LBH Bandarlampung Sayangkan Kriminalisasi Tukang Sate

id Kasus Penghinaan Presiden Jokowi

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung menyayangkan kriminalisasi terhadap MA (24), pembantu pedagang sate yang ditahan karena dianggap menghina Presiden Joko Widodo.

Dia dituduh mengunggah foto editan gambar tak seronok wajah presiden serta beberapa hal lain yang dinilai mengandung unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

"Padahal menurut pengakuan MA, hal itu dilakukannya hanya iseng dan tidak tahu kalau akan berakibat pidana pada dirinya," ujar Kepala Divisi Pemenuhan Hak Sipil dan Politik LBH Bandarlampung, Ajie Surya Prawira, di Bandarlampung, Kamis (30/10). 

Ajie menyebut, MA merupakan korban ketajaman Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), mengingat MA menyatakan telah menyesali perbuatannya tersebut dan telah menyatakan permohonan maaf terbuka kepada Presiden Jokowi .

Selain itu, ibu kandung MA juga berulang kali melalui pernyataannya di media massa, memohon maaf kepada Presiden Jokowi agar melepaskan MA dari jeratan hukum.

"Sangat miris memang ketika awal kepemimpinan Presiden Jokowi yang notabene merakyat, tapi sebaliknya malah ada rakyat kecil yang dikriminalisasi hanya karena keisengan dan ketidaktahuan serta kepolosan atas perbuatannya di dunia maya yang dianggap telah melecehkan," ujar Ajie lagi.

Jika berbalik ke belakang selama 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, banyak sekali kritikan terhadapnya dan keluarganya salah satunya, ujar Ajie, adalah digambarkan dengan perumpamaan kerbau, akan tetapi SBY dan jajarannya menanggapinya tidak sampai ada yang ditahan atau dikriminalisasi.

"Sejak pertama kali dikeluarkan UU ITE sudah banyak menuai kritikan dari kalangan Akademisi, NGO , insan pers dan pengguna internet," kata dia lagi.

Ajie menyebutkan pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Ajie menjelaskan, maksud pembuat pasal 27 ayat (3) UU ITE tidaklah jelas, seperti terkait dengan apa itu mentransmisikan, mendistribusikan dan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak terjawab dengan metode penafsiran autentik, yaitu metode penafsiran pertama yang harus dilakukan dalam memahami isi hukum, karena penjelasan pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya menyatakan "cukup jelas".

Ketidakjelasan rumusan delik pada pasal 27 (3) UU ITE dan beberapa pasal Lain dalam UU ITE itu, menurut dia, bertentangan dengan prinsip dasar rumusan delik hukum pidana yang selain harus tertulis (lex scripta), juga harus jelas, tidak boleh multitafsir (lex certa) dan harus ketat serta tidak memberikan kemungkinan untuk ditarik diulur (lex stricta).

Berkaitan dengan itu, LBH Bandarlampung mendesak agar segera dilakukan penangguhan penahanan terhadap MA, demikian Ajie Surya Prawira.