Kenapa Pilkada Cenderung Rusuh?

id Kenapa Pilkada Cenderung Rusuh?

Depok (ANTARA LAMPUNG) -  Pemilihan kepala daerah atau pilkada langsung yang digelar mulai tahun 2005 cenderung diwarnai konflik, rusuh dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Kementerian Dalam Negeri mencatat, sebanyak 59 warga tewas dalam konflik terkait pilkada, ratusan lainnya luka, dan ratusan bangunan rusak.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pilkada cenderung rusuh di antaranya adalah makin buruknya perilaku partai politik (parpol) dalam pemilihan yang menjadikan sentralitas kekisruhan sangat tinggi bahkan cenderung represif. Kondisi ini menurt Manajer Riset Pol Tracking, Arya Budi  sangat mengkhawatirkan karena akan mempengaruhi pilkada lainnya.

Kandidat yang dipilih untuk maju dalam pilkada juga cenderung mempunyai masalah internal di wilayah pilihannya. Hal itulah yang memicu pilkada menjadi rusuh seperti yang terjadi di Barito Timur, Lumajang, dan Sinjai.

Dia menunjuk contoh banyaknya kandidat kepala daerah yang bisa membeli partai. "Tetapi  kandidat ini belum tentu bisa menghasilkan kemenangan. Itu adalah paradoks di mana pengusungan kandidat tidak mempunyai jaminan pemenangan pemilukada, akhirnya terjadi kerusuhan."

Dalam kisruh Pilkada Barito Timur, pengamat pemilu dari Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi (Sigma) Said Salahudin menduga, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Barito Timur sengaja meloloskan pasangan calon nomor urut 2 - Ampera AY Mebas-H Suriansyah - yang tidak memenuhi syarat pencalonan.

Dukungan bagi pasangan calon ini menurut dia, juga bermasalah karena Partai Karya Perjuangan juga mendukung pasangan Pancani-Zain. "Jika dukungan ganda partai ini dibatalkan karena ganda, pasangan Ampera-Suriansyah tidak memenuhi persyaratan untuk diikutkan dalam pemilukada."

Dukungan ganda, kata Said, adalah praktik yang kerap terjadi akibat prilaku buruk parpol yang rakus menjual dukungan kepada calon-calon kepala daerah. "Yang saya dengar, parpol memasang tarif ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk pencalonan bupati atau wali kota."

Faktor pencetus konflik lainnya yang terjadi pasca-pilkada adalah mentalitas pasangan calon yang siap menang, tetapi tidak siap kalah. Mereka memanfaatkan rakyat untuk mewujudkan ambisi kekuasaannya, termasuk bertindak anarkistis atau melakukan pembangkangan terhadap aturan.

Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, calon yang maju dalam pilkada kebanyakan tidak memiliki pengaruh di masyarakat. Mereka cenderung melakukan cara yang memerlukan ongkos besar untuk merebut hati pemilih sehingga menimbulkan politik biaya tinggi. Saat kalah, mereka mencari kompensasi.

Oleh karena itu, Akil Mochtar menyarankan agar pasangan calon kepala daerah dimintai pertanggungjawaban jika pendukung atau tim suksesnya melakukan tindakan anarkistis.

Kekerasan terkait pilkada terakhir terjadi awal Juni di Palembang, Sumatera Selatan. Massa yang tidak menerima putusan MK yang membatalkan putusan KPU Kota Palembang yang memenangkan pasangan Sarimuda-Nelly Rosdiana, melakukan pembakaran. Juga sekitar 500 orang berunjuk rasa dan menutup jalan lintas timur Sumatera di Pangkalan Balai, Kabupaten Banyuasin. Mereka menolak hasil pemilihan bupati/wakil bupati setempat.

Pengunjuk rasa membakar ban dan kayu di tengah jalan yang menghubungkan Padang, Jambi, Sumsel, dan Lampung itu. Massa meminta DPRD Banyuasin menonaktifkan Bupati Banyuasin Amirruddin Inoed dan mengusut kecurangan dalam pilkada.

Akil menyebutkan, sengketa pilkada pada dasarnya memang soal selisih angka. Baru ketika yang dipersoalkan adalah pelanggaran selama proses pilkada, MK mensyaratkan tiga kriteria yang harus terpenuhi, yaitu pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif. Itu pun harus signifikan memengaruhi hasil pilkada.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf berpendapat, akhir pilkada damai atau tidak juga bergantung pada tokoh masyarakat. Selama ini, tokoh yang seharusnya menjadi panutan masyarakat justru mudah diprovokasi. Malahan, tokoh LSM dan ormas  yang semestinya menjaga kondisi masyarakat agar kondusif, malah menjadi provokator.

"Saya sering mendapat laporan dari pihak keamanan, rakyat justru tidak tahu apa-apa dan hanya ikut-ikutan. Mereka diprovokasi oleh tokoh," kata ahli hukum pemerhati perkembangan pilkada itu.

Menurut Asep, antisipasi aparat keamanan terhadap potensi konflik di daerah pemilihan cenderung kurang efektif. Aparat sering kewalahan sehingga saat peristiwa kekerasan terkait pilkada terjadi, pelaku tidak takut terhadap aparat. Bahkan, di beberapa tempat terkesan terjadi pembiaran dan aparat kurang wibawa.
                                                                           
                             Dievaluasi
Kementerian Pertahanan mendukung dilakukannya evaluasi sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) sehubungan dengan kerusuhan di sejumlah daerah usai pelaksanaan pemilihan.

"Metode untuk melaksanakan pilkada langsung peu dievaluasi karena akar masalahnya pemilihan langsung," kata Staf Ahli Menhan Bidang Keamanan, Mayjen (TNI) Hartind Asrin.

Dalam analisa Kemenhan, pilkada langsung belum sepenuhnya dapat dimaknai sebagai cara demokratis. "Pendukung yang kalah anarkis, euforia demokrasi kebablasan kalau kalah. Padahal pada era demokrasi semua pihak punya hak yang sama," katanya.

Selain itu, kepala daerah juga harus sigap menjaga keamanan wilayahnya. Kesigapan juga harus dimiliki aparat keamanan setempat. "Kalau mau menata sistem keamanan, sebenarnya kepala pemerintah di daerah harus bertanggung jawab," ujarnya dan menambahkan bahwa kerusuhan di Palopo, menambah deretan panjang kasus kekerasan dalam pelaksanaan pilkada.

Terkait terjadinya kerusuhan paska pilkada di Palopo, Sulawsi Selatan, Partai Gerindra mulai mendorong pemikiran ulang penyelenggaraan pilkada yang menjadi pemicu kisruh. "Ke depan, perlu dipikirkan pilkada serentak, bahkan jika perlu, pemimpin daerah dipilih oleh DPRD. Tentu harus dikaji baik dan buruknya," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon.

Dia mengaku sangat prihatin atas terjadinya kerusuhan di Palopo usai penghitungan suara pemilihan walikota. Sejumlah gedung penting dibakar massa yang mengamuk termasuk kantor walikota, kantor camat, hingga kantor partai politik. "Mereka tak puas dengan hasil pilkada,"

Menurut Fadli, ini bukan kejadian pertama, sudah berulang kali pilkada berakhir rusuh.  Peristiwa ini menunjukkan demokrasi Indonesia cenderung mengarah pada anarkistis kekerasan dan anarkistis politik uang. "Juga merupakan refleksi, Indonesia belum siap berdemokrasi, apalagi demokrasi itu dilakukan tanpa tanggung jawab," katanya.

"Kita memang telah memilih jalan demokrasi, dan itu baru jalan kalau ada tanggung jawab dari semua pihak. Kalau demokrasi hanya prosedur sementara isinya kriminal, ini berbahaya jika tidak dihentikan," ujarnya seraya menambahkan bahwa aparat penegak hukum harus bisa mencegah dan antisipasi kejadian serupa.

Guru Besar Unpar, Asep berpendapat, untuk mencegah konflik terkait pilkada, harus ada perubahan dalam aturan pilkada antara lain perekrutan calon kepala daerah diubah dengan syarat yang ketat. Selama ini, rekrut dilakukan secara pragmatis, kompromistis, dan bukan dengan membangun kesamaan ideologi.

"Parpol harus melakukan pendidikan politik. Kader partai yang tersisih dalam pencalonan kepala daerah, juga menimbulkan konflik terkait pilkada," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ulhaq menilai konflik yang terjadi paska pilkada menunjukkan tingkat kematangan demokrasi di Indonesia masih rendah. "Ini tidak lepas dari belum efektifnya peran partai dalam melakukan transformasi institusional dan pendidikan politik kepada masyarakat," ujar dia.

"Kita sudah mempraktikkan demokrasi secara prosedur, tetapi mentalnya belum berubah. Dalam beberapa kasus, parpol dan calon yang justru mendorong terjadinya konflik," katanya.

Mendagri Gamawan Fauzi meminta masyarakat mengambil hikmah dari aksi pembakaran sejumlah kantor pemerintah di Palopo, akibat ketidakpuasan terhadap proses penghitungan suara calon walikota Palopo. "Pilkada secara langsung berdampak cukup buruk bagi beberapa daerah, karena itu evaluasi akan segera dilaksanakan," katanya.

"Kebetulan RUU Pilkada sedang dibahas dengan DPR. Kemungkinan akan ada perubahan di dalamnya. Ada juga pemikiran pilkada di provinsi bersifat langsung, sementara pilkada daerah di kota/kabupaten lewat perwakilan di DPRD. Ini konsep baru yang sedang dibahas," ujarnya.

Seperti kata Mendagri, pilkada langsung dapat dilakukan apabila masyarakat sudah mampu berpolitik secara dewasa. Namun sayangnya, saat ini pilkada langsung malah menjadi bumerang di sejumlah daerah di Indonesia. Banyak amuk massa terjadi karena pihak-pihak tak bisa menerima kekalahan calonnya.