Masih Perlukah Ujian Nasional?

id Masih Perlukah Ujian Nasional?, UN, SMU, SMA, SMK, Murid, Siwam Kulah, Kemendikbud, Pendidikan

 Masih Perlukah Ujian Nasional?

Sisa SMK Negeri 4 Kota Bandarlampung, Provinsi Lampung mengerjaklan soal Ujian Nasional (UN) Tahun Pelajaran 2013/2014. (ANTARA FOTO/Mehdi Maharni/PWI Lampung).

Sudah menjadi rahasia umum pihak sekolah selalu berusaha membantu siswanya untuk lulus UN karena terkait dengan nama baik sekolah."
Jakarta (Antara) - Hari pertama Ujian Nasional (UN) SMA dilaksanakan pada Senin dan sebagaimana pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya, maka UN tahun ini pun belum lepas dari berbagai permasalahan.

Posko Pengaduan UN Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menerima beberapa laporan permasalahan yang terjadi sebelum dan pada hari pertama pelaksanaan UN. Selain kekurangan soal, permasalahan jual beli kunci jawaban juga masih ditemukan.

Sekjen FSGI Retno Listyarti mengatakan permasalahan kekurangan soal terjadi di Rayon 13 Cijantung dan Rayon 17 Cakung, Jakarta Timur. Kekurangan soal yang terjadi pun tidak sedikit karena mencapai 260 soal.

"Soal yang kurang adalah ujian Bahasa Indonesia. Di Cakung terjadi kekurangan soal satu amplop atau 20 soal, sedangkan di Cijantung kurang 12 amplop atau  240 soal," kata Retno Listyarti.

Retno mengatakan pihaknya menerima laporan tersebut pada Minggu (13/4) pukul 14.00 WIB atau sehari sebelum pelaksanaan UN bahasa Indonesia.

Kekurangan soal itu tidak mudah diatasi karena soal untuk Jakarta dicetak di Jawa Timur sehingga Dinas Pendidikan DKI Jakarta harus mengajukan pengiriman soal yang kurang ke provinsi tersebut.

"Sekolah di dua rayon tersebut tentu sangat khawatir karena UN bahasa Indonesia akan dilaksanakan keesokan harinya pukul 07.30," ujar Retno.

Retno mengatakan pada hari pertama UN pihaknya juga menerima laporan adanya sekolah swasta di Medan yang memberikan kunci jawaban kepada siswanya.

"Jadi siswa diminta datang pukul 05.00 WIB untuk menerima kunci jawaban UN. Ini terjadi di tiga sekolah swasta di Medan yang tidak termasuk kategori sekolah 'kaya'," tuturnya.

Selain itu, pada hari pertama pelaksanaan UN SMA pihaknya juga menerima laporan adanya kecurangan bermodus penggunaan telepon seluler yang terjadi di Jakarta, Garut dan Indramayu.

Menurut Retno, ada siswa yang kedapatan membuka telepon seluler saat mengikuti UN. Namun, belum sempat mencontek siswa tersebut sudah ditangkap pengawas UN.

"Setelah ponselnya diperiksa ternyata ada kunci jawaban untuk 20 paket soal bahasa Indonesia yang sedang diujikan saat itu. Laporan ini tidak dimasukkan dalam berita acara karena siswa dianggap sebagai korban," tuturnya.
 
                          Sindikat Kunci Jawaban
Sebelumnya, Posko Pengaduan UN FSGI juga telah menerima laporan dugaan sindikat jual beli kunci jawaban yang terjadi di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan.

Dalam melakukan jual beli kunci jawaban, sindikat tersebut menggunakan sistem koordinator bertingkat, mulai dari koordinator kelas, koordinator jurusan, koordinator sekolah, koordinator wilayah dan koordinator pusat.

"Pihak sekolah tidak mengetahui praktik jual beli kunci jawaban ini. Kami menduga ada keterlibatan alumnus di setiap sekolah," katanya.

Retno mengatakan sindikat tersebut diduga telah beroperasi sejak lima tahun lalu di keempat kota tersebut. Kebenaran kunci jawaban mereka sudah terbukti sehingga banyak yang percaya. Diduga, jaringan tersebut juga melibatkan pihak bimbingan belajar.

"Pembayaran dilakukan secara tunai dan langsung. Harganya beragam. Siswa patungan di sekolah mulai dari Rp50.000 hingga Rp200.000 untuk 20 paket kunci jawaban dari enam mata pelajaran," jelasnya.

Yang mengejutkan, sindikat tersebut juga menjual kunci jawaban bergantung permintaan pembeli. Apabila hanya ingin sekedar lulus, maka kunci jawaban yang dijual memiliki kebenaran hingga 60 persen.

"Tetapi juga ada tawaran jawaban betul hingga 80 persen, 90 persen dan 100 persen. Semakin banyak jawaban betul, maka harganya semakin mahal," tuturnya.

Retno mengatakan kunci jawaban itu mulai ditawarkan saat pelaksanaan "try out" UN di sekolah pada Maret 2014. Soal "try out" berasal dari dinas pendidikan setempat. Karena kunci jawaban "try out" valid, maka meningkatkan kepercayaan siswa ketika sindikat tersebut menawarkan kunci jawaban UN.

Info penawaran kunci jawaban berlangsung dari mulut ke mulut di antara siswa tanpa diketahui siapa yang lebih dulu menerima informasi tersebut. Sindikat tersebut juga bekerja sangat rapi karena nomor ponsel yang digunakan untuk menawarkan kunci jawaban selalu berganti.

                              Mubazir
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Saleh Partaonan Daulay mengatakan pelaksanaan ujian nasional (UN) yang diwarnai kecurangan di beberapa daerah merupakan hal yang mubazir dan tidak mendidik siswa.

"Sudah menjadi rahasia umum pihak sekolah selalu berusaha membantu siswanya untuk lulus UN karena terkait dengan nama baik sekolah," kata Saleh Partaonan Daulay.

Menurut Saleh, beberapa sekolah masih beranggapan jika ada siswa yang tidak lulus akan merusak reputasi sekolah. Karena itu, selalu ada upaya membantu siswa dengan berbagai macam modus.

"Yang lebih parah, ada dugaan dinas pendidikan setempat juga ikut bekerja sama dengan pihak sekolah," ujarnya.

Kalau betul seperti itu, maka UN menjadi suatu hal yang sangat mubazir dan tidak mendidik karena pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah menjadi sia-sia.

Malahan, UN mengajarkan sikap ketidakjujuran di sekolah karena mulai dari pemilik sekolah, guru, siswa dan dinas pendidikan melakukan berbagai macam cara untuk mengejar kelulusan 100 persen.

"Kalau orang dari kecil sudah diajarkan tidak jujur, bagaimana nanti kalau sudah dewasa?" tanyanya.

Saleh mengatakan banyak kalangan juga menilai UN tidak efektif sebagai metode evaluasi untuk menentukan kelulusan siswa. Selain dugaan banyaknya kecurangan, biaya besar yang dikeluarkan dalam pelaksanaan UN juga dinilai tidak seimbang dengan hasil yang diperoleh.

"Saat ini, siswa-siswa yang menghadapi UN selalu terlihat santai, Jika ditanya mengapa tidak belajar, mereka akan menjawab guru dan sekolah lebih takut kalau mereka tidak lulus. itu kan pernyataan yang sangat naif," tuturnya.

                                 Altenatif Lain
Karena itu, Saleh mengatakan pemerintah harus mencari alternatif lain untuk menentukan kelulusan siswa selain UN.

"Menurut saya, evaluasi kelulusan siswa cukup dilakukan berbasis sekolah. Sekolah secara otonom bisa melakukan ujian dan evaluasi sendiri," katanya.

Apabila sekolah diberi kewenangan, maka kelulusan siswa tidak hanya ditentukan dengan angka dan nilai dalam ujian tetapi juga berkaitan dengan karakter dan moralitas.

Menurut Saleh, soal-soal yang diberikan dalam UN mustahil bisa menentukan emosional dan kecerdasan spiritual siswa. Yang bisa dinilai melalui melalui soal-soal UN hanya kecerdasan intelektualnya saja.

"Padahal, evaluasi yang baik harus dilakukan secara holistik terhadap siswa, termasuk akhlak, keterampilan, bakat dan kemampuan anak beradaptasi dengan lingkungan dan masyarakat. Itu hanya bisa dilakukan oleh sekolah," tuturnya.

Selain itu, UN juga dinilai menyamaratakan standar pendidikan antara kota dan pelosok desa. Padahal, walaupun ada standar kurikulum tetapi fasilitas dan manajemen pendidikan di daerah terpencil selalu jauh tertinggal.

"Terbukti wawasan dan cara pandang anak yang sekolah di daerah terpencil selalu berbeda dengan mereka yang berada di kota," ujarnya.

                            Kemampuan Guru
Menurut Saleh, guru dan sekolah mampu menilai dan menentukan kelulusan secara objektif karena tahu kualitas siswanya.

"Mereka bergaul setiap hari dengan muridnya. Di tingkat SD mereka berinteraksi selama enam tahun, sementara di SMP atau SMA selama tiga tahun. Itu waktu yang cukup lama untuk menentukan tingkat kecerdasan siswa," katanya.

Apalagi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memiliki program sertifikasi guru. Itu artinya, guru-guru yang mendapatkan sertifikasi telah diakui kualitasnya oleh pemerintah.

"Kalau guru sudah diakui kualitasnya, tentu sangat layak dipercaya untuk melakukan evaluasi terhadap siswanya di sekolah masing-masing," tuturnya.

Apabila guru dan sekolah diberi kewenangan untuk menentukan kelulusan siswa, Saleh mengatakan tugas pemerintah adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan kurikulum nasional dan jalannya proses belajar mengajar.

Selain itu, pemerintah juga harus berupaya keras untuk melengkapi fasilitas-fasilitas pendidikan di sekolah, termasuk menjaga agar proses sertifikasi dilakukan dengan baik untuk menghasilkan guru yang andal.