Pemerintah Diminta Hati-hati Pilih Pansel Pimpinan KPK

id Pansel KPK

Jakarta (ANTARA Lampung) - Pemerintah diminta untuk berhati-hati dalam memilih panitia seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Pemerintah harus melakukan 'tracking' terhadap calon anggota pansel. Mulai dari SMU sampai sarjananya, tempat bekerja sampai sekarang. Apakah ada 'problem' baik dalam KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dan masyarakat. Apa punya kasus hukum dan sebagainya sehingga dengan 'track record' bisa diketahui pansel itu berisi individu yang betul-betul berintegritas, profesional, kompeten, dan berperilaku yang baik," kata mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (18/4).

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly pada Maret 2015 menyatakan Presiden Joko Widodo berniat untuk membentuk pansel pimpinan KPK untuk memilih lima pimpinan yang akan menyelesaikan jabatannya pada Desember 2015.

Pansel KPK sebelumnya sudah memilih dua calon pimpinan KPK yaitu mantan komisioner KPK Busyro Muqoddas dan mantan Kepala Bidang Hubungan Internasional Sekretaris Kabinet Robby Arya Brata.

"Sehingga ketika pansel memilih pimpinan KPK seakan-akan memilih diri sendiri," tambah Abdullah.

Abdullah adalah penasihat KPK periode 2005--2013. Ia juga pernah mengikuti seleksi pimpinan KPK pada 2011, tapi tidak terpilih.

"Pengalaman saya periode sebelumnya, seleksi ada beberapa kelemahan. Dalam proses seleksi saya menemukan anggota pansel kurang eksplorasi anatomi korupsi, bentuk perundang-undangan korupsi baik UU Tindak Pidana Korupsi, UU 'money laundering', maupun yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dan KKN," jelas Abdullah.

Selanjutnya, Abdullah juga menilai bahwa waktu yang diberikan untuk menelusuri latar belakang calon pimpinan KPK terlalu singkat.

"Info dari masyarakat, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, PPATK dan media tidak optimal. Waktu 'tracking' harus lebih lama, minimal satu bulan sehingga pansel menerima semua info betul-betul seluruhnya, tidak seperti Abraham samad yang (kasusnya terjadi pada) 2007 atau BW (Bambang Widjojanto) yang terjadi pada 2010," tambah Abdullah.

Dua pimpinan KPK periode ketiga diberhentikan sementara oleh Presiden Joko Widodo karena menjadi tersangka. Pertama adalah Ketua nonaktif KPK Abraham Samad yang menjadi tersangka pemalsuan dokumen pada 2007 di Polda Sulawesi Selatan dan Barat dan Bambang Widjojanto yang menjadi tersangka kasus dugaan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010.

"Saya sudah usulkan pimpinan lembaga negara yaitu presiden, wakil presiden, anggota DPR, bupati, wali kota harus di-scanning otaknya, sehingga bisa ditemukan ada atau tidak potensi melakukan penyelewengan. Paling tidak saat proses akhir. Kalau pimpinan KPK ada lima orang, maka 10 orang calon di-scanning. Memang agak mahal biayanya tapi lebih baik keluarkan uang lebih mahal ketimbang sudah menjadi pimpinan malah uang negara yang diambil," kata Abdullah.

Usulan Abdullah lain adalah agar keputusan terakhir pengangkatan pimpinan KPK bukan di tangan DPR, sebaliknya DPR hanya mengesahkan nama-nama yang diusulkan.

"Saya usulkan semua pimpinan KPK dan lembaga negara lainnya tidak lagi dipilih DPR. DPR hanya menetapkan menerima atau menolak, jadi seperti panglima TNI dan Polri, sebab DPR adalah lembaga politik. Lembaga politik maka kepentingan politik di situ. Seperti kasus AS dan BW, anggota DPR tahu itu tapi kenapa tidak dipersoalkan. Berarti ini jadi 'bargaining position'," ujar Abdullah lagi.

Dengan kondisi itulah maka orang-orang yang terpilih menjadi pimpinan KPK menjadi bom waktu.

"Orang-orang ini dipilih dijadikan bom waktu. Saya usulkan mungkin pada 2019 pimpinan KPK baru sudah tidak lagi 'fit and proper'. Pansel itu yang betul-betul mencari yang 'the best'," katanya pula.