Kini Petani Lampung Kembali Tanam Kopi

id kopi, ladang, kebun, minuman, bubuk, Lampung Baat, Lambar, Ekspor

Kini Petani Lampung Kembali Tanam Kopi

Buah kopi lebat memerah belum dipetik pemiliknya, di perkebunan kopi milik rakyat di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. (ANTARA FOTO/Dok/M.Tohamaksun).

Petani karet di Banjit, Waykanan banyak yang menebang tanaman karetnya menyusul harganya yang anjlok, sementara harga biji kopi kini terus merangkak naik."
Liwa (Antara Lampung) - Sebagian petani di Kabupaten Waykanan Provinsi Lampung kini kembali membudidayakan tanaman kopi setelah mereka sebelumnya sempat beralih menanam karet dan sawit.
        
"Petani karet di Banjit, Waykanan banyak yang menebang tanaman karetnya menyusul harganya yang anjlok, sementara harga biji kopi kini terus merangkak naik," kata Sukardi (51) petani di Desa Rantau Temiang, Kecamatan Banjit Waykanan, Kamis.
        
Ia menyebutkan harga karet sekarang jatuh hingga mencapai Rp4.500 per kilogram atau turun hingga 50 persen dari harga sebelumnya.
        
Harga karet tersebut menurutnya, tidak sebanding dengan biaya perawatan, produksi dan lain-lainnya sehingga banyak petani di daerah itu kembali ke tanaman kopi mereka yang sempat ditelantarkan.
        
Ia menjelaskan harga kopi saat ini cukup bagus hingga mencapai Rp20.000--Rp21.000/kg di tingkat petani untuk kulitas sedang.   
    
"Biasanya petani menjual ke pengepul untuk kemudian dijual ke pedagang besar atau eskportir di Bandarlampung," jelasnya.
        
Amsidi warga Waykanan lainnya mengatakan bahwa tanaman kopi yang dahulu sempat ditelantarkan petani kini mulai dibudidayakan kembali mengingat harganya yang terus naik.
        
"Tanaman karet sebelumnya jadi penyelang tanaman kopi. Tapi kini ditebang dan merawat kembali tanaman kopi," katanya.
        
Ia menjelaskan, harga karet sekarang anjlok hingga 50 persen dan membuat petani beralih ke tanaman lain termasuk kopi.
        
Sementara itu, upah tenaga buruh sadap karet di Kabupaten Waykanan Lampung rendah seiring turunnya nilai jual komoditas perkebunan tersebut dalam beberapa pekan terakhir.
        
"Hasil sadap satu hektare lahan selama satu minggu itu terkumpul sekitar 30 kilogram. Adapun nilai jual karet kering dalam dua minggu ini juga hanya sekitar Rp5 ribu per kilogram," ujar Priyono, buruh sadap karet dari Kampung Karangumpu Kecamatan Blambangan Umpu di Waykanan, sekitar 220 km sebelah utara Kota Bandarlampung.
        
Hasil penjualan tersebut dibagi dua, antara dirinya dengan pemilik kebun. "Hasil didapat tentu rendah sekali, Rp5 ribu dikali 30 sama dengan Rp150 ribu, jadi kerja selama satu minggu dengan waktu tiga jam setiap hari saya mendapatkan hasil Rp75 ribu. Karena itu, jika ada pekerjaan lain saya mau beralih lantaran pendapatan di kebun ini kecil," kata Priyono.
        
Senada dengan Prioyono, Hasyim, warga Kampung Dewa Agung Kecamatan Bumiagung yang sebelumnya juga mengelola lahan karet milik tetangganya mengatakan sudah tidak lagi menyadap karet.
        
"Setelah Idul Fitri lalu saya ke Lampung Tengah, jadi buruh bangunan karena harga karet yang rendah. Dalam sehari, saya mendapatkan Rp60 ribu dari bekerja menjadi buruh bangunan," kata Hasyim menjelaskan.
        
Sama seperti Priyono, hasil yang didapatkan dari menyadap karet milik tetangga, dirinya hanya mendapatkan upah separuh dari hasil penjualan karet, misal dalam seminggu mendapat satu kuintal, maka hasil jual dibagi dua, antara dirinya dan pemilik kebun karet.
        
Sementara itu, General Affair PT Mardec Siger Waykanan Lampung Andrie Pandji Indra menjelaskan, penyebab harga getah karet terus mengalami penurunan ialah harga karet remah SIR 20 selalu turun di pasar internasional.
        
Kondisi tersebut, demikian Indra menambahkan, mengakibatkan penghasilan petani karet ikut turun. Karena itu, ia menilai pemerintah daerah yang mempunyai kebun karet rakyat yang luas harus ikut terlibat untuk mempertahankan kesejahteraan rakyatnya utamanya petani karet.