasarkan perda tersebut, sehingga retribusinya akan masuk menjadi pendapatan asli daerah (PAD).

Dalam perda itu, untuk mobil pick up per meter kubiknya dikenakan biaya Rp30 ribu.

Ia menegaskan bahwa pengenaan biaya itu memang diwajibkan, meskipun sampai saat ini kenyataannya yang datang ke TPA Bakung bukanlah pemilik sampah tapi kebanyakan sopirnya, sehingga banyak yang beralasan tidak membawa uang dan sebagainya.

"Sopir yang membawa sampah terkadang banyak alasan, seperti tidak membawa uang dan sebagainya, sehingga penerapan ketentuan membayar setiap kali buang sampah itu menjadi banyak diabaikan," kata dia lagi.

Setiawan menyatakan, apabila membuang sampah ke TPA Bakung itu menggunakan truk/mobil dinas, tidak akan dikenai biaya saat membuangnya, tapi tetap harus membayarnya tiap bulan.

Sekretaris Dinas Kebersihan dan Pertamanan (Disbertam) Kota Bandarlampung, Fikri mengatakan bahwa sesuai dengan perda itu, setiap mobil yang membuang sampah ke TPA Bakung wajib membayar.

"Sesuai dengan perda, mobil yang membuang sampah itu wajib bayar," katanya menegaskan lagi.

Dia mengungkapkan, target PAD Disbertam tahun ini Rp6,50 miliar, baru terealisasi 35 persen sehingga saat ini masih harus menggali potensi untuk meningkatkan PAD agar mencapai target.

Namun dia menyatakan optimistis, tahun ini akan tercapai target tersebut, mengingat baru berjalan lima bulan sehingga masih dalam proses menggali potensi PAD yang ada.

Volume sampah di Kota Bandarlampung selama bulan Ramadan naik 20 persen, dan setiap hari sampah yang masuk ke TPA Bakung ini mencapai 800 ton.

"Berdasarkan data yang ada, memang ada tren peningkatan volume sampah selama bulan Ramadan, dan biasanya peningkatan berkisar antara 10 hingga 20 persen," kata Kepala Bidang (Kabid) Kebersihan Disbertam setempat, Siswanto.

Dia menyatakan, sampah di ibu kota Provinsi Lampung selama bulan Ramadan diperkirakan akan terus meningkat sampai Idulfitri nanti, dan akan berangsur normal usai Lebaran.

Menurutnya, setiap hari sampah yang masuk ke TPA ini bisa mencapai 600 ton hingga 800 ton.

"Data kami menunjukkan peningkatan volume sampah ini didominasi oleh sampah organik sisa rumah tangga dan plastik," katanya lagi.

Menurutnya, peningkatan volume sampah rumah tangga itu dipicu dari sisa-sisa masakan yang dibuang baik dari rumah maupun dari bahan sisa pedagang makanan yang menjamur saat ini. Hal seperti ini, katanya lagi, seharusnya dapat ditekan oleh masyarakat.

Ia mengharapkan, masyarakat dapat meminimalkan penggunaan sampah plastik yang seharusnya bermanfaat untuk membungkus sesuatu.

"Untuk penggunaan plastik, kalau bisa masyarakat meminalkan penggunaan plastik, sehingga bisa dikurangi volume sampahnya. Jangan sekali pakai langsung dibuang, sehingga sehabis belanja baju di supermarket bisa dipakai untuk membungkus belanjaan yang lain," katanya pula.

Kepala UPTD Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung, Setiawan Batin membenarkan, hingga saat ini sudah terjadi peningkatan volume sampah sebesar 350 ton yang dibuang di TPA ini.

"Sejak hari pertama bulan Ramadan sampai sekarang kalau dirata-ratakan ada 50 ton peningkatan sampah per harinya. Sekarang saja kalau dicek sudah ada 350 ton lebih," kata dia lagi.

Dia mengemukakan, peningkatan volume sampah ini juga didorong oleh peningkatan aktivitas transaksi ekonomi masyarakat Bandarlampung. Sampah ini, katanya lagi, merupakan representasi kegiatan ekonomi masyarakat.

Menurutnya, jika volume sampah tinggi, berarti aktivitas masyarakatnya tinggi. Jika turun berarti itu jadi indikator ekonomi sedang turun, ujarnya.

"Berdasarkan jenis sampahnya saja sudah bisa ditebak, kalau sampah rumah tangga itu tinggi karena ibu-ibu selain memasak untuk makan mereka juga membuat makanan ringan untuk berbuka puasa. Belum lagi pedagang makanan yang juga naik jumlahnya, dan kebanyakan mereka itu memakai plastik untuk bungkusnya sehingga wajar jika sampah plastik naik," kata dia pula.

Lantas, kenapa sampah yang terus bertumpuk semakin banyak di TPA Bakung ini belum didaur ulang atau diproses lebih lanjut, untuk dapat diolah menjadi bahan bermanfaat sekaligus mengurangi volume sampah di sini? Padahal berbagai pihak dari dalam maupun luar negeri, seperti Jepang, sebelumnya telah menyatakan berminat bekerjasama dalam pengelolaan sampah di TPA Bakung.

Komisi C DPRD Kota Bandar Lampung mengapresiasi investor yang berencana mengelola sampah TPA Bakung, agar tidak dibiarkan menumpuk dan membusuk begitu saja, sehingga berpotensi mengurangi dampak berupa bau dan pencemaran lingkungan sekitarnya.

Anggota Komisi C DPRD Wahyu Lesmono membenarkan, Pemkot Bandarlampung melalui Dinas Kebersihan dan Pertamanan setempat memang tidak memiliki anggaran yang banyak untuk mengelola TPA Bakung ini, sehingga diperlukan adanya investor yang akan murni mengeluarkan dananya untuk pengelolaan TPA Bakung ini.

"Selain itu, sejumlah pemulung atau warga sekitar bisa diberdayakan oleh investor dalam pengelolaan TPA Bakung ini seperti yang akan diolah menjadi pupuk dan lainnya, kami mendukung," kata Wahyu lagi.

Tapi, kapankah sampah dari TPA Bakung ini dapat dikelola menjadi lebih ekonomis, mengingat sejak wali kota Bandarlampung beberapa periode sebelumnya sudah menyuarakannya, namun hingga kini belum terwujudkan.

Bagaimana dengan kebijakan Wali Kota Bandarlampung saat ini, Herman HN, akankah dapat membuat terobosan baru pengelolaan sampah TPA Bakung yang lebih baik lagi?.