LSM pun Punya Saran Efektifkan Pemberantasan Pencurian Ikan

id Pemberantasan Pencurian Ikan

Jakarta (ANTARA Lampung) - Penenggelaman sebanyak 41 kapal penangkap ikan pada perayaan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2015 diapresiasi oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap sektor kelautan dan perikanan di Tanah Air.

Namun, sejumlah LSM tersebut juga mengingatkan masih adanya sejumlah putusan hakim pengadilan perikanan yang melukai rasa keadilan masyarakat karena hanya mengenakan denda kepada pemilik kapal sedangkan kapal penangkap ikan itu tidak ditenggelamkan.

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus menerapkan kebijakan yang lebih tegas dengan langsung menenggelamkan kapal pencuri ikan yang ditangkap di kawasan perairan Indonesia.

"Kami ingin mendengar Bu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan) menangkap tangan pelaku 'illegal fishing' di lapangan, dan bisa langsung ditenggelamkan sesuai pasal 69 ayat 4 UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan," kata Ketua Bidang Analisis Strategis dan Kebijakan Publik DPP KNTI Suhana dalam konferensi pers di kantor KNTI di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/5).

Menurut Suhana, kapal yang ditemukan mencuri ikan di kawasan perairan Indonesia untuk tidak perlu lagi dibawa ke pengadilan.

Ia juga menginginkan Menteri Susi meniru kebijakan Uni Eropa yang mengumumkan secara internasional terkait dengan kapal-kapal penangkap ikan yang diduga mencuri ikan di perairan benua biru tersebut.

Setelah adanya pengumuman itu, maka seluruh hasil tangkapan kapal tersebut akan ditolak masuk di Uni Eropa.

"Kalau pola seperti itu ditiru Indonesia pasti negara-negara seperti di Uni Eropa juga akan menolak produk-produk dari kapal ini. Ini adalah cara untuk memerangi 'illegal fishing', jadi tidak cukup hanya ditenggelamkan saja," ujarnya.

Apalagi, ujar dia, saat ini produk kelautan dan perikanan dalam tingkat global relatif dapat terlacak melalui mekanisme "tracebility" produk perikanan.

Menurutnya, seharusnya Menteri Susi dalam moratorium jilid II yang sedang berlangsung sekarang ini agar bisa langsung menangkap dan menenggelamkan kapal pencuri ikan di lapangan.

                                                             Koordinasi Aparat
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyarankan KKP untuk menggelar pertemuan rutin dengan segenap aparat hukum di Tanah Air agar hasil mengecewakan seperti hanya vonis denda kepada pelaku pencuri ikan tidak terjadi kembali.

"Langkah strategis yang bisa dilakukan adalah dengan mengadakan pertemuan rutin dengan Kepolisian dan Jaksa Agung," kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Jumat (22/5).

Menurut Abdul Halim, pertemuan rutin tersebut antara lain untuk membahas terkait hukuman maksimal yang dapat dibebankan bagi kejahatan dalam sektor perikanan di Tanah Air.

Upaya itu, ujar dia, bisa membentuk kesepahaman mengenai pelaksanaan hukum dan timbulnya efek jera bagi para pelaku pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia.

Sekjen Kiara juga menilai pemberlakuan perizinan satu pintu yang lebih tegas untuk usaha di sektor kelautan dan perikanan bisa mencegah terjadinya aktivitas pencurian ikan di Perairan Indonesia.

"Hal yang penting dilakukan adalah mengubah perizinan menjadi satu pintu," kata Abdul Halim.

Abdul Halim menyayangkan bahwa perizinan terkait dengan usaha yang menggunakan kapal penangkapan ikan masih terpisah di dua institusi, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Perhubungan.

Padahal, menurut dia, modus utama pencurian ikan bermula dari izin yang dikeluarkan, baik oleh KKP maupun Kementerian Perhubungan. "Pelanggarannya mulai dari markdown (penyusutan) ukuran kapal, penggandaan satu izin kapal untuk 5-10 kapal dan berisiko besar terjadinya praktek KKN," katanya.

Dengan demikian, ia mengemukakan bahwa perubahan perizinan akan berdampak positif di hulu dalam upaya memerangi aktivitas pencurian ikan.

                                                                       Jerat Korporasi
Selain itu, penerapan Undang-Undang Perikanan yang digunakan untuk menindak pelaku pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia kerap hanya dipakai untuk menjerat pelaku lapangan tetapi tidak memiliki terobosan untuk menjerat dalang korporasinya.

"Implementasi UU Perikanan seringkali hanya menjerat orang per orang pelaku di lapangan, bukan korporasi," kata Sekjen Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Kamis (21/5).

Padahal, Abdul Halim memaparkan bahwa pihak korporasi itu sifatnya sangat luas mencakup mulai dari perusahaan penyedia lapangan hingga oknum birokrasi dalam negeri yang diduga terlibat dalam aktivitas ilegal tersebut.

Sekjen Kiara menegaskan bahwa implementasi dari UU Perikanan dapat dan bisa dilakukan untuk menjerat berbagai pihak korporasi.

Pemahaman inilah, ujar dia, yang perlu dipergunakan untuk menindak tegas pelaku pencuri ikan hingga saat ini, termasuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

"Sekalipun ada klausul yang memperbolehkan penenggelaman kapal bila ditemukan bukti permulaan yang cukup," katanya.

Alhasil, ia berpendapat bahwa praktek pencurian ikan terus berulang tanpa efek jera yang mencakup seluruh rantai aktor mulai dari pemilik modal, oknum birokrasi, pengusaha dalam negeri dan operator atau pelaku lapangan.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Rabu (20/5), mengemukakan, pihaknya ke depan akan menenggelamkan langsung kapal yang melakukan pencurian ikan di Indonesia.

Hal itu, ujar Menteri Susi, juga telah sesuai dengan aturan yang terdapat dalam UU Perikanan sehingga sebenarnya kapal pencuri ikan dapat ditenggelamkan tanpa harus melalui proses pengadilan terlebih dahulu.

Bagi para anak buah kapal (ABK), ia mengemukakan agar diamankan dan dibawa oleh aparat baru kemudian kapal yang telah melakukan pencurian ikan itu langsung ditenggelamkan di tempat.

Menurut dia, hal tersebut dilakukan karena beberapa kali putusan pengadilan dinilai telah mengecewakan hasil kerja keras yang dilakukan oleh aparat.

                                                                       Perhatian Global
KKP juga mengingatkan putusan pengadilan yang hanya memberikan denda kepada pelaku pencuri ikan akan diperhatikan serius oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat yang menjadi salah satu pasar sasaran ekspor Indonesia.

"Kita Indonesia harus hati-hati, pasar utama dunia khususnya UE dan AS sangat serius memerangi IUU fishing (pencurian ikan) bahkan serius mencegah jangan sampai produk perikanan hasil praktik IUU fishing memasuki pasar mereka," kata Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP Saut Hutagalung di Jakarta, Kamis (21/5).

Saut mencontohkan, pihaknya dapat mengikuti di laman resmi Komisi Eropa yang memberikan kartu kuning bahkan hingga kartu merah bagi negara-negara yang pelaku usaha penangkapan ikannya masih leluasa melakukan praktik pencurian ikan.

Sejumlah negara itu, ujar dia, antara lain Thailand pada April 2015, serta beberapa negara pada 2014 yaitu Korea Selatan, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Tuvalu.

"Kejadian putusan ringan oleh pengadilan perikanan Ambon dapat memberi sinyal bahwa Indonesia belum sungguh-sungguh memberantas IUU fishing," katanya.

Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah sudah sangat keras dan tegas tapi badan peradilan belum. Mengambil contoh kejadian Ambon, putusan banding atas KM Haifa bahkan menguatkan putusan pengadilan sebelumnya.

Ia menegaskan tidak ada pilihan lain bagi Indonesia agar industri perikanan dapat menjadi pemain penting di pasar global ke depannya dengan membangun perikanan berkelanjutan.

"Kalau kita tidak serius, Indonesia bisa dapat 'yellow card' yang akan memukul pasar ekspor kita," katanya.

Saut mengemukakan bahwa pilihan yang ada adalah melanjutkan dengan konsisten upaya pemberantasan pencurian ikan secara tegas dan keras serta bersamaan dengan itu menata kebijakan dan program pengelolaan perikanan menuju perikanan berkelanjutan yang berdaya saing.