Mengkaji Koalisi Permanen

id Mengkaji Koalisi Permanen, Prabowo, Hatta Rajasa, Gerindra, PKS, Golklar, PPP, PBB, Demokrat, Ideologi, Paham, Keyakinan, Oposisi, Pemerintahan, Kabin

Setgab yang dibangun Demokrat juga menjadi contoh lainnya. Koalisi permanen dapat bertahan lama jika partai yang ikut di dalamnya memiliki ideologi yang hampir sama atau saling beririsan."
Depok (Antara) - Koalisi partai politik pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang dipermanenkan oleh partai pendukung pasangan capres/cawapres itu diprediksi oleh pihak tertentu tidak akan bertumur panjang karena berbagai alasan, di antaranya ideologi serta kepentingan partai yang berbeda-beda.

Apakah prediksi itu bisa terjadi? Politisi Partai Golongan Karya yang menjadi tim sukses pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Nusron Wahid menyebutkan, situasi di DPR RI sangat fluktuatif dan dinamis. Dalam isu-isu tertentu, kadang partai politik bisa sangat kompak. Namun pada isu lainnya bisa pecah.

"Misalnya, nanti PDI-P mengusung pansus Lapindo. Saya yakin PAN dan Gerindra akan setuju, karena jika enggak begitu ya enggak dapat pemilih di Jawa Timur. Bisa-bisa hanya tinggal Golkar yang enggak setuju," katanya.

Menyusul disahkannya UU MD3 (susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD), Koalisi Merah Putih (KMP) menurut  Sekjen DPP PPP, Romahurmuziy, memformalisasi kesepakatan koalisi di parlemen dengan menandatangani kesepakatan kerja sama enam partai politik parlemen yang beranggotakan 353 kursi (63 persen) kursi parlemen 2014-2019.

Enam partai pendukung Koalisi Merah Putih di parlemen tersebut adalah Partai Gerindra, PPP, PAN, PKS, Partai Golkar, Partai Demokrat.

Apa sebenarnya yang mendasari terbentuknya koalisi ini, Nusron melihatnya sebagai tujuan jangka pendek. "Mungkin mau menyasar ketua DPR. Itu saja."

Terkait prediksi tidak akan bertahan lamanya koalisi permanen ini, peneliti Founding Father Reseach, Dian Permata menyebut alas an Partai Golkar yang tidak terbiasa berada di luar pemerintahan.

"Setgab yang dibangun Demokrat juga menjadi contoh lainnya. Koalisi permanen dapat bertahan lama jika partai yang ikut di dalamnya memiliki ideologi yang hampir sama atau saling beririsan," katanya.

Menurut Dian, Setgab merupakan contoh terbaik dari sistem koalisi yang dibangun sejak awal pemerintahan SBY-Boediono. "Partai pendukung terlihat sangat kewalahan menghadapi PKS, sebagai salah satu anggota Setgab.  Akibatnya, Setgab tidak memiliki daya tawar politik yang besar."

Namun demikian dia berpendapat, koalisi permanen yang digagas Koalisi Merah Putih bisa saja bertahan lama, asalkan di awal pembentukannya, isu isu pro rakyat seperti insentif pupuk petani, program land reform menjadi isu bersama koalisi tersebut. "Tapi, jika setiap partai pendukung membawa isu sendiri-sendiri, dapat dipastikan koalisi ini akan jauh dari harapan."

Menanggapi prediksi miring atas koalisi permanen, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) menegaskan bahwa partai itu tetap berada di koalisi permanen yang dideklarasikan pertengahan Juli lalu. "Golkar tidak berniat meninggalkan koalisi permanen yang dibentuk partai pendukung pasangan capres/cawapres Prabowo-Hatta. Kami tidak akan mundur."

ARB menegaskan koalisi itu sudah disepakati bersama para parpol pendukung Prabowo-Hatta. Dia yakin akan tetap langeng hingga lima tahun ke depan.

Namun banyak pihak meragukan kelanggengan koalisi tersebut. Pasalnya, ketika pasangan Prabowo-Hatta dinyatakan kalah dalam pemilihan presiden (Pilpres), koalisi bakal berubah, bahkan bubar.

Wakil Ketum Golkar Agung Laksono sendiri mengkritik keberadaan koalisi tersebut. Dia mencurigai koalisi itu hanya untuk mempertahankan dan meraih kekuasaan semata. Koalisi itu sama sekali tidak didasarkan atas kepentingan memajukan bangsa.

Dia juga menyebutkan tanda tangan ARB di koalisi permanen Merah Putih bukan sikap resmi Partai Golkar. Agung bahkan menyatakan Ical telah mengindikasikan koalisi itu tidak permanen. "Setahu saya tidak ada (sikap resmi Golkar). Hanya Pak Ical telepon saya memberitahu kalau mau teken permanen untuk dukung Prabowo-Hatta."

Partai lainnya yang tampaknya masih ragu untuk menentukan arah koalisi setelah pilpres adalah Partai Persatuan Pembangunan. Kehadiran Ketua Umum PPP dan keikutsertaan Suryadharma Ali (SDA) menandatangani deklarasi Koalisi Permanen Merah Putih, diprotes oleh Waketum PPP Suharso Monoarfa.

"Kami tidak pernah bicara soal koalisi permanen, yang ada keputusan tentang pencalonan presiden," kata Suharso dan menambahkan bahwa keputusan SDA dan Sekjen PPP Romahurmuziy untuk ikut mendeklarasikan koalisi permanen tanpa dasar. Sebab, dalam Rapimnas PPP, tak ada keputusan soal koalisi usai Pilpres 2014.
    
                            Kader-kader partai terpecah
Meski menjadi salah satu pengusung duet Prabowo-Hatta, namun Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat tak mengirimkan utusannya ke acara deklarasi koalisi permanen Merah Putih. Kehadiran Ketua DPD PD DKI Jakarta Nachrowi Ramli, disebut tak mewakili DPP.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hayono Isman melihat peluang partainya bakal merapat ke Jokowi-JK. Absennya Ketua Harian PD Syafief Hasan pada  penandatanganan koalisi permanen pro Prabowo-Hatta di Tugu Proklamasi, dinilai sebagai kode PD bakal merapat ke Jokowi.

Selain Hayono, kader Demokrat yang pro Jokowi antara lain Nova Riyanti Yusuf, Suaedy Marasabesi, dan Ruhut Sitompul.

Namun Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Ramadhan Pohan mengaku, partainya tak akan 'mbalelo' dari koalisi permanen Merah Putih, dan bergabung dengan kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla. "Bergabung ke Jokowi? No, thanks!"

Bahkan menurut Pohan jika koalisinya harus di luar pemerintahan, Demokrat akan menjalaninya dengan penuh komitmen. "Nah nanti jika pun harus di luar, insya Allah kami berjuang sama baik," kata Ramadhan.

Sementara itu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah memutuskan merapat ke Koalisi Permanen Merah Putih ditandai dengan hadirnya Presiden PKS Anis Matta di Tugu Proklamasi.

Anggota Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid menegaskan, deklarasi Koalisi Permanen tidak akan pecah di tengah jalan. Menurut Ketua Fraksi PKS ini, koalisi tersebut sudah ditandatangani oleh ketua-ketua fraksi partai politik di DPR RI termasuk partainya.

Dia menilai anggapan bahwa koalisi permanen bakal rapuh adalah isu yang sengaja untuk memecah-belah partai pengusung capres/cawapres nomor urut 1. "Saya kira isu itu dimunculkan agar koalisi kita tidak solid dan saling mencurigai. Kami PKS akan tetap solid dan tidak akan berpindah koalisi ke Jokowi-JK," ucap Hidayat.

Lain halnya dengan pegamat politik dari Political Communication Institute (Polcomm) Heri Budianto yang berpendapat kemungkinan PKS bisa merapat ke kubu Jokowi-JK. Menurut dia, elit PKS sudah dapat membaca jika pasangan capres/cawapres nomor urut 2 bakal memenangkan pilpres.

"Fenomena elit politik membaca kemenangan Jokowi-JK sudah di depan mata. Sinyal perubahan sikap elit PKS termasuk Demokrat, mencuatnya dinamika Golkar menunjukkan bahwa jelas koalisi permanen terancam. Saya melihat sinyal elit partai cenderung  merapat ke partai pemenang," kata Heri.

Apa yang dikatakan orang-orang bijak agaknya bisa jadi benar bahwa tidak ada pertemanan (koalisi) yang abadi,  yang ada adalah kepentingan yang abadi.