Bayarlah Jurnalis dengan Upah Layak

id Upah Layak Jurnalis

Jakarta (ANTARA Lampung) - Peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2015 masih menyisakan cerita miris soal kesejahteraan jurnalis, hak jurnalis, dan juga timpangnya relasi antara jurnalis dengan perusahan media tempatnya bekerja. Tahun lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menetapkan upah layak jurnalis setingkat reporter dengan status karyawan tetap pada tahun pertama sebesar Rp6.510.400. Angka tersebut dipandang sebagai standar upah layak bagi jurnalis di Jakarta agar jurnalis bisa melaksanakan tugas jurnalistiknya secara lebih profesional.

Faktanya, berdasarkan survei upah AJI Jakarta akhir tahun 2014, banyak media tak menggaji karyawannya sesuai dengan standar upah layak tersebut. Dalam survei AJI tahun lalu, rata-rata perusahaan media hanya menggaji jurnalis dengan pengalaman satu tahun di kisaran Rp3 juta hingga Rp4 juta per bulan. Upah sebesar ini terjadi di media online, televisi, hingga media cetak.

Selain rendah, kenaikan upah jurnalis di Jakarta setiap tahun sangat rendah. Dari 46 perusahaan media yang disurvei akhir tahun lalu, rata-rata upah jurnalis hanya naik tiga persen pada 2014 dibandingkan 2013. Padahal, upah minimum provinsi di Jakarta mengalami kenaikan sembilan persen pada periode tersebut.

Penetapan upah layak di setiap perusahaan menjadi penting agar wartawan bisa menjalankan kerja jurnalistik dengan profesional. Rendahnya tingkat kesejahteraan jurnalis membuat pekerja media ini rentan tergoda menerima atau meminta amplop atau gratifikasi dari narasumber. Kondisi ini tentu membahayakan kebebasan pers karena jurnalis mudah dikendalikan oleh pihak tertentu atau tidak independen. Padahal, wartawan seharusnya bekerja secara independen dan mengabdi pada kepentingan publik. AJI Jakarta sependapat bahwa upah yang rendah bukan sebuah alasan bagi jurnalis untuk melanggar kode etik jurnalistik, namun perbaikan upah dan tingkat kesejahteraan jurnalis juga tidak bisa dikesampingkan oleh perusahaan media.

Berdasarkan riset AJI Jakarta, rasio pengeluaran perusahaan untuk menggaji pekerja media masih rendah. Jawa Pos, misalnya, hanya mengalokasikan delapan persen dari total pengeluaran untuk menggaji pekerja media mereka. Sedangkan Tempo Media Grup hanya mengalokasikan angka sebesar 12,39 persen pada 2012. Begitupula MNC grup dan SCTV grup (Elang Mahkota Teknologi) di bawah 10 persen. Kondisi ini sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan di Malaysia (Star Publication) yang mengalokasikan angka 18,3 persen, Singapore Press Holding 29,3 persen dan Fairfax Media Australia 37,12 persen.

Fakta lainnya, AJI Jakarta melihat konvergensi media tidak memberi balasan setimpal bagi jurnalis dan para pekerja media pada umumnya. Konversi media cetak dengan media digital menambah beban kerja jurnalis dan pekerja media karena harus memenuhi kebutuhan konten untuk lebih dari satu media. Sedangkan jurnalis dan pekerja media tidak mendapatkan tambahan imbalan dari pekerjaan ekstra tersebut. Catatan lain, karya jurnalistik yang dibuat untuk suatu media, dapat digunakan di berbagai media di lingkungan sebuah grup media, sehingga jurnalis semakin kehilangan nilai tambah atas beritanya.

Tak hanya soal kesejahteraan, jurnalis perempuan belum sepenuhnya memperoleh hak sebagai pekerja berdasarkan Undang Undang Ketenagakerjaan. Hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di tujuh kota pada 2012 dengan 135 responden jurnalis perempuan menunjukkan 64,02 persen perusahaan media tidak memberikan cuti haid. Hanya 35,98 persen yang sudah menyosialisasikan peraturan ini kepada karyawannya. Banyak jurnalis perempuan tidak memanfaatkan cuti haid karena tak tahu hak cuti itu ada. Sebanyak 8,47 persen perusahaan media bahkan tidak memberikan cuti melahirkan bagi jurnalis perempuan. Survei ini juga menunjukkan 81,48 persen perusahaan tidak menyediakan ruang menyusui di kantor. Masalah lainnya, 51,8 persen jurnalis perempuan belum mendapatkan fasilitas peliputan di malam hari. Padahal, perusahaan media kerap menuntut jurnalis bekerja hingga larut malam.

Perlindungan terhadap jurnalis pemula juga perlu mendapatkan perhatian. AJI Jakarta menemukan ada beberapa perusahaan media menyita ijazah jurnalis yang baru direkrut hingga lima tahun. Jurnalis diikat "loyalitasnya" dengan dipaksa menyerahkan ijazah. Dengan begitu, jurnalis mesti bekerja di perusahaan itu selama lima tahun untuk menghindari denda puluhan juta rupiah. AJI menilai praktik itu melanggar Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pasal 23 ayat 1 tentang kebebasan memilih pekerjaan.

AJI juga menemukan perusahaan mempersulit jurnalis menjadi karyawan tetap. Akibatnya,  jurnalis pemula 'dipaksa' bekerja dengan upah, fasilitas dan jaminan hidup terbatas karena status kontrak selama bertahun-tahun. Setiap kali kontrak habis selalu diperbarui, sehingga karyawan tidak pernah menjadi karyawan tetap. Padahal menurut Undang Undang Ketenagakerjaan, pekerjaan jurnalistik bagi perusahaan media adalah pekerjaan inti, sehingga dilarang untuk dikontrak dalam waktu lama dan di-alihdayakan atau di-outsourcing.

Berbagai kondisi di atas tentu tidak menggembirkan. Sebab itu, dalam aksi May Day 2015, AJI Jakarta mendesak perusahaan media menghilangkan praktik-praktik hubungan kerja yang melanggar undang-undang.

Berkaitan dengan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2015, AJI Jakarta menyatakan:
1.       Mendesak perusahaan media menggaji jurnalis dengan standar upah layak agar mereka lebih profesional dan menghasilkan karya jurnalistik berkualitas.

2.       Mendesak perusahaan media mengakhiri praktik kontrak kerja yang tidak adil dan bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan. Sebaliknya, perusahaan media segera menetapkan jurnalis yang telah menjalani kontrak lebih dari satu tahun menjadi karyawan tetap dengan tingkat kesejahteraan dan upah yang lebih baik.

3.       Mendesak perusahaan media memberikan kompensasi tambahan bagi pekerja media akibat bertambahnya beban kerja dalam sistem konvergensi media dan integrasi ruang redaksi (news room).

4.       Mendesak perusahaan media memenuhi hak-hak jurnalis perempuan yang telah diatur di dalam peraturan ketenagakerjaan.

5.       Mendesak perusahaan media memberlakukan sistem rekrutmen yang adil kepada para jurnalis pemula, antara lain tidak menahan ijasah jurnalis dengan alasan “menjaga” loyalitas maupun pembengkakan biaya pendidikan atau training kepada jurnalis pemula karena langkah tersebut jelas melanggar peraturan ketenagakerjaan.

Jakarta 1 Mei 2015

Ahmad Nurhasim, Ketua AJI Jakarta
M. Irham, Sekretaris AJI Jakarta
Guruh Riyanto, Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta