Forum Lampung Untuk Demokrasi Terbentuk

id Forum Lampung untuk Demokrasi

Forum Lampung Untuk Demokrasi Terbentuk

Pelaksanaan Rembuk Demokrasi di Bandarlampung, Senin-Selasa (20--21/10), akhirnya menyepakati pembentukan Forum Lampung Untuk Demokrasi. (FOTO; ANTARA Lampung/Budisantoso Budiman)

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Setelah melewati rangkaian dialog intensif selama dua hari, akhirnya terbentuk Forum Lampung Untuk Demokrasi, yang disepakati oleh perwakilan organisasi masyarakat sipil/non-government organization (NGO), organisasi masyarakat, jurnalis/profesional, mahasiswa, dan sejumlah komunitas di Lampung.

Kesepakatan itu diputuskan dari hasil akhir Rembuk Demokrasi, di Bandarlampung, Selasa (21/10) sore, diikuti utusan sejumlah organisasi se-Lampung. Rembuk ini merupakan rangkaian kegiatan berseri yang berlangsung setidaknya selama setahun terakhir di Lampung melibatkan 40-an aktivis, praktisi/profesional dan akademisi serta mahasiswa dan wakil masyarakat Lampung dari 24 institusi tersebar pada delapan wilayah di daerah ini.

Rembuk yang bekerjasama dengan Yayasan Satunama Yogyakarta dan berlangsung sejak Senin (20/10) menyepakati pula Badan Pekerja Forum Lampung Untuk Demokrasi dari perwakilan unsur yang ikut dalam Rembuk Demokrasi ini, yaitu Nopi Juansyah, Sofian HD, Syarif Abadi, Hermansyah, Siti Nurfitriana, Maria Lumbangaol, Yuyun Dewi Cendana, Yoso Muliawan, Padli Ramdan, Iin Mutmainah, dan Agus Guntoro.

Pimpinan Badan Pekerja sementara itu adalah tiga orang dari mereka, yaitu Syarif Abadi, Nopi Juansyah, dan Yuyun Dewi Cendana.

"Kami akan segera bertemu lagi untuk menyusun agenda kerja serta pembahasan sejumlah isu politik nasional dan lokal yang perlu segera disikapi bersama," ujar Syarif Abadi dari Kantor Bantuan Hukum (KBH) Lampung.

Menurut dia, keberadaan forum ini diharapkan dapat menjadi pendorong penguatan demokratisasi secara utuh di Lampung dan memberikan kontribusi bagi pelaksanaan demokratisasi yang makin berkualitas di negeri ini.

Sebelumnya, dalam Rembuk Demokrasi ini, sejumlah isu global, nasional dan lokal khususnya di bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial menjadi bahasan dan kajian seluruh peserta.

Demokrasi di Indonesia berada di pusaran bahaya, pada satu sisi perkembangannya ditandai semakin menguat oligarki, namun pada sisi lain kekuatan prodemokrasi tidak kunjung terkonsolidasi, ujar Senior Coordinator (Building, Bridging and Strengthening Democracy) Yayasan Kesatuan Pelayanan dan Kerja sama (Satunama) Insan Kamil mengingatkan kondisi terkini perjalanan demokrasi di Indonesia.

"Ini adalah tantangan serius bagi kalangan civil society organizations (CSO) atau organisasi masyarakat sipil dalam upaya demokratisasi ke depan. Meski demikian CSO tidak boleh kehilangan akal apalagi tumbang dan lalu mati. CSO harus bangkit dan menampilkan diri sebagai kekuatan demokrasi yang sanggup mempengaruhi proses-proses politik," kata Kamil pula.

Pada banyak tempat, menurut dia, dalam pengalaman di daerah-daerah, demokrasi hanya digunakan oleh elit ekonomi-politik untuk merebut kekuasaan sekaligus kekayaan, dan ironisnya mereka memiliki kesempatan ini dengan menggunakan demokrasi dengan cara merebut posisi-posisi politik di pemerintahan (legislatif dan eksekutif) maupun partai politik.

Berkaitan itu, Yayasan Satunama bekerjasama dengan OMS di Lampung menggelar Rembuk Demokrasi selama dua hari, Senin hingga Selasa (20--21/10).

Kegiatan untuk menghadapi tantangan serius dalam kehidupan demokrasi di Indonesia mendatang itu, diikuti para aktivis di Bandarlampung, Lampung Selatan dan Waykanan, seperti dari Kantor Bantuan Hukum Lampung, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung, Komunitas Dongeng Dakocan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, LSM Damar, Jaringan Radio Komunitas (JRK) Lampung, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Lampung, Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bandarlampung, Serikat Hijau Indonesia Lampung Selatan, dan Pengurus Cabang Ansor Waykanan.

"Forum ini adalah bagian kecil dari upaya bangkit tersebut. Forum ini juga sebagai sarana meyakinkan diri, memupuk optimisme dan mengkonsolidasikan diri sebagai kekuatan politik demokratis yang tidak hanya bertujuan mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan publik, akan tetapi mulai berpikir dan bertindak atas dasar pertimbangan dan tujuan politik," ujarnya pula.

Forum dengan fasilitator aktivis dan praktisi di Lampung itu, menurut Kamil, memiliki tujuan dan target mereview Civic Education for Future Indonesian Leaders (CEFIL) yang telah diselenggarakan di Lampung sebagai upaya kaderisasi aktivis penggerak demokrasi di Lampung.

"Rembuk itu juga bertujuan menganalisa problem spesifik demokrasi di Lampung, mengenali peluang dan tantangan CSO sebagai penggerak demokratisasi di Lampung, menyusun agenda gerakan demokrasi di Lampung pasca-pelatihan CEFIL, mempersiapkan `helypad` atau landasan aksi bagi persiapan Komite Lampung untuk Demokrasi," katanya lagi.

Pada pelatihan CEFIL II atau intermediate pada September 2014 di Mlati, Sendangdadi, Sleman, Yogyakarta, akademisi sekaligus Indonesianis dari Victoria University, Australia Prof Dr Max Lane, mengingatkan masyarakat bangsa Indonesia harus memikirkan masa depan negerinya.

"Bagaimana masa depan Indonesia dan kenapa bangsa Indonesia tidak memiliki rasa urgensi adalah pertanyaan," kata Max yang sejak Nopember 2003 menjadi peneliti pada Departemen Penelitian Asia di Universitas Murdoch, Perth, Australia Barat.

Persoalan-persoalan di Indonesia, demikian Max yang menerbitkan berbagai monografi tentang masalah-masalah sosial-politik itu menegaskan, penting untuk segera diatasi.

"Pada awal-awal 1960, birokrasi di Indonesia mulai membaik, namun setelah itu tidak lagi," ujar Max yang menilai Soeharto terlalu lama mencengkeram Indonesia selama 32 tahun itu pula.

Menurut Max pula, rakyat perlu bangun kembali setelah dipaksa tidur selama 32 tahun oleh diktator yang 'diback up' militer.