Ketika Rokok Mulai Incar Perempuan

id Ketika Rokok Mulai Incar Perempuan, Tembakau, Isap, Menghsap, Nudut, Pemyakit, Kankare

 Ketika Rokok Mulai Incar Perempuan

Tanaman Tembakau di Waykanan (Istimewa).

Semua juga tahu bahwa merokok tidak baik bagi kesehatan janin, dan saya punya pengalaman pribadi dengan itu, calon anak kedua dan keempat saya dinyatakan meninggal karena penyakit yang mungkin saja disebabkan rokok ini."
"Biasanya kalau sudah tidak ada ide, larinya ke rokok ditemani secangkir kopi. Rasanya tuh menggugah kreativitas. Yah mungkin bagi saya, orang lain bisa saja tidak setuju," tutur Alfa, perempuan  yang mulai menggeluti dunia fotografi sejak 2012.

Bagi fotografer freelance ini merokok mendatangkan kenyamanan tersendiri. Meskipun mengetahui efek buruk dari merokok, bagi Alfa hal itu menunjang pekerjaannya. Dalam sehari ia dapat menghabiskan 20 batang atau sekitar sebungkus rokok.

Alfa, yang juga ibu dari tiga anak ini mengaku walaupun suka merokok, namun ketika sedang hamil dan menyusui selalu menahan keinginannya agar tidak mengisap rokok kretek kesukaannya.

"Semua juga tahu bahwa merokok tidak baik bagi kesehatan janin, dan saya punya pengalaman pribadi dengan itu, calon anak kedua dan keempat saya dinyatakan meninggal karena penyakit yang mungkin saja disebabkan rokok ini," ujarnya.

Pada kehamilan keempatnya, Alfa divonis dokter mengidap penyakit mola hidatidosa (atau hamil anggur) yang adalah kehamilan abnormal berupa tumor jinak, terbentuk akibat kegagalan pembentukan janin. Akhirnya ia harus dikuret dan sempat trauma untuk merokok. Sayangnya trauma yang dialami Alfa tidak berlangsung lama.

"Saya masih merokok kok sampai sekarang dan tidak berniat berhenti, kadang ini jadi alat komunikasi saya sama objek foto," katanya.

Lain ceritanya dengan Nila, karyawan senior di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang perbankan ini juga memiliki alasan tersendiri untuk merokok.

Ia merasa harus menyesuaikan diri dengan kehidupan ibu kota, apalagi ketika harus berkumpul dengan teman-teman yang sebagian di antaranya merupakan perempuan kelas atas di tempat-tempat mewah hingga larut malam.

"Yang jelas di kantor gak pernah saya merokok, tetapi kalau ngumpul terus ga 'ngebul' ya bisa diolok-olok ama anak-anak lain, dibilang sok munafiklah, atau sok jaimlah," kata perempuan muda, berseragam kantor rapi yang sesekali menengok jam tangan karena diajak mengobrol di waktu istirahat siangnya.

Nila memahami bahwa gambaran mengenai perempuan yang merokok selalu dikait-kaitkan dengan hal-hal yang negatif, seperti perempuan nakal dan sebagainya, namun menurutnya merokok kini sudah menjadi gaya hidup.

Bahkan saat ini sudah mulai dipromosikan rokok-rokok khusus perempuan, seperti mengandung nikotin yang rendah, berbentuk lebih ramping dibandingkan rokok yang berukuran normal dan biasa diisap laki-laki, juga rokok elektronik.

"Di luar negeri sudah banyak perusahaan mengiklankan rokok dengan bungkus berwarna merah muda, yang identik dengan perempuan, saya pernah coba, oleh-oleh teman yang pulang dari AS," katanya.

Perempuan berdarah Jawa-Nias ini pun mengaku merokok tidak dalam jumlah yang banyak. Sehari paling banyak hanya menghabiskan satu atau dua batang saja. Ia juga mengimbangi dengan olahraga teratur dan pola makan yang sehat.

"Merokok memang tidak sehat, tapi terkadang harus dilakukan agar kita diterima lingkungan," katanya.

Baginya, kebiasaan merokok bukan hanya kesalahan kaum hawa saja, tetapi pihak lain seperti perusahaan rokok yang mengiklankan produknya dengan berbagai macam cara.

"Kini, rokok dikemas sedemikian rupa agar kaum hawa tertarik dan pada akhirnya menjadi konsumen," katanya.

Sedangkan Arum, mahasiswi salah satu universitas di Jakarta mengaku kebiasaan merokoknya dimulai ketika kuliah. Teman-temannya selalu menyodorkan sebatang rokok jika mereka mulai jenuh dengan kesibukan belajar di kampus.

"Saya merokok kalau sedang jenuh saja, berani di tempat umum juga kalau terpaksa," kata gadis berusia 19 tahun yang mengaku sudah merokok setahun belakangan ini.

Awalnya Arum menolak dan memilih menonton temannya merokok, namun keinginan untuk mencoba akhirnya terlintas ketika merasa tertekan dengan nilai ujiannya yang menurun.

"Waktu itu stres dan terlihat teman-teman asik merokok padahal nilainya jauh lebih buruk daripada saya," ungkap Arum sambil membakar batang rokok keduanya.

Meskipun baru setahun merokok, Arum sudah merasakan dampak buruk bagi kesehatannya. Belakangan ia mengalami batuk berkepanjangan.

"Kayaknya batuk ini karena merokok, saya gak berani periksa. Takut malah didiagnosa macam-macam," katanya.

Bungsu dari tiga bersaudara ini menuturkan, walaupun sudah menyadari dampak bagi kesehatan, dengan merokok terkadang dirinya lebih tenang dan nyaman sehingga ketika berada di situasi atau kondisi yang tidak menyenangkan, benda berbentuk silinder berisi tembakau dengan kandungan nikotin, tar dan bahan adiktif lain inilah yang menjadi pelampiasan.
    
                                 Perempuan Merokok
Apa yang diungkapkan Alfa, Nila dan Arum, ternyata tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Stacey J. Anderson, PhD seorang Social and Behavioral Sciences dari Universitas California, San Francisco.

Menurut Stacey, perempuan sudah lama menjadi "prime market opportunity" atau peluang pasar perdana yang dilirik oleh industri rokok. Faktor-faktor psikososial (hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental atau emosionalnya) merupakan salah satu faktor yang menjadi pendekatan yang akan digunakan industri rokok untuk memasarkan produknya kepada segmen perempuan.

Faktor psikososial ini diantaranya: female empowerment (pemberdayaan perempuan), slimness (kelangsingan), fashion (gaya atau mode), hingga pertimbangan masalah kesehatan dari dampak merokok.

Keseluruhan faktor inilah yang sering dieksploitasi oleh industri rokok agar menarik minat kalangan perempuan untuk mulai merokok.

Ketua Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T) Magdalena Sitorus mengatakan gaya hidup, salah mengartikan modernisasi dan pengaruh iklan dari industri rokok di media massa juga menjadi beberapa penyebab semakin meningkatnya perempuan yang merokok.

"Iklan yang diulang-ulang, lambat laun akan mudah diingat, tak heran jika kita bersenandung, tanpa sadar yang disenandungkan adalah lagu dari sebuah iklan," katanya.

Meskipun belum dapat menyebutkan data secara pasti mengenai jumlah peningkatan perempuan yang merokok, Magdalena mengklaim bahwa trendnya meningkat. Pasalnya, bisa dilihat dari banyaknya perempuan yang merokok di lingkungan sekitarnya kita.

"Dari tahun ke tahun jumlahnya secara umum meningkat, karena para pemula perokok terdiri juga dari kaum hawa," katanya.

Selain itu, Media Officer Komisi Nasional Pengendali Tembakau Nanda, juga mengatakan bahwa berdasarkan data yang dimilikinya, konsumsi rokok tahun 2008 mencapai 240 miliar batang atau 658 juta batang per hari. Ini berarti uang senilai Rp330 miliar "dibakar" perokok di Indonesia dalam sehari.

"Belum ada data terbaru mengenai jumlah peningkatan perokok khususnya bagi perempuan yang merokok," katanya.

Prevalensi perokok terus meningkat dari 27 persen (1995); 31,5 persen (2001) dan menjadi 34,4 persen (2004). Peningkatan tertinggi perokok terjadi pada kelompok remaja umur 15-19 tahun dari 7,1 persen (1995) menjadi 12,7 persen (2001) dan 17,3 persen (2004) atau naik 144 persen selama tahun 1995-2004.

Menurut jenis kelamin, prevalensi perempuan perokok adalah 4,5 persen (2004) meningkat dari 1,3 persen (2001) atau 3,5 kali lipat. Peningkatan tertinggi terjadi pada perempuan remaja kelompok umur 15-19 tahun yang meningkat sebesar 9,5 kali lipat dari 0,2 persen (2001) menjadi 1,9 persen (2004).  

Harga rokok di Indonesia sangat murah karena cukai yang dikenakan sangat rendah sehingga mengakibatkan konsumsi rokok senantiasa meningkat. Tingkat cukai Indonesia sebesar 38 persen adalah terendah setelah Kamboja yang menggunakan harga rokok kretek sebagai perbandingan.

Harga rokok di Singapura tahun 2007 adalah 7,47 dolar AS, sementara di Indonesia kurang dari 1 dolar AS. Pada saat yang sama, rokok di Malaysia harganya 2,18 dolar AS dan di Thailand 1,79 dolar AS (SEATCA Report Card, 2007).

Melihat data tersebut, tidak sulit bagi Arum bahkan Alfa dan Nila untuk mengkonsumsi rokok karena harga jualnya yang sama dengan sebungkus nasi ayam.

Yang bisa dilakukan para orang tua saat ini adalah terus mendampingi putra putrinya serta menjelaskan dampak juga bahaya merokok bagi kesehatan dan lingkungan sekitar.