Kata Anas, Ada Saksi "Pinokio"

id Kata Anas, Ada Saksi Pinokio

Jakarta (ANTARA LAMPUNG) - Terdakwa dalam perkara penerimaan hadiah dari sejumlah proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang, Anas Urbaningrum menilai bahwa jaksa membuat tuntutan berdasarkan keterangan saksi "pinokio".

"Apa keterangan saksi yang sejak awal punya rencana untuk mencelakakan seseorang secara hukum dan kemudian rela menjadi 'pinokio' demi memenuhi kemarahan dan dendamnya atau demi melayani kepentingan tertentu dapat dijadikan setara dengan sabda nabi atau keterangan saksi yang jujur dan tanpa agenda tersembungyi," kata Anas dalam sidang pembacaan nota pembelaan (pledoi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (18/9).

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu membacakan pledoi pribadi yang ditulis tangan setebal 80 halaman. Dia membaca pledoi selama dua jam dengan berdiri.

Saksi "pinokio" yang dimaksud Anas adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang disebut oleh jaksa penuntut umum sebagai "justice collaborator".

"Adalah kewenangan KPK untuk memberikan gelar 'justice collaborator' kepada Muhammad Nazaruddin, meskipun LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) pernah menolak permohonan yang sama, adalah hak JPU untuk percaya kepada kesaksian Nazaruddin atau terpaksa percaya karena menjadi satu-satunya cara untuk berusaha membuktikan dakwaan kepada terdakwa," kata Anas.

"Yang menjadi masalah adalah ketika keterangan dan kesaksian Nazaruddin otomatis dianggap sebagai kebenaran dan dianggap berkualitas karena pernah bersaksi untuk perkara Angelina Sondakh, Mindo Rosalina Manullang, Wafid Muharram, Teuku Bagus Mukhamad Noor dan Andi Mallarangeng," ungkap Anas.

                                        Penyamarataan
Anas menyebutkan bahwa dengan memandang seluruh kesaksian Nazaruddin sebagai kebenaran adalah tindakan "gebyah-uyah" atau penyamarataan yang tidak bisa dibenarkan.

"Amat jelas dalam setiap perkara mempunyai situasi dan kondisi yang berbeda, ada kekhasan masing-masing perkara, karena itu materi kesaksian dan keterangan juga pasti sesuai dengan perkara masing-masing," tambah Anas.

Mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR itu mengungkapkan bahwa dalam perkara yang didakwakan kepada dirinya jelas sejak awal Nazaruddin berniat dan secara sadar menyusun serta menjalankan skenario agar Anas masuk dalam kasus hukum sejak kasus Wisma Atlet dan kasus Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang melibatkan istri Nazaruddin Neneng Sri Wahyuni.

Menurut Anas, beberapa keterangan saksi yang dihadirkan JPU (Jaksa Penuntut Umum) dalam persidangan ini juga terungkap dengan jelas agar saya bisa ditarik dalam skenario kasus Hambalang dengan cara meminta mengarahkan dan menekan para stafnya untuk memberikan keterangan yang tidak benar.

"Niat jahat yang kemudian dijalankan ini seharusnya dipertimbangkan dalam menilai kesaksian Nazaruddin baik dituangkan dalam BAP maupun di depan sidang," ungkap Anas
Anas mengutip KUHAP, hadits nabi, tradisi Jawa hingga Tambo Alam Minangkabau untuk memperkuat argumennya tersebut.

Menurut Anas, pada tradisi Jawa yang dipraktikkan sejak zaman raja Airlangga disebutkan bahwa salah satu syarat untuk dapat menjadi saksi adalah tidak berkepentingan dalam perkaranya, selain syarat berkeluarga dan penduduk asli.

Sedangkan pada Tambo Alam Minangkabau disebutkan bahwa syarat menjadi saksi adalah bersifat arif, baligh-berakal, melihat, mendengar, berkata, terang hati, adil, punya alasan untuk menjadi saksi, tegas Anas.

Atas dasar itu, Anas menilai bahwa menjadikan keterangan Nazaruddin sebagai dasar utama adalah kesalahan serius dalam objektivitas kebenaran dan keadilan.

"Keterangan Nazaruddin dan staf-stafnya yang diarahkan untuk membuat keterangan tidak benar tidaklah mempunyai nilai pembuktian yang layak," ungkap Anas.

Anas dalam perkara ini dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan dan ditambah hukuman tambahan yaitu membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp94,18 miliar dan 5.26 juta dolar AS, pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik, serta pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kotajaya seluas kurang lebih lima hingga 10 ribu hektar di kecamatan Bengalon dan Kongbeng, kabupaten Kutai Timur.

Tuntutan jaksa KPK berdasarkan pasal 12 huruf a jo pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 pasal 64 ayat 1 KUHP.
Anas juga didakwa berdasarkan pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 65 ayat 1 KUHP dan pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Anas dalam perkara ini diduga menerima "fee" sebesar 7-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk 1 unit mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, 1 unit mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.

Uang tersebut digunakan untuk membayar hotel-hotel tempat menginap para pendukung Anas saat kongres Partai Demokrat di Bandung, pembiayaan posko tim relawan pemenangan Anas, biaya pertemuan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan pemberian uang saku kepada DPC, uang operasional dan "entertainment".

Selain itu, biaya pertemuan tandingan dengan Andi Mallarangeng, road show Anas dan tim sukesesnya pada Maret-April 2010, deklarasi pencalonan Anas sebagai calon ketua umum di Hotel Sultan, biaya "event organizer", siaran langsung beberapa stasiun TV, pembelian telepon selular merek Blackberry, pembuatan iklan layanan masyarakat dan biaya komunikasi media.

Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar.