Mempertahankan Lok Baintan (Bagian 1)

id Mempertahankan Lok Baintan (Bagian 1) , artikel, lomba, Sri Muryono, Tulisan, Foto

Mempertahankan Lok Baintan (Bagian 1)

Penulis, dengan latar belakang aktivitas Pasar terapung Desa Lok Baintan Kecamatan Sungai Tabuk Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.(Foto: ANTARA LAMPUNG/Ist).

Matahari belum tampak ketika puluhan perahu terlihat dari kejauhan bergerak seperti konvoi. Di hari yang masih gelap, dingin dan hujan rintik ini, puluhan pendayung perahu atau sampan menembus kabut pagi di Sungai Martapura, Kalimantan Selatan, pekan lalu.  

Tujuan mereka yaitu pasar terapung di Desa Lok Baintan Kecamatan Sungai Tabuk Kabupaten Banjar. Mereka adalah para pedagang di pasar terapung Lok Baintan ini. Selain pedagang, banyak juga petani yang hendak memasarkan langsung hasil kebun dan sawahnya.

"Ya memang begini. Sudah biasa setiap hari,"  kata Dahlia, pedagang di pasar terapung ini sambil mengayuh perahu menuju pasar terapung.

Dia tampak bekerja keras mendayung karena harus melawan arus sungai yang cukup kencang. Hujan rintik sesekali menyebabkan "tanggui" (topi khas masyarakat Banjar) harus dibetulkan posisinya agar badannya tak kehujanan.

Setelah sekitar 20 menit mendayung, dia tiba di pasar terapung Lok Baintan. Pedagang lain pun berdatangan dari sungai lainnya.  Perahu-perahu didayung menuju pasar terapung ini kemudian menyatu di Lok Baintan. Keriuhan segera terjadi ketika para pedagang mulai memasarkan dagangannya.

Transaksi mulai menjelang matahari terbit sekitar pukul 06.00 Wita. Matahari terbit memantulkan cahaya di antara sayur-mayur dan hasil kebun seperti buah-buahan dari kampung-kampung sepanjang aliran Sungai Martapura dan anak-anak sungainya.

Para pedagang berasal dari berbagai anak Sungai Martapura, seperti Sungai Lenge, Sungai Bakung, Sungai Paku Alam, Sungai Saka Bunut, Sungai Madang, Sungai Tanifah dan Sungai Lok Baintan. Dari sungai-sungai itu, pedagang dan pembeli muncul dengan perahu-perahu. Mereka mendayung perahunya hingga sampai pasar terapung.

Ada pula pedagang yang ditarik perahu motor yang biasa disebut "klotok" dengan tarif sesuai kesepakatan. Hal itu untuk mempercepat laju perahu. Namun tidak semua mengojek "klotok" dan lebih banyak yang mendayung sendiri perahunya.

Para pedagang dan pembeli umumnya perempuan di pasar ini. Mereka umumnya  mengenakan tanggui".  Pasar ini tampak paling dinamis karena pedagang dan pembeli selalu bergerak akibat arus sungai. Dari kejauhan. kerumunan ini hanya terlihat seperti bundaran-bundaran warna-warni yang bergerak. Bundaran itulah "tanggui" yang dikenakan para pedagang.

Pasar terapung adalah sebuah pasar tradisional yang seluruh aktivitasnya dilakukan di atas air Sungai Martapura, Sungai Barito dan sungai lainnya di Kalimantan Selatan. Seluruh pedagang dan pembeli  menggunakan perahu atau sampan

Konvoi perahu itu di mewarnai keseharian sungai besar di provinsi ini. Di atas  perahu ada berbagai kebutuhan, seperti sayuran,  buah-buahan, pakaian, makanan siap saji hingga pakaian serta peralatan rumah tangga. Setiap perahu pedagang berisi tumpukan barang lalu didayung menuju Lok Baintan.

Pedagang yang berasal dari wilayah di hulu sungai tentu cuma sekali-sekali mendorong perahunya. Walaupun ada barang dagangan yang ditumpuk di bagian depan atau belakang, perahu akan terdorong arus sungai. Pendayungnya tinggal mengarahkan jalan perahu dan menjaga keseimbangan.

Namun bagi pedagang yang  berasal dari hilir sungai, harus mendorong perahunya lebih keras dengan dayung. Tumpukan beban barang dagangan di perahu terasa berat karena alur yang harus dilalui berlawanan dengan arus sungai.

Eksistensi pasar terapung ini ada pada sampan atau dalam bahasa Banjar disebut "jukung" dan air Sungai Martapura serta komunitas pedagang dan masyarakat konsumen  atau pembeli. Di pasar ini, perahu berdesak-desakan. Pedagang saling mencari pembeli dan perahu  selalu berseliweran mencari barang dagangan.

Pedagang dan pembeli mendayung perahunya  kian-kemari serta selalu oleng dimainkan gelombang sungai. Inilah dinamisnya pasar terapung. Pedagang dan pembeli tidak sekalipun beranjak dari perahunya. Mereka juga harus selalu meletakkan dayung di dekat tangannya untuk sewaktu-waktu mendayung karena posisi sampan yang selalu bergerak terdorong arus sungai.
       
                                                 Terus mendayung
Musim hujan sedang terjadi daerah ini pada akhir tahun 2012 dan awal 2013. Hujan sering mewarnai transaksi jual-beli berbagai kebutuhan masyarakat di pasar terapung. Semangat terpancar dari para pedagang di pasar ini. Mereka terus mendayung dan mempertahankan posisi sampannya dengan seutas tali ke perahu pembeli atau pedagang lainnya.

Selain itu terus sekali-sekali mendayung sepanjang waktu di pasar ini agar posisinya tidak bergeser. Hanya dengan cara tersebut, seorang pedagang tetap bisa berada di kerumunan pasar ini. Kalau hal itu tidak dilakukan, posisinya terdorong arus kemudian terpisah dari kerumunan.

Keadaan yang selalu dinamis atau bergerak mengikuti arus sungai itu menjadi alasan bagi sebagian orang di Kalimantan Selatan untuk menyebutkan pasar terapung sebagai "Pasar Balarut".

Dengan "tanggui" ibu-ibu di pasar terapung terlindung dari terpaan air hujan. Dengan "tanggui" pula, mereka terlindungi dari sinar matahari yang menyengat  di musim kemarau. Para pedagang dan pembeli di pasar terapung juga sering menggunakan "bedak dingin" di muka atau di tangan untuk melindungi kulit dari panasnya sinar matahari. Namun sebagian pedagang cukup menggunakan baju lengan panjang.

Musim hujan sekarang bersamaan dengan musim buah-buahan di daerah ini. Sayuran seperti bayam, kangkung, daun singkong, cabai, kacang dan sebagainya selalu tersedia di pasar terapung. Sayurannya masih segar alami, bukan segar karena disimpan di  lemari pendingin.

Budi daya sayuran tampaknya tak terganggu musim kemarau karena sumber air bisa diperoleh petani yang mengembangkannya di dekat sungai-sungai yang ada. Buah-buahan yang segar tersedia di perahu-perahu pedagang. Selain rambutan, juga banyak durian dan jeruk Banjar yang cukup terkenal di masyarakat.

Perahu-perahu pedagang dan petani penuh pisang, kelapa, nanas dan buah kasturi yang segar dan matang. Beberapa turis asing dan pengunjung dari Jakarta yang datang ke pasar terapung terlihat membeli.

Buah-buahan itu merupakan pasokan para petani di Kabupaten Banjar dalam jumlah yang melimpah. Selain petaninya langsung, buah-buahan dan sayuran dipasok para pedagang pengumpul.

Fajli (40) merupakan salah satu satu pedagang buah khususnya jeruk di sini. Dia mengaku sudah turun-menurun yang berdagang di pasar ini. Dia sendiri sudah 15 tahun berjualan buah-buahan.

Orang tua dan kakeknya dulu juga berjualan di pasar tersebut. Saudaranya ada pula yang berjualan beras. Ada pula yang berjualan pakaian. Dia mengatakan, hidupnya "mengalir" saja dan berdagang di pasar terapung sudah merupakan nasib yang secara ikhlas diterimanya.

"Ya seperti air yang mengalir di kali inilah," katanya bercerita mengenai nasibnya berdagang di pasar terapung.

Sedangkan Lia juga sudah 15 tahun berdagang di pasar terapung. "Suami saya petani, dua anak saya sekolah, satu di Madrasah Tsanawiyah dan satu masih SD," katanya.

"Setelah subuh sekitar jam 5 saya berangkat ke pasar ini. Tiap hari," katanya pula.

Dia mengatakan, pasokan buah-buahan sangat banyak pada sekitar Oktober hingga Desember  berlanjut hingga beberapa bulan di awal tahun. Namun pasokan tetap ada walaupun tidak terlalu banyak.

Menurut para pedagang, pasokan buah-buahan kadang sulit diprediksi karena adanya perubahan iklim. Terjadinya pergeseran musim hujan dan musim panas menyebabkan pasokan buah-buahan dan sayuran kadang juga tak menentu.

Selain lokasinya yang berada di air dan transaksi dilakukan di atas perahu, satu hal yang berbeda dengan pasar lainnya adalah buah-buahan yang ada umumnya berasal dari Kalimantan Selatan, khususnya Kabupaten Banjar.

Beras yang dijual di sini pun produksi para petani setempat. Banyak perempuan yang menjadi pedagang di pasar terapung bersuami petani. Itulah sebabnya pada musim tanam atau musim panen padi, suasana di pasar pun terpengaruh. Banyak pedagang yang membantu suaminya ke pasar.

Para pembeli di pasar terapung ini juga pedagang eceran yang akan menjual lagi barang yang dibelinya di perkampungan warga di daratan.

Sebut saja Umi yang merupakan pedagang eceran dari permukiman penduduk di Kabupaten Banjar. dia menyusuri Sungai Madang, salah satu anak Sungai Martapura untuk sampai pasar ini. Dia membeli berbagai barang untuk dijual  kembali di pasar tradisional di darat, seperti di Pasar Sungai Tabuk dan Pasar  Gambut.

Dia membeli barang dagangan di pasar terapung ini karena harganya dinilai lebih murah, apalagi apabila membeli langsung dari petani.
   
                                                       Barter
Uang bukan segalanya di Pasar Terapung Lok Baintan. Tak punya lembaran atau recehan rupiah pun bisa mendapatkan barang yang dikehendaki seseorang. walaupun cara seperti itu sudah agak langka, artinya mulai ditinggalkan, tetapi masih ada dan masih berlaku.

Di tengah semakin modernnya cara bertransaksi dalam perdagangan dan investasi, sistem barter barang masih berlaku dan dipertahankan para pedagang di Pasar Terapung Lok Baintan, Kalimantan Selatan. Asalkan saling sepakat, barang apa saja bisa bertukar atau dibarter.

Beberapa pedagang mengaku masih menjalankan jual-beli dengan cara tukar barang. Menurut Fajli dan Lia, barter terjadi saat seorang pedagang butuh suatu barang dan  pedagang lain membutuhkan barang tertentu. Nilai barang yang dibarter antarpedagang  sama atau dianggap sama.

Pedagang lainnya bernama Siti mengatakan, bisa saja nilai barang yang dibarter tidak sama. Transaksi yang kurang seimbang itu terjadi kalau salah satu pihak sangat membutuhkan suatu barang dan harus mendapatkannya karena ada pembeli atau ada kebutuhan keluarga atau kerabatnya.

Cara seperti itu selain dijalani antarpedagang, juga terjadi antarpetani buah-buah dan sayuran produksi sendiri yang ingin menjual barangnya di pasar terapung. Bisa juga antara petani dengan pedagang. "Iya seperti memang masih berlaku di sini," kata Lia.

Namun cara seperti itu, diakuinya, sudah mulai ditinggalkan, walaupun masih ada dan masih berlaku. Beberapa pedagang mengakui, lebih senang apabila bisa dibayar dengan cara "cash". Alasannya lebih praktis (simpel).

"Masih bisa barter. Tetapi lebih enak dibayar pakai uang. Lebih praktis," kata seorang pedagang lainnya.

Beberapa pedagang menyatakan senang berjualan di sini. Hal itu terbukti dari kebiasaannya selama ini selalu mendatangi pasar untuk menjual barangnya. Banyak yang telah berjualan selama puluhan tahun, sebagian lagi baru belasan tahun. Tak sedikit pula yang meneruskan pekerjaan orang tua atau neneknya.

Bagi mereka, pasar terapung ini adalah nafas kehidupan. Dari kegigihannya selama 15 tahun, Ibu Lia bisa membantu keluarganya menyekolahkan dua anaknya ke tingkat SLTA dan SD. Pedagang lainnya bisa bercerita mengenai peran pasar tersebut bagi keluarganya.

"Entah apa jadinya keluarga saya kalau tanpa pasar ini," kata seorang pedagang sambil mendayung perahu beranjak dari Lok Baintan pada sekitar pukul 09.00 Wita yang menandai transaksi hari ini selesai dan berlanjut esok.