Benarkah Demokrasi Indonesia Dalam Bahaya?

id Demokrasi di Indonesia

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Demokrasi di Indonesia berada di pusaran bahaya, pada satu sisi perkembangannya ditandai semakin menguat oligarki, namun pada sisi lain kekuatan prodemokrasi tidak kunjung terkonsolidasi, ujar Senior Coordinator (Building, Bridging and Strengthening Democracy) Yayasan Kesatuan Pelayanan dan Kerja sama (Satunama) Insan Kamil.

"Ini adalah tantangan serius bagi kalangan civil society organizations (CSO) atau organisasi masyarakat sipil dalam upaya demokratisasi ke depan. Meski demikian CSO tidak boleh kehilangan akal apalagi tumbang dan lalu mati. CSO harus bangkit dan menampilkan diri sebagai kekuatan demokrasi yang sanggup mempengaruhi proses-proses politik," kata Kamil, di Bandarlampung, Senin (20/10).

Pada banyak tempat, menurut dia, dalam pengalaman di daerah-daerah, demokrasi hanya digunakan oleh elit ekonomi-politik untuk merebut kekuasaan sekaligus kekayaan, dan ironisnya mereka memiliki kesempatan ini dengan menggunakan demokrasi dengan cara merebut posisi-posisi politik di pemerintahan (legislatif dan eksekutif) maupun partai politik.

Berkaitan itu, Yayasan Satunama bekerjasama dengan OMS di Lampung menggelar rembuk demokrasi di Bandarlampung selama dua hari, mulai Senin (20/10) hingga Selasa (21/10).

Kegiatan untuk menghadapi tantangan serius dalam kehidupan demokrasi di Indonesia mendatang itu, diikuti para aktivis di Bandarlampung, Lampung Selatan dan Waykanan, seperti dari Kantor Bantuan Hukum Lampung, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, LSM Damar, Jaringan Radio Komunitas (JRK) Lampung, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Lampung, Serikat Hijau Indonesia Lampung Selatan, dan Pengurus Cabang Ansor Waykanan.

"Forum ini adalah bagian kecil dari upaya bangkit tersebut. Forum ini juga sebagai sarana meyakinkan diri, memupuk optimisme dan mengkonsolidasikan diri sebagai kekuatan politik demokratis yang tidak hanya bertujuan mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan publik, akan tetapi mulai berpikir dan bertindak atas dasar pertimbangan dan tujuan politik," ujarnya pula.

Forum dengan fasilitator akademisi Unila Dr Wahyu Sasongko dan Redaktur Lembaga Kantor Beritan Nasional (LKBN) Antara Budisantoso Budiman itu, menurut Kamil, memiliki tujuan dan target mereview Civic Education for Future Indonesian Leaders (CEFIL) yang telah diselenggarakan di Lampung sebagai upaya kaderisasi aktivis penggerak demokrasi di Lampung.

"Rembuk itu juga bertujuan menganalisa problem spesifik demokrasi di Lampung, mengenali peluang dan tantangan CSO sebagai penggerak demokratisasi di Lampung, menyusun agenda gerakan demokrasi di Lampung pasca-pelatihan CEFIL, mempersiapkan `helypad` atau landasan aksi bagi persiapan Komite Lampung untuk Demokrasi," katanya lagi.

Pada pelatihan CEFIL II atau intermediate pada September 2014 di Mlati, Sendangdadi, Sleman, Yogyakarta, akademisi sekaligus Indonesianis dari Victoria University, Australia Prof Dr Max Lane, mengingatkan masyarakat bangsa Indonesia harus memikirkan masa depan negerinya.

"Bagaimana masa depan Indonesia dan kenapa bangsa Indonesia tidak memiliki rasa urgensi adalah pertanyaan," kata Max yang sejak Nopember 2003 menjadi peneliti pada Departemen Penelitian Asia di Universitas Murdoch, Perth, Australia Barat.

Persoalan-persoalan di Indonesia, demikian Max yang menerbitkan berbagai monografi tentang masalah-masalah sosial-politik itu menegaskan, penting untuk segera diatasi.

"Pada awal-awal 1960, birokrasi di Indonesia mulai membaik, namun setelah itu tidak lagi," ujar Max yang menilai Soeharto terlalu lama mencengkeram Indonesia selama 32 tahun itu pula.

Menurut Max pula, rakyat perlu bangun kembali setelah dipaksa tidur selama 32 tahun oleh diktator yang `diback up` militer.