MK Kabulkan Permohonan Keterwakilan Perempuan UU MD3

id Gugatan UU MD3

Jakarta (ANTARA Lampung) - Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian ketentuan keterwakilan perempuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang diajukan oleh Koalisi untuk Advokasi Kepemimpinan Perempuan.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan di Jakarta, Senin (29/9).

Pemohon yang terdiri dari Khofifah Indar Parawansa, Rieke Diah Pitaloka, Prof Dr Ir Aida Vitayala Sjafri Hubeis, Yuda Kusumaningsih, Lia Wulandari, Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Perkumpulan Mitra Gender ini menguji Pasal 97 ayat 2, Pasal 104 ayat 2, Pasal 109 ayat 2, Pasal 115 ayat 2, Pasal 121 ayat 2, Pasal 152 ayat 2 dan Pasal 158 ayat 2 UU MD3.

Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 97 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan komisi terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota komisi dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Pasal 104 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Pasal 109 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Pasal 115 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan BKSAP terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Pasal 121 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan
Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Pasal 152 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan BURT terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Pasal 158 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan panitia khusus terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa keterwakilan perempuan dalam menduduki posisi pimpinan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat merupakan bentuk perlakukan khusus terhadap perempuan yang dijamin oleh konstitusi yang harus diwujudkan secara konkret dalam kebijakan hukum yang diambil oleh pembentuk Undang-Undang.

"Penegasan atas perlakuan khusus ini tidak bisa hanya menjadi gagasan hukum semata. Dalam konteks negara hukum yang demokratis dan
negara demokrasi yang berdasarkan hukum gagasan ini harus menjadi kebijakan hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif untuk memberikan jaminan kepastian hukum sebagaimana yang telah diatur dalam UUD 1945," kata Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat membacakan pertimbangan hukum.

Menurut Mahkamah, penghapusan politik hukum pengarusutamaan jender dalam UU 17/2014 telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil bagi kaum perempuan karena perubahan ketentuan yang demikian dapat membuyarkan seluruh kebijakan affirmatif yang telah dilakukan pada kelembagaan politik lainnya.

"Apalagi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD, politik afirmatif perempuan telah diakomodasi sebagai norma hukum, sedangkan dalam UU 17/2014 hal itu dihapus, sehingga menurut Mahkamah kebijakan yang demikian adalah kebijakan yang melanggar prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," katanya.