Rupiah Simbol Kedaulatan Indonesia

id Rupiah Simbol Kedaulatan Indonesia , Uang, Monay, Fulus, Duit, Duwit, Harta, Dicari, Paling Dicari, Kekayaan, Untuk Membeli, Bank, BI, Bank Indoensia

Rupiah Simbol Kedaulatan Indonesia

Uang Rupiah baru Indonesia. (ANTARA FOTO Dok/Zabur Karuru).

Rupiah harus jadi tuan rumah di negara sendiri."
Jakarta (Antara) -Penerbitan Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah pada Oktober 1946, memperlihatkan bahwa mata uang itu tidak hanya sebagai alat pembayaran, tapi juga untuk menunjukkan kedaulatan negara.

"Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah soeatoe hari yang mengandoeng sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadap penghidoepan baroe. Besok moelai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satoe-satoenya alat pembayaran yang sah..., "

Demikian antara lain kutipan pengumuman atas diterbitkannya ORI kepada seluruh rakyat Indonesia yang langsung disampaikan sendiri oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta yang dibaca melalui RRI Yogyakarta, malam hari tanggal 29 Oktober 1946.

Dengan demikian, mulai saat itu sudah diharuskan menggunakan mata uang Indonesia dalam bertransaksi. Kini, keharusan itu makin kuat dengan diterbitkannya Undang-undang (UU) No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Penggunaan mata uang rupiah di dalam negeri memang masih sering diabaikan. Masih banyak transaksi yang dilakukan dengan menggunakan mata uang asing, misalnya di wilayah perbatasan yang dekat dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Timor Leste, hingga Papua Nugini.

Tidak digunakannya rupiah sebagai alat pembayaran wajib di daerah perbatasan, maupun di daerah lain, berbahaya bagi kedaulatan Indonesia. Selain itu bisa mengakibatkan pelemahan nilai tukar rupiah seperti yang saat ini terjadi hingga level Rp12.000 per dolar AS.
    
                               Simbol kedaulatan
Menurut Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI), Lambok Antonius Siahaan, mata uang rupiah merupakan simbol kedaulatan Indonesia.

"Rupiah harus jadi tuan rumah di negara sendiri," ujar Lambok.

Berkaitan dengan itu Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri menegaskan bahwa setiap transaksi keuangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia wajib menggunakan rupiah.

"Setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah dalam rangka pelaksanaan pembayaran dan pelaksanaan kewajiban yang harus dipenuhi dengan rupiah," kata Menkeu.

Chatib Basri menambahkan, hanya transaksi tertentu boleh menggunakan dolar atau mata uang asing, seperti  transaksi  yang mengharuskan menggunakan valuta asing.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung meminta transaksi keuangan di kawasan pelabuhan Tanjung Priok menggunakan mata uang rupiah, sesuai penerapan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang.

Chairul mengatakan selama ini masih banyak transaksi keuangan di kawasan pelabuhan seluruh Indonesia, tidak hanya Tanjung Priok, yang menggunakan mata uang dolar AS dan belum sepenuhnya memanfaatkan rupiah.

Menkeu mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia agar menjaga mata uang rupiah. Dia berpesan rupiah ini agar digunakan sebagai alat pembayaran sebagaimana mestinya.

"Tidak dibenarkan rupiah yang kita cintai ini dirusak, dipotong-potong, dihancurkan, diubah dan dipalsukan," katanya.
    
                                     Kampanye
Kementerian Keuangan, kata Chatib Basri, saat ini sedang gencar mengampanyekan kewajiban penggunaan rupiah dalam setiap transaksi.

Chatib menyatakan prihatin masih ada beberapa daerah di wilayah Indonesia menggunakan mata uang asing dalam kegiatan ekonomi. Namun ia memaklumi karena  distribusi mata uang rupiah yang belum merata.

BI mendorong tekad Kemenkeu dalam meningkatkan penggunaan mata uang rupiah dalam setiap bentuk pembayaran. Gubernur BI Agus Martowardojo  mengatakan akan segera menanggulangi masalah distribusi rupiah.

Para pelaku usaha dan masyarakat Indonesia diminta menggunakan mata uang rupiah untuk setiap transaksi di wilayah NKRI dan harus sudah dipersiapkan dari sekarang guna menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang diberlakukan pada 2015.

"Bank Indonesia meminta para pelaku usaha dan masyarakat untuk menggunakan rupiah dalam setiap transaksi di wilayah NKRI, jika tidak dipersiapkan dari sekarang dikhawatirkan Indonesia akan 'terlibas' negara-negara lain," kata Deputi Gubernur BI Ronald Waas.

Ronald mengatakan Indonesia merupakan pasar yang sangat besar bahkan hampir separuhnya dari total populasi pasar MEA yang mencapai 500 juta orang. Karena itu sudah seharusnya semua pihak mendorong dan menguatkan penggunaan rupiah dalam setiap transaksi agar mata uang rupiah ini bisa dipercaya negara-negara asing.

Menurut Ronald Waas, kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha nasional terhadap rupiah akan mendorong kepercayaann internasional terhadap mata uang Indonesia ini dan rupiah memiliki martabat di dalam maupun luar negeri.

"Karena kalau bukan kita (yang menguatkan rupiah), siapa lagi," ujarnya.

Ronald menambahkan permintaan yang tinggi terhadap mata uang asing (valas) akan mengakibatkan depresiasi rupiah dan meningkatkan inflasi serta menurunkan daya saing produk-produk Indonesia.

UU No.7 Tahun 2011 tentang mata uang mengamanatkan bahwa rupiah wajib dipergunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah NKRI.

Namun sayangnya UU tersebut belum dilengkapi dengan peraturan pemerintah (PP) yang dapat menjabarkan lebih rinci dan lengkap mengenai amanat UU tersebut.
        
                                     Sejarah ORI
Ketika mengumumkan penggunaan ORI itu, Wapres Mohammad Hatta mengatakan, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak berlaku lagi. Demikian juga uang De Javashe Bank.

Dalam buku Album Peringatan ORI 47 Tahun, tercatat bahwa semua ORI yang diterbitkan pada saat itu ditandatangani Menkeu RI, karena pencetakannya selain bertujuan mematahkan dominasi uang NICA (Netherlands Indische Civil Administration) yang makin menyebar di Indonesia, juga dimaksudkan untuk membesarkan hati bangsa yang baru merdeka.

Sebelum diedarkan, pemerintah melakukan langkah-langkah menarik mata uang Jepang dan Belanda dengan melarang orang untuk membawa sejumlah uang tertentu dari dan ke Jawa, serta Madura tanpa izin pemerintah daerah, dan mengharuskan uang Jepang dan Belanda disimpan sejumlah bank.

ORI selain secara politis ditujukan untuk menunjukkan kedaulatan Republik, juga untuk menyehatkan ekonomi yang dilanda inflasi hebat. Tujuan terakhir ini dapat dicapai dengan cara meninggikan kurs ORI terhadap uang Jepang sebesar 1:50 untuk pulau Jawa dan Madura, dan 1:100 untuk daerah lainnya.

Dalam penerbitan itu, terjadi pertarungan kewibawaan ORI dengan mata uang NICA. Pertarungan kewibawaan dua mata uang dari dua pihak yang saling berbeda kepentingan itu memaksa setiap orang harus memilih. Menolak atau menerima uang NICA atau uang ORI.

Dalam kondisi semacam itu, tak jarang terjadi insiden penganiayaan di daerah pendudukan terhadap mereka yang pro-Republik karena tidak mau menerima uang NICA.

Pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, di Indonesia beredar empat jenis mata uang, yaitu "De Javashe Bank" (uang sisa jaman kolonial Belanda), "De Japansche Regering" dengan satuan gulden yang dikeluarkan pada 1942, mata uang yang disiapkan oleh Jepang sebelum menguasai Indonesia dengan bahasa resmi Hindia Belanda.

Kemudian, uang pendudukan Jepang yang menggunakan Bahasa Indonesia, Pemerintah Dai Nippon emisi 1943 dengan pecahan bernilai Rp100 , dan "Dai Nippon Teikoku Seibu" emisi 1943 bergambar wayang orang satria Gatotkaca dengan pecahan bernilai Rp10 dan bergambar rumah Minang dengan pecahan bernilai Rp5.

Pada 24 Oktober 1945, Menkeu A.A. Maramis menginstruksikan  Serikat Buruh Percetakan G. Kolf Jakarta untuk bertindak selaku Tim Pencari Data menemukan percetakan uang yang teknologinya relatif modern dan memadai.

Percetakan ORI mulai dilakukan sejak Januari, yang sempat dihentikan pada Mei 1946. Percetakan dipindahkan dan dilanjutkan tersebar di daerah pedalaman Republik seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo dengan memanfaatkan berbagai percetakan swasta.

Akhirnya, usaha keras tanpa kenal lelah memperlihatkan hasil dengan diterbitkannya emisi pertama uang kertas ORI pada 30 Oktober 1946.

Emisi pertama uang kertas RI itu terdiri pecahan bernilai satu, lima, sepuluh, dan lima puluh sen, kemudian disusul pecahan satu, lima, sepuluh dan seratus rupiah.