Penderitaan Di Balik Produk Supermurah Tiongkok

id produk Tiongkok

Penderitaan Di Balik Produk Supermurah Tiongkok

Pekerja di Tiongkok (China Foto Press/chinabusinessreview.com)

Sepucuk surat dalam paket dekorasi Helloween menyelip dan memberitahukan derita praktisi Falun Gong yang dipenjara di tahanan kerja paksa (Laogai) Masanjia, Tiongkok, sampai dimanfaatkan menjadi "mesin uang" penopang ekonomi Negeri Tirai Bambu.
        
Tidak pernah ada yang menyangka jika surat permintaan pertolongan (SOS) tersebut diselipkan oleh pekerja paksa dalam bungkus produk. Secarik kertas itu tanpa pernah diduga siapapun ikut terbawa bersama produk ekspor melintasi samudera dari Negeri Tirai Bambu menuju Negeri Paman Sam, Amerika Serikat, sekira 5.000 kilometer jauhnya.
        
Sepucuk surat SOS tersebut kemudian membuka mata dunia terdapat tahanan Laogai di Masanjia yang memperlakukan tahanan dengan tidak manusiawi tapi dieksplotasi tenaganya untuk memproduksi barang bernilai ekonomi.
        
Setidaknya, surat itu menjadi sepenggal fakta yang disampaikan dalam film dokumenter "Tears and Blood Behind Made in China" (Air Mata dan Darah di Balik Produk Tiongkok).
        
Surat SOS tidak akan mungkin diselipkan jika tidak ada sebab. Alasan "penyelundupan" surat itu lantaran tidak kuatnya seorang tahanan kerja paksa atas eksploitasi berlebihan, siksaan, beban kerja dan perlakuan tidak manusiawi lainnya dari polisi di dalam Laogai.
        
Laksana surat botol, dia berharap selundupan surat itu akan bisa dibaca oleh siapa saja yang membuka paket itu.
        
Dikatakan eksploitasi berlebihan, lantaran pekerja paksa bekerja laksana budak dengan jam kerja selama 21 jam per hari sepanjang tahun. Sementara bayaran yang didapat hanya 10 yuan per bulan atau setara Rp20 ribu atau tidak setara dengan jerih payah para tahanan Laogai.
        
Menjadi rasional apabila produk Tiongkok menjadi sangat murah di pasaran lantaran ongkos produksinya dapat ditekan. Efisiensi dengan memaksa dan menyiksa pekerja dengan bayaran yang jauh di bawah standar.
        
Salah satu efisiensi produksi itu nampaknya berasal dari air mata dan darah para tahanan yang harus terus bekerja demi menghindari siksaan ataupun maut yang mencancam.
        
Terdapat 15 jenis siksaan yang mengancam apabila tahanan Laogai bekerja di bawah target. Jika mereka sedang sakitpun tetap dipaksa bekerja, atau jika tidak mau akan disiksa.
        
Nahasnya, bagi tahanan perempuan bisa diperkosa beramai-ramai tahanan lainnya. Tahanan laki-laki belum tentu mau melakukannya tapi apa daya memperkosa juga dikategorikan sebagai poin untuk mengurangi kuota beban kerja paksa di dalam Laogai.
        
Sederet daftar siksaan menghantui para pekerja paksa apabila mereka dianggap tidak patuh terhadap aturan di dalam Laogai, di antaranya disengat listrik, dipukuli, dicabuli dan jenis siksaan lainnya.
        
Siksaan itu juga ditujukan untuk mencuci otak para tahanan agar mengikuti ideologi komunisme Tiongkok. Dengan kata lain, mereka dipaksa menerima ideologi negara atau jika enggan maka disiksa.
        
Praktik Laogai di Tiongkok sendiri telah berlangsung lama atau sejak 1950-an saat Mao Zedong berkuasa.
        
Kerja paksa diterapkan sesuai amanat konstitusi negara itu untuk menyingkirkan pelaku kriminal sampai musuh-musuh politik Beijing, bahkan bagi mereka yang sekadar melakukan demonstrasi mengkritik pemerintah seperti jamak di Indonesia.
        
Laogai kerap menjerat pelaku hingga empat tahun penjara tanpa pengadilan. Jenis hukuman Laogai kerap mengundang kritik dari para aktivis HAM terutama dari Barat.
        
Otoritas Tiongkok sendiri belum kunjung menghapus sistem Laogai itu meski berulang kali menyatakan akan mereformasi sistem hukuman tersebut.
        
Banyak juga tahanan Laogai yang bunuh diri di dalam kamp kerja paksa karena tidak kuat terhadap tekanan mental. Sebagian, tewas perlahan-lahan di tengah ekspolitasi kerja tanpa asupan nutrisi cukup.

    
Lisa dan Laogai
   
Pewarta Antara sempat menemui salah satu penyintas Laogai, Lisa (perempuan) saat dirinya ada di Indonesia di tengah prosesnya mencari suaka. Kesaksian Lisa itu menjadi bukti bahwa film itu nyata.
        
Suaranya yang kecil membuat orang yang menemuinya tak menyangka dia telah berusia 35 tahun. Bertubuh subur juga mengaburkan masa lalunya saat berada di Laogai tanpa mendapatkan nutrisi yang layak dan cukup.
        
Kulitnya yang bersih juga bisa jadi mendustakan keadaan saat di Laogai, dia sering tidak mandi dua bulan berturut-turut dan terus dipaksa bekerja memproduksi aneka komoditi ekspor.
        
Dengan dibantu penerjemah, dia menuturkan prihatin dengan perlakuan pemerintah Tiongkok kepada praktisi Falun Gong seperti dirinya.
        
Dia ingin melawan tapi tidak bisa karena sadar yang dihadapinya adalah negara adidaya yang dikuasai Partai Komunis Tiongkok (PKT).
        
"Setelah pemutaran film ini terdapat gambaran apa yang terjadi di Tiongkok sana. Ini akan bermanfaat untuk kita bahwa terjadi pelanggaran HAM di Laogai, di balik penjara kerja paksa," katanya.
        
Lebih dari itu, terjadi pembohongan terhadap konsumen di seluruh dunia terkait produk murah Tiongkok yang sejatinya dibuat dari tangan para pekerja paksa.
        
Dari film Air Mata dan Darah di balik Produk Tiongkok tersebut disampaikan terdapat setidaknya 300 Laogai dengan 80 persennya diisi tahanan dari praktisi Falun Gong. Sementara sisanya merupakan Muslim Uighur/Xinjiang, pecandu narkoba, pelacur dan tahanan lainnya.
        
Falun Gong yang terus tumbuh, kata Lisa, justru dianggap mengancam komunisme yang menjadi paham negara Tiongkok. Dia tidak habis pikir, mengapa pemerintahannya dengan tangan polisi menangkapi, memenjara tanpa peradilan, dan memaksa bekerja dengan upah rendah para praktisi Falun Gong.
        
Pemerintah Tiongkok sampai saat ini juga belum menghentikan penganiayaan, penindasan, dan pelarangan terhadap pengikut Falun Gong.
        
Lisa membenarkan terjadinya sejumlah peristiwa di dalam film yang disutradarai oleh Xiaomu Qiao tersebut, lantaran dirinya menjadi saksi hidup saat ditahan selama empat tahun empat bulan di kamp kerja paksa Tiongkok.
        
Lisa seharusnya hanya ditahan selama empat tahun. Tapi dirinya mengaku penahanannya diperpanjang empat bulan tanpa alasan yang jelas.
        
Lisa menceritakan dirinya bersama tahanan lain memproduksi berbagai produk di Laogai itu, seperti pernak-pernik pohon Natal, mainan, barang elektronik dan produk lain yang biasanya menjadi komoditas ekspor Tiongkok.
        
Produk-produk ekspor tersebut juga diyakininya mendatangkan devisa serta menopang perekonomian nasional Negeri Tirai Bambu. Sementara itu pekerja paksa seperti dirinya tidak mendapatkan apa-apa selain bayaran kecil, penyiksaan dan tindakan diskriminatif lainnya.
        
Lisa mengatakan dirinya bersama sekitar 65 ribu praktisi spiritual Falun Gong telah ditangkap oleh pemerintah Tiongkok. Kini, dia dibebaskan dan lari dari negaranya setelah dibantu temannya.
      
Sementara itu, nahas bagi ibu dan kakak perempuan Lisa telah meninggal akibat disiksa di Logai.

    
Waspada Produk Tiongkok
   
Dokumenter berdurasi 34 menit itu memberi fakta-fakta di balik murahnya produk Tiongkok yang kini merajai pasaran sampai mematikan industri negara lainnya, termasuk Indonesia sendiri.
        
Fakta tersebut sekiranya akan sulit diperoleh dari media-media resmi. Data diperkuat hasil investigasi para wartawan internasional, analis Tiongkok serta praktisi Falun Gong yang sempat menjadi saksi hidup kejamnya Laogai.
        
Para tahanan Laogai juga kerap mengerjakan pengemasan produk steril seperti tusuk gigi, sumpit, makanan, minuman, termasuk susu formula dan produk lainnya.
        
"Memang ada tulisan steril di produk itu. Tapi kenyataannya kami mengerjakannya di lantai kotor, pekerjanya juga belum mandi sampai dua bulan dan para pelacur di Laogai dengan penyakit yang dibawanya ikut mengemas produk-produk steril. Bukan tidak mungkin berbagai bibit penyakit ikut terbawa dalam produk yang dilabel sebagai produk steril itu," kata Lisa.
        
Atas pertimbangan itu, Lisa meragukan kualitas produk murah negaranya. Dia meyakini jika terjadi pembohongan publik terbukti dengan produk-produk ekspor Tiongkok sering ada di bawah standar dan tidak aman.
        
Di Indonesia juga sempat beredar susu formula asal Tiongkok mengandung melamin yang tidak layak konsumsi serta membahayakan kesehatan.
        
Film peraih Award of Excellence dalam International Film Festival 2014 dan berbagai nominasi internasional itu diangkat dari kisah nyata menyentuh seluruh lapisan masyarakat internasional.
        
Tak dinyana, barang-barang yang dihasilkan dari kamp kerja paksa yang mengabaikan kebersihan, kesehatan dan keselamatan tahanan telah menyebar ke seluruh dunia.
        
Barang-barang ini bisa jadi adalah sumpit atau pembersih telinga yang banyak di pasaran, atau juga mainan yang disentuh oleh anak-anak di segala penjuru dunia.
        
Salah satu sebab kenapa produk-produk lokal yang diproduksi seefisien mungkin di sejumlah negara tetap kalah bersaing dengan produk supermurah dari Tiongkok yang sebagiannya diproduksi di balik Laogai.
        
Lisa dan film dokumenter mengajak masyarakat menghapuskan kamp kerja paksa, juga menentukan nasib dari ribuan produk-produk lokal di berbagai negara dalam bersaing dengan produk murah Tiongkok. Setidaknya, Lisa menjadi saksi bahwa film itu benar adanya (Anom Prihantoro0.