Apa Kabar Film Laga Indonesia?

id Film Laga Indonesia

Jakarta (ANTARA Lampung) - Jaka Sembung, Si Buta dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, Sri Asih, Wiro Sableng, Gundala, hingga Pendekar Tongkat Emas merupakan tokoh jagoan dalam cerita yang sering muncul pada tahun 1980-an.

Nasib industri perfilman Indonesia sedang lesu, dalam arti sudah tidak banyak karya "original" yang diproduksi banyak, apalagi genre laga.

Karena keprihatinan tersebut muncullah film dokumenter yang berjudul "Garuda Power: The Spirit Within".

"Film ini merupakan refleksi dari perjalanan perkembangan film laga di Indonesia hingga saat ini," kata produser film "Garuda Power: The Spirit Within" Dimas ketika berdiskusi tentang proses film.

Pada dasarnya film ini menampilkan zaman kejayaan film laga di Indonesia, zaman keterpurukan, hingga keadaan industri film laga saat ini.

Ditampilkan film laga pertama pada zaman Hindia Belanda, yaitu "Loetoeng Kasaroeng" (1926) karya G. Kruger dan L. Heuveldorp.

Kemudian, sejarah berlanjut ke film buatan pengusaha keturunan Tionghoa, Teng Chun, berjudul "Tie Pat Kai Kawin" (1935), dan sutradara Tan Tjoei Hock dengan judul "Tengkorak Hidoep" (1941).

Sampai akhirnya tergeraklah bangsa Indonesia membuat film laga sendiri karya Usmar Ismail yang berjudul "Darah dan Doa" (1950).

Menurut narasi film "Garuda Power", masa keemasan film laga Indonesia berawal pada tahun 1970-an.

Pada era tersebut film laga diproduksi besar-besaran oleh para importir, dengan kebijakan, setiap satu film luar negeri yang diimpor, Indonesia harus memproduksi setidaknya dua film lokal.

Industri bioskop makin ramai dengan adanya aturan tersebut. Namun, sayangnya dari sinilah kelemahan perfilm Indonesia terlihat.

Karena tuntutan kebijakan, akhirnya banyak film yang digarap secara asal-asalan demi tercapainya kuota target film lokal.

"Pada waktu itu, gerakan-gerakan laga, kemudian 'gimik' aktor hingga alur cerita semuanya terpengaruh oleh budaya luar," kata Dimas.

Dalam narasi diceritakan bahwa tokoh Bruce Lee menjadi kiblat semua gerakan laga pada tahun itu, bahkan aktornya pun dicari yang semirip mungkin.

Hal ini menunjukkan Indonesia seperti kehilangan ciri khasnya, padahal Indonesia mempunyai gerakan bela diri, seperti pencak silat, tapak suci, dan gerakan-gerakan khas lainnya.

Belajar dari masa 'sontek-menyontek' tersebut, industri film laga berusaha membangkitkan tokoh dan gerakan lokal.

Salah satunya adalah mengangkat cerita komik dan novel laga lokal menjadi sebuah film.

Film yang diberi judul "Jaka Sembung Sang Penakluk" produksi 1981 itu menceritakan Jaka Sembung yang diperankan oleh Barry Prima dengan ilmunya Rawa Rontek.

Jaka Sembung pun dikenang sepanjang masa oleh banyak orang hingga ke generasi sekarang yang mungkin mereka tidak tahu jalan cerita aslinya, tetapi hanya mengenal "sang pahlawan" karena warisan cerita dari orang tua mereka atau dari versi filmnya.

Strategi tersebut dianggap berhasil mengangkat kearifan budaya lokal oleh beberapa pengamat, terlepas dari kontroversi perbedaan cerita versi novel dan filmnya.

                                               Krisis Aktor
Ketika pada masa kejayaan film laga, secara otomatis akan melahirkan pula tokoh yang membintangi film tersebut.

Sebut saja Barry Prima, George Rudy, Advent Bangun, dan Teddy Purba (Gundala), mereka adalah aktor laga yang terkenal dari perannya.

Namun, karena popularitas mereka, seakan regenerasi tidak diimbangi dengan baik.

Dalam narasi film, Barry Prima mengatakan bahwa hanya orang-orang tertentu yang dipercaya memainkan peran laga, sisanya memainkan film biasa.

"Mungkin karena butuh keahlian dan figur yang benar-benar pas selain jago beladiri, muka kan juga pantas dipertimbangkan dalam sebuah film," kata Barry Prima dalam narasi "Garuda Power" yang diiringi dengan ketawa.

Beberapa rumah produksi pernah mencoba aktor-aktor laga baru, namun hasilnya tidak sebesar ketika dibintangi tokoh-tokoh laga lama.

Selain minim aktor, cerita yang mudah ditebak, makin membuat film laga kehilangan "jati diri"-nya.

Akhirnya, Rapi Film mengundang bintang laga Hollywood, Chintya Rothrock, untuk mengurangi kejenuhan penonton.

Pada film pertamanya "Lady Dragon" penonton makin banyak peminatnya kembali.

Namun, karena bekerja sama dengan pihak luar negri, termasuk penataan cerita dan setting, pergeseran genre terjadi.

Pada tahun 1980-an hanya sekitar empat film laga yang dihasilkan oleh Indonesia. Padahal, sebelumnya pada tahun 1970-an sekitar 30 film lebih bisa diproduksi.

Pada tahun itulah film laga mulai kehilangan penonton, cerita, hingga penggemarnya.

Menurut narasi, era tersebut mulai muncul film bertema erotis yang menonjolkan sisi cerita sensual.

Didukung industri film yang menuruti pasar maka keadaan budaya menonton film sudah berubah.

                                            Bangkit Lagi?
Mulai 2009 muncul film laga "Merantau" yang dibintangi oleh Iko Uwais. Tanggapan penonton ternyata masih memiliki antusias yang besar terhadap film laga.

Kemudian, Iko Uwais seakan menjadi figur Barry Prima modern dengan membintangi film "The Raid" hingga "The Raid 2 : Berandal" yang menurut data, film tersebut masuk 20 besar Box Office Amerika.

Selain itu, ada aktor "The Raid" Joe Taslim yang juga membintangi film sekuel Hollywood "Fast and Forius".

Hal tersebut merupakan sebuah prestasi besar bagi perfilman Indonesia.

Namun, bagi para kritikus film, hal tersebut belum dapat dibilang membanggakan dunia film laga Indonesia.

"Saya kira awalnya 'The Raid' memang menjadi tonggak kebangkitan film laga. Namun, ternyata tidak," kata Wakil Atase Budaya Institut Prancis di Indonesia (IFI) Dimas Jayasrana.

Menurut dia, kesuksesan "The Raid" hanyalah kesuksesan semu karena hanya film itu saja yang menjadi andalan Indonesia.

"Saya anggap suskses apabila setelah itu muncul hegemoni tentang film laga lainnya yang diminati penonton karena aksinya bukan isu serta visual effect," ujarnya.

Selain Dimas, Djair Warniponakanda pencipta karakter Jaka Sembung juga berpendapat bahwa masyarakat sekarang tidak memiliki karakter asli tokoh "superhero" lagi.

Oleh sebab itu, harus ada tokoh yang sangat kuat karakternya sebagai orang Indonesia agar dapat menarik perhatian masyarakat, bukan hanya artistik efek saja.

Dia adalah sosok yang telah menciptakan berpuluh-puluh cerita beserta karakternya, seperti Jaka Sembung, Jaka Geledek, Si Tolol, Raja dari Raja-Raja Pedang, dan Trio AIN.

Menurut komikus yang suka menulis cerita silat itu, ide untuk menciptakan tokoh-tokoh pahlawan super selalu ada pada setiap pengarang. Namun, untuk membuatnya jadi nyata, dibutuhkan sineas yang mengangkatnya menjadi sebuah film.

"Akan tetapi, apakah sineas Indonesia telah mampu mengangkat cerita-cerita laga tersebut menjadi nyata? Kalau kemampuannya cuma 'nanggung-nanggun', seperti visual efeknya belum bisa mendukung jalannya cerita, nanti jadinya norak," kata dia.