Yuddy Chrisnandi Menteri yang Bergelar Guru Besar

id Yuddy Chrisnandi Guru Besar

Jakarta (ANTARA Lampung) - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi dikukuhkan sebagai Guru Besar atau Profesor pada Sidang Senat Guru Besar Universitas Nasional, Jakarta, Sabtu.

Profesor Dr H Yuddy Chrisnandi ME menambah menteri Kabinet Kerja yang bergelar Guru Besar.

Bahkan menurut Rektor Universitas Nasional El Amry Bermawi Putera, Yuddy yang pada 29 Mei 2015 genap berusia 47 tahun, merupakan Guru Besar termuda di Universitas Nasional dan tercatat sebagai Guru Besar ke-18 di universitas swasta tertua di Jakarta (Universitas Nasional berdiri sejak 15 Oktober 1949).

Sebelum Yuddy, anggota Kabinet Kerja pada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla yang telah bergelar Guru Besar adalah Menko Kemaritiman Prof Dr Indroyono Soesilo, Menteri Sekretaris Negara Prof Dr Pratikno, Menteri Keuangan Prof Dr Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, Menteri Kesehatan Prof Dr dr Nila Djuwita F Moeloek, SpM (K), Menteri Pendidikan Tinggi dan Ristek Prof Dr M Nasir, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Prof Dr Yohana Susana Yembise.

Yuddy dikenal luas sebagai politisi Partai Hanura dan sebelumnya pernah bergiat pula sebagai politisi Partai Golkar, bahkan sempat menjadi anggota DPR RI. Tidak banyak yang mengenal putra pasangan Yees Chrisman Tisnaamidjaya (alm) dan Tien-Tien Yuniartiny sebagai tokoh yang menekuni bahkan berkarier di institusi pendidikan tinggi, sebagai dosen Universitas Nasional.

"Memang publik tidak banyak yang tahu karier akademik saya," kata Yuddy.

Selepas lulus dari Fakultas Ekonomi, Jurusan Manajemen Universitas Padjadjaran 1986--1991, Yuddy mengaku sempat putus asa meneruskan strata-II Program Studi Ilmu Ekonomi Manajemen Keuangan, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1994--1997.

Kendala biaya kuliah dan keinginan membantu biaya orang tua, sempat membayangi Yuddy yang tercatat selalu menjadi Ketua Kelas sejak kelas VI SD hingga kelas III SMA. Yuddy bersikeras untuk kuliah dan lulus dari program pascasarjana itu.

Pria yang dikaruniai seorang putri Ayesha Fatma Nandira dari istrinya Velly Elvira itu kemudian menjadi dosen di Universitas Nasional setelah lulus dari program S-II pascasarjana UI, pada 1995 dan setahun kemudian diangkat menjadi dosen tetap.

Di dunia kampus, Yuddy mengaku menemukan kebahagiannya. Idealisme dalam pemikirannya sebagai seorang akademisi terjaga lantaran dirinya bisa terus berinteraksi dengan mahasiswa.

Ia mengaku sangat bangga mengajar di perguruan tinggi yang didirikan oleh sejumlah tokoh nasional, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, HB Jassin, Soemitro Djojohadikusumo, R. Teguh Suhardho Sastrosoewignjo, Soedjono Hardjosoediro, Sarwono Prawirohardjo, Prajitno Soewondo, Hazil, dan Kwari Kartabrata, RM Djoehana Wiradikarta, RM Soebagio, Ny. Noegroho, Adam Bachtiar, Bahder Djohan, Leimena, Abd Karim, Soetomo Tjokronegoro, Ali Budiharjo, Poerwodarminta, Soetikno, A Resink,  Noegroho, Soejatmiko, Mochtar Avin, L Damais, M Akbar Djoehana, Nona Boediardjo, dan Nona Roekmini Singgih.

Setelah meneruskan program doktor dan terus mengajar, pada tahun 2000 Yuddy menjabat sebagai Lektor Kepala di Universitas Nasional.

Pada pertengahan 2011 Yuddy memperoleh kesempatan penilaian atas kajian ilmiah, hingga akhirnya ditawari mengikuti seleksi majelis guru besar Universitas Nasional pada Januari 2012.

"Kajian saya mengenai 'political engineering' berupa rekayasa politik elit untuk pembangunan jangka panjang diterima dan saya menjadi guru besar tingkat universitas. Hasilnya pun dibawa lagi ke Kopertis dan diseleksi selama setahun, namun ternyata kala itu jurnal yang mengantarkan saya sebagai guru besar tingkat universitas  dinilai sudah ketinggalan zaman karena sudah terlalu lama," kata Yuddy.

Dia lalu membuat penelitian baru bekerjasama dengan akademisi Malaysia mengenai hubungan Indonesia-Malaysia yang kerap terjadi konflik lantaran ada ego masing-masing negara. Hasil penelitian itu lalu dikerucutkan pada penelitian terkait pecahnya Golkar dan terbentuknya sejumlah partai baru seperti Gerindra, Hanura, dan NasDem.

Hingga akhirnya Yuddy dianugerahi gelar Guru Besar bidang Ilmu Pembangunan Ekonomi Industri dan Kebijakan Publik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Nasional. "Jadi gelar Profesor, Guru Besar yang saya peroleh tidak datang tiba-tiba," kata Yuddy.

                                                         Rekayasa Politik
Pada pengukuhan gelar Guru Besar itu, Yuddy menyampaikan hasil kajiannya soal rekayasa politik atau "political engineering" berjudul Pembangunan Ekonomi Industri dan kebijakan Publik untuk Kesejahteraan Rakyat.

Dalam pandangan Yuddy, sekalipun Indonesia telah memiliki semua jenis industri, mulai dari industri ekstraktif hingga industri yang berbasiskan teknologi tinggi, tetapi dalam mengambil pilihan industri yang akan dikembangkan harus rasional. Dalam hal ini perlu dilakukan "political engineering" pembangunan ekonomi industri yang berorientasi jangka panjang, dengan inisiatif pemimpin tertinggi pemerintahan  untuk mengajak para pemimpin politik dan pemimpin pemerintahan lainnya membuat kesepakatan tentang rencana pembangunan ekonomi industri Indonesia masa depan.

Rekayasa politik diperlukan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat dan terhormat di tengah pergaulan antarbangsa di dunia, dan memberikan kemakmuran seluas-luasnya bagi rakyat.

Pada acara pengukuhan yang dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, sejumlah menteri Kabinet Kerja, dan pimpinan partai serta politisi itu, Yuddy mengungkapkan, industri yang dikembangkan bukan untuk mengejar ketertinggalan atau bertarung  dengan negara-negara industri terkemuka dunia (Top 10 Technology Oriented Countries) seperti Jepang, AS, Jerman, dan Kanada. Namun Indonesia harus berani mengambil keputusan, untuk mengembangkan industri yang memiliki keunggulan komparatif.

Menurut pria kelahiran Bandung 29 Mei 1968 itu, pembangunan ekonomi industri seharusnya berbasis pada keunggulan komparatif lokal atau kewilayahan yang menekankan pentingnya kelestarian lingkungan hidup dalam pemanfaatan sumber daya alam sebagai material produksi.

Pemikiran Yuddy itu tak lepas dari  kenyataan bahwa saat ini bangsa Indonesia tengah dihadapkan pada sejumlah tantangan dalam menyukseskan pembangunan nasional. Tantangan itu terutama kesenjangan sosial yang makin melebar, tekanan kompetisi global, kerawanan pangan dan energi, dekaadensi moral dan karakter serta jeratan hutang dan krisis moneter. Untuk menjawab tantangan itu diperlukan solusi strategis dengan melakukan restorasi berbagai hal penting dalam mengimplementasikan pembangunan ekonomi industri yang mensejahterakan.

Solusi strategis itu setidaknya terdiri atas lima hal. Pertama, mengubah paradigma pembangunan ekonomi yang lebih seimbang dari propasar (produsen) menjadi prorakyat (konsumen). Kedua, memprioritaskan pembangunan sektor pendidikan; Ketiga, mengembangkan pertanian/perikanan dan pengolahan energi terpadu. Adapun keempat, adalah keteladanan pemimpin yang berintegritas dari Presiden hingga pejabat birokrasi terendah, serta kelima, efisiensi penggunaan anggaran serta membangun gerakan penghematan nasional.

Ada pun untuk merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi nasional, diperlukan paling tidak delapan langkah. Pertama, perlunya model kebijakan pemberdayaan ekonomi dari bawah ke atas (bottom up), yang menasional sehingga bisa menjadi salah satu pilar penyangga kekuatan ekonomi nasional dengan mengembangkan industri berbasis keunggulan lokal/ daerah/ wilayah.

Kedua, Kebijakan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui kebijakan yang mendapat dukungan dari seluruh pemangku kepentingan dari struktur pemerintah di tingkat bawah sampai pusat, baik dari aspek identifikasi, perencanaan program sampai pada perancangan program secara terpadu, tetapi dinamis.

Ketiga, pemberdayaan ekonomi masyarakat, industri rumah tangga atau industri kecil â menengah pada karya (labour intensif), yang menitikberatkan potensi lokal, pengelolaan sumber daya alam dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan, pendampingan pemerintah, serta mendesak penyertaan dana corporate social responsibility (CSR), baik dari BUMN maupun swasta.

Keempat, pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan nasional bukan menjadi ukuran akhir menilai keberhasilan pembangunan, tetapi lebih pada mengukur kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan "propoor", "projob" dan "progrowth".

Kelima, perlunya pendirian bank yang mengelola keuangan khusus untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, seperti petani, nelayan, buruh, serta kegiatan usaha kecil rakyat, yang merupakan 40 hingga 50 persen kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Karena itu, pembangunan ekonomi Indonesia tidak cukup dengan mengejar tingkat pertumbuhan gross domestic production (GDP). Sudah saatnya ditetapkan kebijakan pembangunan yang secara eksplisit merumuskan berapa bagian dari target pertumbuhan GDP yang akan disumbangkan oleh kelompok masyarakat berpendapatan rendah.

Keenam, adanya daya dukung yang cukup, ketersediaan energi terbarukan yang ramah lingkungan, agar pembangunan eknomi industri dapat berkelanjutan bagi kepentingan generasi mendatang, dan tidak merusak lingkungan di mana masyarakat berada.

Ketujuh, pemerintah perlu segera memiliki "blue print" pembangunan industri berjangka panjang sebagai payung, target dan ke mana arah pembangunan ekonomi industri yang memberikan jaminan kesejahteraan rakyat.

Kedelapan, strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi sangat ditentukan oleh faktor-faktor pentingnya pemerintah yang bersih dan kuat (clean and strong government), penegakan hukum (law enforcement) dan kestabilan politik dalam negeri.

Pemerintah berkomitmen membangun Indonesia lebih baik, berwibawa, mandiri, demokratis, meningkatkan pembangunan ekonomi demi terciptanya Indonesia Indonesia yang kuat dan makmur, yang dirumuskan sebagai Nawacita.

Nawacita ini mendorong lahir kebijakan ekonomi kesejahteraan sosial melalui penguatan pembangunan yang tidak hanya bertumpu pada wilayah perkotaan, tetapi juga wilayah pedesaan dan daerah-daerah pelosok.

Selain itu, juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing produk Indonesia di pasar internasional, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, serta melakukan revolusi mental agar Indonesia mampu bersaing dengan dunia internasional dalam segala hal.

Kini saatnya Indonesia menata strategi pembangunan ekonomi industri yang lebih realistis, yang lebih rasional dan dapat dengan cepat mencapai tujuan-tujuan nasional bangsa Indonesia yaitu kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan kata lain, apapun strategi pembangunan ekonomi industri yang dikembangkan, pada akhirnya harus dilihat dalam perspektif kesejahteraan rakyat.

Selain menyampaikan selamat, Wapres Jusuf Kalla saat memberikan kata sambutan mengatakan Yuddy Chrisnandi sebagai anggota kabinet yang mengurus peningkatan peran aparatur sipil negara dan birokrasi memiliki konsekuensi dalam membuat kebijakan. Menurutnya, kebijakan yang diambil jangan sampai salah karena mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai Menteri dan Guru Besar.

Jusuf Kalla menilai Yuddy merupakan sosok yang konsisten, karena selain aktif dalam berpolitik, juga aktif sebagai pengajar.