Memperkuat Kiprah Perempuan di Parlemen (Bagian I)

id Memperkuat Kiprah Perempuan di Parlemen (Bagian I)

Memperkuat Kiprah Perempuan di Parlemen (Bagian I)

Deklarasi Pemilu Bersih dicanangkan para caleg perempuan di Provinsi Lampung. (FOTO: ANTARA LAMPUNG/Dok. Ist)

Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Sudahkah ketentuan kuota minimal 30 persen perempuan duduk dalam kepengurusan partai politik dan legislatif (parlemen) yang bertujuan untuk meningkatkan kiprah kaum perempuan, telah berjalan dengan baik?

Faktanya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, mengingat aturan formal itu tak begitu saja dapat diterapkan secara serta merta.

Kalangan akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Lampung maupun para politisi dan pengurus partai politik umumnya mengakui, kiprah kaum perempuan dalam perpolitikan baik di parpol maupun parlemen selama ini juga masih belum optimal, bahkan cenderung masih termarjinalkan atau terpinggirkan.

Kenapa bisa begitu?

"Seharusnya bukan minimal 30 persen perempuan dalam kepengurusan parpol atau dicalonkan sebagai anggota legislatif, tapi paling sedikit 30 persen perempuan duduk di parlemen," kata Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, MSc, Wakil Ketua Bidang Otonomi Daerah Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasional Demokrat (Nasdem), saat berdialog di Bandarlampung, Minggu (30/3).

Menurut Siti Nurbaya yang mantan Sekjen Depdagri dan Sekjen Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang pernah lama pula bertugas di lingkungan Bappeda Provinsi Lampung itu, kiprah perempuan dalam politik dan di parlemen bukan diperjuangkan untuk kepentingan kaum perempuan semata.

"Perempuan di parlemen selain memperjuangkan kepentingan kaum perempuan juga diharapkan mampu lebih sensitif dan aspiratif menyuarakan sejumlah kepentingan mendasar publik yang dirasakan setiap hari, seperti pendidikan, kesehatan dan kesejahteran masyarakat," kata dia lagi.

Bagi Myrilla Andhani SP, praktisi seni membaca tulisan tangan seseorang (grafolog) yang memilih maju menjadi calon anggota DPRD Kota Bandarlampung dari Partai Nasdem, perempuan harus tampil berperan di masyarakat dan perpolitikan, tak cukup hanya mengurus suami dan rumah saja.

"Kaum perempuan yang maju itu seharusnya tak hanya bisa berdandan atau bergosip saja, tapi bisa lebih aktif berperan tak hanya di dalam rumah tapi juga di masyarakat," ujar dia, di Bandarlampung, Minggu (30/3).

Menurut dia, kaum perempuan modern itu haruslah memiliki pergaulan yang lebih luas tapi produktif, sehingga harus berani tampil untuk berperan di tengah masyarakat termasuk mengambil peran aktif dalam dunia politik.

Dia mengakui, tertarik terjun ke politik pada usia muda dan menjadi caleg Partai Nasdem dari Daerah Pemilihan 2 Kota Bandarlampung (Kecamatan Sukarame, Wayhalim, dan Sukabumi) dari Partai Nasdem nomor urut 2, untuk menunjukkan bahwa kaum perempuan itu bisa berbuat banyak untuk masyarakat, daerah dan bangsanya.

Lulusan Agronomi pada Institut Pertanian Bogor (tahun 2000) ini justru mempertanyakan kuota keterwakilan perempuan di lgislatif dan dalam kepengurusan parpol minimal 30 persen.

"Kita sudah lama merdeka, tapi kenapa peran dan keterwakilan perempuan itu dibatasi hanya 30 persen, kalau benar perempuan dan laki-laki memang sederajat kenapa masih seperti itu," ujar perempuan muda yang mengaku kini lebih tertarik mengembangkan bidang grafologi atau ilmu maupun seni membaca tulisan tangan seseorang dan memiliki perusahaan bergerak di dalamnya di Bandung Jawa Barat.

Ia mengemukakan, keterwakilan politik perempuan di parpol maupun legislatif yang masih relatif rendah, berdampak pada keterwakilan kepentingan kaum perempuan kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya.

"Bagaimana bisa mewakili kepentingan kaum perempuan kalau wakil di legislatif yang perempuan hanya sedikit," ujarnya lagi.

Dr. Siti Nurbaya Bakar, MSc mengakui, dirinya justru ditugasi partai ini untuk merekrut kandidat terbaik agar aktif mengurus partai serta dicalonkan sebagai anggota legislatif.

"Cukup sulit menemukan kaum perempuan khususnya di Lampung yang memiliki kualitas memadai agar bisa menjadi pengurus Partai Nasdem maupun dicalonkan di legislatif," ujar mantan Sekjen Depdagri itu seraya menyebutkan partainya sangat serius untuk menempatkan kader perempuan berkualitas itu pula.

Menurut dia, dengan kerja keras dan rajin menyambangi berbagai tempat, Partai Nasdem bisa merekrut hingga mencapai 41 persen perempuan untuk menjadi caleg pada Pemilu 2014 ini.

Perempuan yang menjadi caleg itu, ujar Nurbaya yang dicalonkan sebagai anggota DPR dari Lampung nomor urut satu, tidak sembarang ditempatkan melainkan pada nomor urut sesuai dengan kapasitas dan pengalaman para caleg dimaksud.

"Pada 13 daerah pemilihan, perempuan yang menjadi caleg di Partai Nasdem mendapatkan nomor urut satu," ujar dia lagi.

Sejumlah caleg perempuan dari Partai Nasdem juga beradal dari berbagai kalangan yang dinilai bersih, cukup dikenal luas oleh masyarakat setempat dan memiliki kapasitas yang baik, di antaranya berasal dari aktivis LSM, tokoh perempuan, tokoh agama maupun tokoh masyarakat di daerahnya.

Menurut dia, semestinya untuk perempuan tak cukup hanya kuota minimal 30 persen untuk dicalonkan oleh parpol pada pemilu, tapi bisa minimal 30 persen perempuan yang akhirnya dapat menduduki kursi legislatif agar dapat berperan dengan baik mengurus kepentingan publik secara lebih sensitif dan aspiratif.

"Perempuan yang duduk di legislatif maupun aktif di parpol maupun pemerintahan itu, bukan hanya untuk membela dan mengurus kepentingan kaum perempuan semata, tapi seharusnya dapat lebih baik dalam menjaring dan menyalurkan aspirasi seluruh masyarakat. Jadi perempuan yang duduk di legislatif maupun eksekutif itu bukan untuk perempuan saja, tapi untuk kepentingan seluruh masyarakat demi kemajuan bangsa ini," kata Siti Nurbaya lagi.

Calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Isma Yatun bertekad akan selalu memperjuangkan keberadaan penerangan bagi daerah yang belum teraliri listrik di Provinsi Lampung.

Caleg perempuan untuk DPR RI dari Daerah Pemilihan Lampung 1 itu, saat ditemui di Pesisir Barat Provinsi Lampung, Jumat (28/3) menegaskan, penerangan listrik akan memujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

"Penerangan yang cukup sangat erat kaitannya dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengingat fasilitas itu membantu calon penerus bangsa menjalankan aktivitas belajar di rumah maupun di sekolah dengan lebih baik," kata dia pula.

Setelah menjadi wakil rakyat yang sekarang duduk di DPR, perempuan kelahiran Palembang Sumatera Selatan, 12 Oktober 1965 ini bergabung dengan Komisi VII yang membawahi bidang energi sumber daya mineral, riset, teknologi, dan lingkungan hidup.

Menurut dia, perjuangan untuk memberikan penerangan bagi masyarakat terus dilakukan termasuk dengan penyediaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) serta pembangkit lain agar masyarakat dapat menikmati penerangan di malam hari.

Isma, begitu sapaan akrabnya, adalah juga Wakil Ketua Bidang Pembangunan Daerah dan Pemerintahan DPD PDI Perjuangan Provinsi Lampung yang merupakan anggota DPR RI di Komisi VII.

Caleg DPR RI nomor urut 9 dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) daerah pemilihan Lampung 2 Nurjanah SH menyatakan perempuan harus bergerak dan berpartisipasi untuk pembangunan negara.

"Kalau kita tidak bergerak sekarang, mewakili perempuan duduk menjadi anggota dewan, kita tidak bisa berbuat untuk negara. Perempuan harus bergerak untuk negara," kata Nurjanah menjelaskan motivasinya menjadi anggota legislatif DPR periode 2014-2019 itu, di Blambangan Umpu, Waykanan, Jumat.

Perempuan, demikian perempuan kelahiran Jakarta 26 Desember 1963 itu menambahkan, bisa menjadi ikon negara.

"Di era terkini, Susi Susanti bisa mengangkat nama Indonesia di kancah dunia melalui badminton," katanya mencontohkan peran perempuan untuk negara.

Ia menegaskan, peran serta perempuan di DPR RI masih minoritas sehingga perlu ada peningkatan.

"Perempuan itu ibu dari generasi masyarakat Indonesia, apa yang diolah, dimasak perempuan itu yang menentukan nasib generasi mendatang," tutur dia lagi.

Meliawati SE, MM, calon anggota legislatif perempuan Partai Golkar untuk DPRD Kota Bandarlampung di Lampung, bertekad ingin mendorong perempuan berwirausaha jika terpilih sebagai anggota DPRD.

"Perempuan selalu saja dianggap remeh bila tidak bisa berbuat sesuatu. Dengan menjadikan diri kita pengusaha jelas nilai kita akan lebih," kata perempuan kelahiran 8 Juni 1981 itu, di Bandarlampung, Selasa (25/3).

Menurut dia, kebanyakan perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah perempuan yang hanya menjadi ibu rumah tangga.

"Dengan menjadi pengusaha, selain bisa membantu ekonomi keluarga, kita pun tidak menjadi korban KDRT," kata pengusaha yang bergerak di bidang bahan bangunan berupa cat Jotun dari belum dikenal hingga diminati di Lampung ini pula.

Menurut dia, salah satu persoalan yang menjadi kendala adalah permodalan, baik bagi perempuan yang ingin memulai usaha maupun yang ingin mengembangkan usaha kecil menengah yang digeluti.

Untuk itu, ia akan memperjuangkan kemudahan akses permodalan bagi perempuan. Menurut dia, anggaran untuk mendukung usaha kecil menengah sebenar sudah ada, namun masih sulit diakses dan minim publikasi.

"Anggaran seperti itu harusnya bisa menyentuh semua kalangan, termasuk perempuan," katanya.

Selain itu, Meliawati juga ingin mendorong pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan usaha kerajinan yang digeluti perempuan, terutama terkait pemasaran produk mereka.

Ia mengungkapkan banyak ibu rumah tangga yang menghasilkan karya bernilai jual tinggi, antara lain kain tapis dan bunga dari limbah plastik, namun kesulitan untuk memasarkan.

"Jika bisa dipasarkan di sejumlah hotel di Bandarlampung, terlebih bisa dipasarkan di luar Provinsi Lampung, tentu menambah keuntungan bagi mereka," katanya.

Meliawati juga ingin memperjuangkan peningkatan kualitas pendidikan, baik formal maupun informal, khususnya bagi kalangan perempuan.

Meliawati adalah Direktur PT Hydro Jotalindo Perkasa (Jotun Paint), UD Multimas Usaha Jaya (Wallpaper), Aneka Warna (Jotun Paint), dan aktif sebagai pengurus Partai Golkar Lampung serta sejumlah organisasi, seperti AMPI, HIPMI, dan JCI (Junior Chamber International) di Lampung.

Dalam hal bisnis, dia mengaku harus bekerja ekstra keras untuk mencapai kondisi saat ini, antara lain memulai usaha mengenalkan cat Jotun yang nyaris belum memasyarakat hingga menjadi dikenal di Lampung saat ini.

Caleg perempuan yang diusung Partai Amanat Nasional untuk DPRD Kota Bandarlampung, Ir Harniwati bertekad akan memperjuangkan pendidikan yang benar-benar gratis, dan mendorong pertumbuhan ekonomi warga di kota ini.

"Katanya di Bandarlampung pendidikan gratis, tapi orangtua masih dibebani berbagai pungutan, seperti iuran komite sekolah, terutama di SMP dan SMA, pembelian buku-buku, biaya renang dan lain-lain. Artinya, ini belum gratis namanya. Kalau yang gratis itu tidak bayar sama sekali. Orangtua tinggal bayar ongkos anak ke sekolah, dan uang jajan," ujar caleg PAN nomor urut satu Daerah Pemilihan Kecamatan Kedaton, Labuhan Ratu, Rajabasa dan Tanjungsenang, di Bandarlampung, Senin (24/3).

Bahkan Harni, panggilannya, ibu yang memiliki empat anak ini merasakan betul betapa besarnya biaya yang harus ia keluarkan untuk biaya pendidikan, meskipun anak-anaknya bersekolah di sekolah negeri. Jadi jika terpilih menjadi wakil rakyat dirinya akan memperjuangkan agar anggaran pendidikan ditambah sehingga seluruh biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pendidikan ditanggung pemerintah sesuai dengan amanat Undang-undang Pendidikan.

Wanita kelahiran Tanjungkarang, 25 November 1966 ini mendukung adanya bantuan siswa miskin bagi siswa yang orangtuanya kurang mampu. Tapi itu saja belum cukup, pendidikan, terutama pendidikan dasar dan menengah harus benar-benar gratis.

Kemudian untuk pendidikan tinggi, ia menginginkan adanya beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu seperti yang dirintis Pemerintah Kabupaten Waykanan. "Pemkab Waykanan saja yang APBD-nya hanya seperberapa dari Kota Bandarlampung mampu, masak kita di Bandarlampung tidak bisa," kata lulusan SMAN 3 Tanjungkarang yang melanjutkan dan lulus dari Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Lampung angkatan tahun 1986 ini pula.

Tidak hanya itu, di daerah pemilihannya di empat kecamatan tersebut juga banyak aspirasi warga yang perlu diperjuangkannya. Termasuk penataan pasar, terutama di Kecamatan Rajabasa, Kedaton dan Tanjungsenang.

Pemerintah harus membangun pasar di daerah-daerah pinggiran ini sehingga hasil pertanian warga bisa dijual di pasar yang layak. Lalu jika terdapat pasar yang representatif tentu akan membuka peluang bedagang bagi masyarakatnya sehingga meningkatkan perekonomian keluarga. Tidak seperti sekarang yang ada hanya pasar-pasar tempel yang dimiliki perorangan.

"Sudah saatnya pemerintah kota memperhatikan infrastruktur daerah-daerah pinggiran di sini," kata Harni yang sehari-hari juga berdagang di Pasar Bambukuning itu.

                              Lampung Tanpa Senator
Provinsi Lampung menjadi daerah sasaran peningkatan keterwakilan perempuan, mengingat pada Pemilu 2009 lalu tak satu pun calon anggota Dewan Perwakilan Daerah perempuan duduk di Senayan sebagai senator.

Pada Pemilu 2014 ini, sejumlah calon senator perempuan asal Lampung ikut bertarung meraih kursi di Senayan.

Tapi, akankah mereka meraih sukses dalam persaingan ketat merebut suara masyarakat yang makin cerdas dan kritis saat ini.

"Ini yang menjadi perhatian kami, kami berharap dengan adanya kegiatan sosial para caleg perempuan ini, nantinya keterwakilan perempuan dari semua provinsi khususnya DPD bisa terpenuhi," kata Pheni Chalid, Ph.D, Project Manager SWARGA-UNDP, di Bandarlampung, Sabtu (29/3).

Sementara itu, Kabid Advokasi dan Fasilitasi Gender dalam Politik dan Pengambilan Keputusan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Hasnah Aziz, SH, M.Pd menjelaskan, dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu telah mengamanatkan adanya keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan parlemen minimal 30 persen.

"Dukungan regulasi tersebut tentu merupakan angin segar bagi caleg-caleg perempuan agar bisa terpilih menjadi wakil rakyat," ujar dia.

Terlebih baru-baru ini Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan No. 20/PUU-IX/2013 yang semakin memperjelas terhadap kebijakan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif.

UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu pasal 215 yang mulai berlaku pada Pemilu 2014 menyatakan bila terdapat suara yang sama antara laki-laku dan perempuan calon anggota legislatif mengutamakan keterpilihan perempuan calon anggota legislatif.

Dalam pandangan Dr. Dedy Hermawan, SSos, MSi, pengajar di FISIP Universitas Lampung (Unila), kiprah politik kaum perempuan hingga kini masih termarjinalkan dan "dikungkung" dalam sistem yang belum memberi peluang tampil secara utuh.

Menurut doktor muda kelahiran Tanjungkarang 20 Juli 1975, lulusan Universitas Brawijaya Malang yang juga Ketua Jurusan Administrasi Negara FISIP Unila ini, partai politik sebagai ajang kaderisasi juga masih memarjinalkan potensi dan peran kaum perempuan di dalamnya.

Dedy menilai caleg perempuan dari seluruh parpol di Lampung termasuk rendah jumlah keterwakilannya dibandingkan sejumlah daerah lain, sehingga pemenuhan angka 30 persen minimal lebih pada kuantitas belum sampai pada aspek kualitasnya.

Sejumlah parpol juga masih menempatkan caleg perempuan sebagai pelengkap (bukan nomor jadi), menurut dia secara umum, ini merupakan implikasi logis berbagai kondisi yang langsung maupun tidak langsung menghadirkan fenomena calon anggota legislatif (caleg) perempuan di dunia politik seperti sekarang ini.

Pertama, katanya, kondisi sosiologis dan budaya yang masih belum berpihak kehadiran sosok perempuan untuk berkiprah di dunia politik, seperti menjadi presiden, gubernur, wali kota, dan bupati. Selalu saja muncul atau dimunculkan isu penolakan perempuan dalam beberapa proses politik terkait pemilihan kepemimpinan nasional maupun daerah.

Kedua, ujar dia lagi, sistem politik dan kepartaian belum diciptakan untuk mengakomodasi keterbatasan kondisi perempuan di ranah politik selama ini. Hal ini dibuktikan dengan ketentuan suara terbanyak untuk seorang caleg jadi sebagai anggota legislatif. Ketentuan ini kurang menguntungkan bagi caleg perempuan yang selama ini belum memiliki "jam terbang" cukup di ruang sosial dan politik.

Ketiga, kata Dedy pula, kelembagaan parpol turut melanggengkan marjinalisasi perempuan dalam dunia politik, seperti belum jelas platform ideologis eksistensi perempuan dan kiprah politik.

Kenyataan ini, termasuk di Lampung, membuat parpol kurang memperhatikan sistem kaderisasi dan pembangunan kapasitas kader-kader perempuan di partainya. Kemudian muncul juga perilaku penempatan caleg perempuan di nomor urut yang kurang menguntungkan sekadar memenuhi ketentuan perundangan.

Bahkan dalam kasus tertentu perempuan dieksploitasi popularitasnya untuk menjadi mesin pendulang suara, hal ini ditandai oleh hadirnya artis-artis perempuan sebagai caleg.

Keempat, menurut Dedy, ketidakseriusan program pemberdayaan politik bagi kaum perempuan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Provinsi Lampung, termasuk kabupaten/kota.

"Visi, misi, dan komitmen kepala daerah terhadap program penguatan kapasitas politik kaum perempuan selama ini sangat rendah. Alokasi anggaran pemda bagi pemberdayaan politik kaum perempuan juga minim. Belum ada pembangunan dan pemberdayaan politik kaum perempuan yang dilakukan secara berkelanjutan dan berkesinambungan serta sinergis dengan berbagai elemen masyarakat di Lampung," katanya lagi.

Kondisi ini semakin membuat atmosfer kiprah politik perempuan di Lampung pun sepi. Beberapa kondisi di atas yang pada akhirnya masih menguatkan fenomena seperti kesulitan parpol mengisi kuota 30 persen di setiap daftar caleg saat pemilu, penempatan caleg perempuan di nomor urut yang terbelakang dengan SDM seadanya dan bahkan merekrut masyarakat awam untuk sekadar memenuhi ketentuan undang-undang.

Performa para caleg perempuan di parpol di Lampung, menurut Dedy, masyarakat masih belum bisa berharap terhadap eksistensi dan peran perempuan di pentas politik saat ini. Performa caleg perempuan yang ada saat ini belum tergambar secara jelas dari sisi kapasitas, kompetensi, jaringan, pengalaman politik, dan sebaginya, sehingga sulit untuk melihat proyeksi ke depan caleg perempuan berkaitan advokasi kebijakan publik.

"Secara umum, kehadiran perempuan sebagai caleg masih sebatas pemenuhan syarat kuota 30 persen, dan ini terjadi di semua parpol yang ada di Provinsi Lampung," ujar dia.

Berbagai kajian lapangan pada momentum Pemilu 2014 ini memperlihatkan rendahnya tingkat keterpilihan caleg perempuan karena mereka umumnya hanya sebagai pelengkap pemenuhan kuota sebagaimana ketentuan Undang Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Parpol.

Akibatnya, isu-isu strategis yang terkait dengan perempuan pun tidak muncul di tengah-tengah masa kampanye ini, seperti isu penyelamatan institusi keluarga, tenaga kerja perempuan, kesehatan ibu dan anak, dan sebagainya. Realitas ini cukup menjadi alasan mengapa masyarakat, termasuk di Lampung, masih belum bisa berharap banyak terhadap peran perempuan apalagi untuk mengadvokasi dan mengawal kebijakan-kebijakan yang properempuan. Sebagai komparasi dapat dicermati bagaimana peran anggota legislatif perempuan periode 2009--2014.

Dia menyebutkan, hingga periode akan berakhir, tidak banyak cerita tentang kisah sukses para anggota legislatif perempuan tersebut dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Rendahnya kapasitas, pengalaman, jumlah minoritas, keterbatasan jaringan, dan sebagainya itu, menurut Dedy, pada akhirnya membenamkan kinerja anggota legislatif perempuan di seluruh lembaga DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota pada periode ini.

Menurut dia, kehadiran perempuan sebagai caleg dan termasuk ketika menjadi anggota legislatif (aleg) memiliki nilai yang sangat strategis.

Dia menyebutkan, ada dua hal terkait dengan itu, pertama, lembaga legislatif adalah lembaga yang memiliki fungsi penting dalam hal legislasi, anggaran, dan pengawasan. Kedua, berkaitan dengan fungsi-fungsi tersebut, maka kehadiran perempuan di lembaga legislatif dapat menjadi jaminan bagi perjuangan perbaikan kondisi kaum perempuan yang selama ini termarjinalkan di berbagai bidang, seperti sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya.

Dedy menyebutkan pula, kehadiran perempuan dalam parlemen dapat menjadi pintu pembuka perubahan untuk tercipta tatanan masyarakat yang berkesetaraan dan berkeadilan antara kaum laki dan perempuan. Melalui instrumen kebijakan, advokasi anggaran, dan pengawasan, para anggota legislatif perempuan dapat berkesempatan merealisasikan cita-cita mulia kaum perempuan untuk keluar dari lingkaran ketidakadilan struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang selama ini menghimpit mereka. Inilah yang mengharuskan kaum perempuan, khususnya para caleg perempuan, untuk berada pada posisi strategis dalam konteks proses kebijakan publik.

Namun Dedy menganalisa bahwa begitu banyak kendala di sekitar caleg perempuan membuat partisipasi perempuan dalam berpolitik menjadi tidak signifikan.

Kendala-kendala ideologis dan psikologi sosial, seperti stereotype, patriarkhi, dan bias gender, kemudian sumber daya manusia perempuan yang minim pengalaman politik, pendidikan rendah, dan akses terbatas, struktural parpol tidak mendukung serta hambatan dana, semakin membuat kiprahnya stagnan.

Karena itu, momentum Pemilu 2014 harus dimanfaatkan oleh para caleg perempuan untuk bisa tampil di lembaga legislatif. Meyakinkan pemilih untuk memilih caleg perempuan adalah pekerjaan terberat, karena berbagai kajian lapangan memperlihatkan sebaran popularitas dan tingkat elektabilitasnya masih jauh dari para caleg laki-laki.

Dalam jangka pendek, dukungan potensi pemilih sebenarnya lebih menguntungkan para caleg perempuan, dimana pemilih perempuan lebih dominan dibandingkan pemilih laki-laki. Caleg perempuan harus memanfaatkan ini secara maksimal melalui pendekatan kekeluargaan, pertemanan, dan jaringan organisasi perempuan.

Pengalaman empiris dan kisah sukses kemenangan pilkada di Kota Bandarlampung tahun 2012, menurutnya, mungkin bisa menjadi model, dimana pemanfaatan komunitas tradisional, seperti majelis taklim, kelompok arisan, klub senam, ibu-ibu PKK, dan lainnya, cukup efektif untuk mendulang suara.

Dalam jangka panjang, katanya lagi, untuk semakin meningkatkan popularitas dan elektabilitas caleg perempuan, maka kerja keras membangun basis sosial dan politik di komunitas perempuan harus dimulai sesegera mungkin. Investasi sosial politik seperti diibaratkan orang menanam pohon jati, dimana untuk menuai hasil membutuhkan waktu yang lama dan pemeliharaan yang intensif.

Menurut Dedy pula, sejak Reformasi 1998, sudah tiga kali digelar pemilu, yaitu tahun 1999, 2004, dan 2009. Sejak itu pula, persentase anggota legislatif (aleg) perempuan di parlemen Provinsi Lampung terus meningkat.

Periode DPR 1999--2004 ada 46 orang (9 persen), Periode DPR 2004--2009 ada 61 orang (11,09 persen), dan Periode DPR 2009--2014 ada 103 (18 persen). Apakah peningkatan ini juga diikuti oleh kinerja yang baik?. Ternyata belum maksimal dan cenderung bergantung pada ketokohan satu atau sedikit aleg perempuan.

Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan Aisah Putri Budiatri (2012) dan seminarkan Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI yang berjudul "Perbandingan Peran dan Kinerja Anggota Legislatif Laki-Laki dan Perempuan dalam Produksi Undang-Undang yang Responsif Gender, Studi Kasus UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia" pada 12 Juli 2011.

Hasil riset itu memang memperlihatkan bahwa anggota legislatif perempuan memiliki peran dan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan anggota legislatif laki-laki. Kinerja anggota legislatif perempuan yang lebih baik memberikan pengaruh yang positif terhadap lahirnya kebijakan yang responsif gender.

Namun, perjuangan menyalurkan aspirasi gender di DPR belum secara menyeluruh diusung oleh anggota legislatif perempuan yang ada dalam panitia khusus (pansus). Keberhasilan ini lebih disebabkan oleh konsistensi oleh satu orang anggota legislatif perempuan yang ada dalam pansus dalam perubahan kebijakan.

Berdasarkan hasil riset ini, ujar dia, kinerja aleg perempuan lebih didukung oleh perseorangan dibandingkan kerja kolektif para aleg perempuan.

Untuk itu, di masa mendatang menjadi mendesak untuk meningkatkan kompetensi dan kapasitas membangun jaringan dan kerja kolaboratif para aleg perempuan, sehingga advokasi kebijakan yang progender lebih dapat tercapai maksimal.

Isu-isu penting seputar kaum perempuan telah menanti untuk dukungan advokasi kebijakan para aleg perempuan, seperti perlindungan terhadap pekerja rumah tangga, perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan, nasib tenaga kerja wanita (TKW) yang hingga hari masih sangat memprihatinkan, aksesibilitas perempuan terhadap dunia pendidikan, kesehatan ibu dan anak, dan termasuk peningkatan kiprah perempuan di ruang publik.

Dedy pun menilai kinerja politikus perempuan khususnya di Lampung, merujuk angka Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2011, persentase anggota perempuan terhadap total anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, di Provinsi Lampung mendapatkan angka yang cukup 66,67 persen lebih baik dibandingkan angka nasional 52,77 persen.

Namun, angka IDI tahun 2011 yang kategori cukup itu belum diikuti oleh kinerja politikus di parlemen yang juga bisa dikatakan cukup. Secara umum kinerja politikus perempuan Lampung masih belum terlihat, sekali ini bisa dipahami karena dari sisi input SDM aleg perempuan juga sangat rendah dalam rekam jejaknya di dunia politik.

"Sebenarnya ini seiring sejalan dengan fenomena aleg perempuan pada skala nasional. Kinerja aleg perempuan atau politikus perempuan masih sangat individual, termasuk di Lampung," kata Dedy pula.

Jangankan bicara kinerja dari sisi fungsi-fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, mendengar suara-suara kritis di ruang publik untuk mengadvokasi isu-isu perempuan nyaris tak terdengar, ujar dia lagi.

Untuk itu, para politikus perempuan harus memanfaatkan momentum tahun politik ini lebih berani tampil di arena-arena publik dan "akar rumput" melakukan pembelaan kaum perempuan. Keberanian ini penting sebagai bagian dari proses pematangan pengalaman politik para politikus perempuan tersebut, kata Dedy mengingatkan lagi.